Ali tidak pernah mengajakku keluar selama seminggu terkhir ini. Bahkan bertemu di sekolah pun tidak. Aku merasa semakin jauh darinya. Aku ingin sekali menemui Ali. Tapi apa kata orang nanti? Tiara mengejar-ngejar Ali? Aku sangat membenci saat orang membicarakan aku di belakang. Sudah cukup dengan gosib sebelum-sebelumnya.
Selain itu, aku juga jarang berkunjung ke rumah Rangga. Rangga sangat menolak kedatanganku walaupun di lain sisi dia sudah tidak bersikap acuh lagi padaku.
Dan aku sekarang sedang berada di supermarket menemani mama belanja sayur untuk makan malam. Kata mama akan ada acara pertemuan rekan kerja ayah lagi di rumah. Seperti biasa aku membuntuti mama di belakang ketika berbelanja seperti ini.
Aku juga mulai merasa bosan akhir-akhir ini karena tidak ada hal yang menarik untuk dilakukan. Tetapi ini masih lebih baik dari pada ada masalah.
Mama belanja banyak sekali. Aku kewalahan membawanya. Ini berarti tamu yang datang lebih banyak.
Aku terkejut ketika sampai di rumah, tante Sarah sudah menunggu di ruang tamu. Ternyata tante Sarah menawarkan diri untuk membantu mama mempersiapkan semuanya untuk acara nanti malam. Hari ini juga akan menjadi hari yang melelahkan bagiku, bagi mama, dan bagi tante Sarah. Mama tidak mengizinkanku pergi kemana-mana.
Tante Sarah tinggal sampai nanti malam membantu mama hingga selesai. Dengan ini aku sedikit lega karena pekerjaanku sedikit berkurang. Aku tidak tahu apakah Rangga ikut lagi dalam pertemuan malam ini. Tapi peluang Rangga ikut adalah kecil sekali. Bertemu aku saja dia menolak, lucu sekali jika dia bersedia masuk ke rumahku yang jelas-jelas ada aku di dalamya.
Karena terlalu lucunya, aku sampai tidak bisa berekspresi apa-apa, ketika Rangga menginjakkan kakinya di teras depan berjalan bersama ayahnya menuju ke arahku, ayah, mama, dan tante Sarah yang menyambut para tamu di sebelah pintu masuk. Kali ini dia tidak memakai baju santai lagi, dia memakai setelan jas hitam dan kemeja biru laut beserta dasi yang bertengger rapi di lehernya.
Sepertinya dia tetap pada prinsipnya, sama sekali tidak menganggapku ada disini. Jujur saja aku sedikit kecewa.Ternyata untuk meeting kali ini para istri diikutsertakan. Tetapi untuk Rangga, dia selalu ikut dalam pertemuan seperti ini bersama ayahnya. Aku tidak tahu pasti kenapa Rangga diharuskan ikut rapat bersama bapak-bapak ini.
Ahh, aku teringat dulu om Heru pernah mengatakan bahwa Rangga akan membantu bisnisnya tidak peduli walaupun ia masih muda. Tapi apa itu sangat mungkin? Di umur segini dia bisa apa?
“Ya’, kamu mau ikut rapat?” tanya mama membubarkan lamunanku.
“Nggak, tapi Rangga...” kataku reflek.
“Rangga itu beda. Sudah sana!” mama mengusirku. Akhirnya aku kembali ke kamarku menunggu rapat selesai lalu membantu mama menyiapkan makanan seperti dulu.
Rapat kali ini terasa lama. Aku menunggu sambil mendengarkan lagu disertai mulut yang tidak bisa berhenti menguap dari tadi. Aku sangat mengantuk tidak tahan jika harus menunggu lebih lama lagi. Aku ingin sekali tidur sekarang, melihat kasur, bantal, dan guling yang masih tertata rapi di ranjang menunggu si majikan untuk segera berbaring disana.
Aku duduk di depan meja belajar menahan keinginan untuk berbaring di atas kasur. Bisa-bisa aku akan langsung terlelap jika melakukan itu. Pelan-pelan aku mendengar sebuah langkah kaki. Itu pasti mama yang menjemputku untuk segera menyiapkan hidangan.
Aku lega sekali karena akhirnya pekerjaanku akan selesai. Aku segera berlari membukakan pintu walaupun belum diketuk.
“Ma, kok lama ba... Rangga?” kataku terkejut ketika ternyata Rangga yang berdiri di depan pintu kamarku.
“Aku kira mama, kok kamu bisa kesini?” tanyaku heran padanya. Dia malah hanya terdiam dan melihatku. Berikutnya secara tiba-tiba dia menarikku masuk ke dalam kamar lalu kembali lagi dan mengunci pintunya. Sangat-sangat tidak pernah mengerti apa yang sedang Rangga pikirkan. Dia selalu melakukan sesuatu hal dengan tiba-tiba.
“Ngga, ada apa sebenarnya?” tanyaku, Rangga selalu terlihat gelisah ketika berhadapan denganku akhir-akhir ini.
“Diluar sedang makan, aku meyelinap kesini,” kata Rangga yang sekarang sedang duduk di atas ranjangku. Karena ranjangku yang rapi sudah tidak perawan lagi, aku pun duduk disana juga, di sebelah Rangga.
“Makan? Diluar sudah makan?” aku merasa mama menghianatiku. Untung saja Rangga kesini, kalau tidak aku akan menunggu mama sampai semua tamu pulang. Pantas lama.
“Aku akan menemui mama nanti. Ngomong-ngomong, kamu kok bisa kesini?” tanyaku masih curiga kenapa tidak ada seorangpun yang curiga Rangga datang kesini.
“Aku...izin ke kamar mandi,” kata Rangga, aku hanya manggut-manggut. Lalu dia berkata lagi,”Eh Tia, sebenarnya aku kesini karena ingin mengatakan sesuatu,” jika Rangga sudah seperti ini, pasti dia membujukku untuk tidak menemuinya lagi. Menemuinya? Sepertinya dia yang menemuiku.
“Tia, aku tahu kamu sama teman kamu itu setiap hari menemuiku, walaupun sembunyi-sembunyi. Aku cuma nggak ingin kamu repot kayak gitu. Aku sudah nggak perlu dikhawatirkan lagi, karena kamu cuma khawatir makanya kamu mengawasiku setiap hari, iya kan?” Rangga memaksakan diri tersenyum. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu kenapa aku selalu ingin melihat Rangga setiap hari. Mungkin benar karena aku hanya khawatir padanya. Tetapi selalu ada yang kurang jika aku tidak melihatnya sehari saja. Apa itu hanya disebut sebagai kekhawatiran belaka? Aku hanya bisa menunduk dan terdiam. Tetapi...
“Ngga, jika kamu kesini cuma ingin mengatakan tentang ini, kamu juga nggak perlu repot-repot. Kalau kamu kesini, bukannya sama saja dengan bertemu denganku?” sepertinya pertanyaanku ini berhasil membuat Rangga terkesiap. Dia cepat-cepat menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
“Aku...sebenarnya aku...”
Tok...tok...tok...
“Tia? Tia? Apa kamu sudah tidur? Kenapa dikunci pintunya?” itu suara mama teriak diluar pintu. Aku dan Rangga sama-sama terkejut. Kalau kita ketahuan, mereka akan mengira yang macam-macam.
“Ada apa ma? Tia barusan tertidur? Apa udah saatnya makan malam?” teriakku dari dalam, dan berpura-pura habis bangun tidur.
“Oh, kamu tidur barusan. Kalau kamu lapar cepat kebawah,” kata mama membalas teriak dari luar.
“Iya ma, tapi Tia nggak lapar,” kataku. Sebenarnya aku sangat lapar, tapi mama sudah tidak menjawab lagi, sepertinya dia sudah pergi.
“Errr, sepertinya aku harus pulang sekarang,” kata Rangga, berdiri lalu berjalan menuju pintu dan membukanya. Dia mengacak-acak rambutnnya. Aku merasa aneh sekali dengan sikapnya. Mataku menatap punggungnya yang akhirnya menghilang dibalik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Belong to You
Teen FictionCOMPLETED walaupun sudah berpacaran dengannya selama beberapa tahun ini, aku belum pernah merasa nyaman bersamanya. apa yang salah sebenarnya? Sehingga akhirnyapun, aku harus berhenti menyukainya dan memaksa diri untuk berpindah hati. Tahukah kalia...