Aku berlari hingga keluar gerbang sekolah dengan pandangan yang berkabut dipenuhi air mata. Aku berlari begitu saja setelah mendengar semuanya dari Ali. Aku terus berlari seperti orang bodoh yang tidak tahu arah dan tujuan. Otakku seperti tidak terkendali lagi, aku menyenggol beberapa orang yang berjalan berlawanan arah denganku dan menghiraukan semua protes mereka. Aku belum pernah merasakan sakit hati yang seperti ini sebelumnya. Sungguh tidak dapat dipercaya, orang yang menyakitiku adalah seorang Ali, orang yang pernah sangat aku sayangi.
Aku berhenti di sebuah taman bermain kecil di pinggiran kota. Disini ramai anak kecil dan ibu-ibu mereka. Hanya saja aku tetap merasa sepi. Aku duduk di sebuah bangku dibawah pohon yang sangat rindang. Tangisku juga masih belum bisa dihentikan. Aku menutup wajah dengan kedua tanganku dan menangis di dalamnya.
Tiba-tiba saja aku merasa ada yang memegang pundakku. Sedikit berharap bahwa mungkin itu Ali yang tadi mengejarku sampai kesini. Aku menepis tangannya. Aku mengakui bukan karena berharap Ali kembali padaku, tetapi aku masih ingin tidak memercayai realita yang sudah terjadi ini.
"Pergi! Aku nggak mau nerima kamu lagi!" kataku masih dengan wajah tertutup.
"Tia..." Tia? Dia memanggilku Tia? Sejak kapan... Jangan-jangan dia...
"Rangga?!" kataku terkejut setelah melihat kalau itu Rangga bukan Ali. Aku memang terlalu berharap kalau itu Ali. Ternyata aku salah. Ada sedikit rasa kecewa tetapi tanpa aku sadari, aku juga sedikir lega.
"Ngapain kamu kesini?" tanyaku padanya. Lalu Rangga duduk di sebelahku.
"Aku tadi lihat kamu tiba-tiba lari, dan ... menangis. Awalnya aku tidak tahu kenapa, tapi banyak omongan dari anak kelas XI kalau kamu di, maksudku ada masalah dengan Ali," jelas Rangga. Aku mendengus lalu tersenyum kecut.
"Oh, jadi beritanya sudah menyebar ya!"
"Aku minta maaf ini gara-gara aku..."
"Bukan, itu bukan salah kamu. Itu salahku karena mudah tertipu. Makasih Ngga, kamu masih mau peduli sama aku," kataku memaksakan senyum kepada Rangga.
"Tia', aku nggak akan mundur lagi dari kamu. Sekuat apapun aku coba buat jauh sama kamu, aku tetap ingin bersama kamu."
"Ngga..."
"Aku udah coba bilang ini padamu ketika aku masuk ke kamarmu malam itu. Aku nggak peduli bagaimana perasaanmu padaku, tetapi aku akan berusaha buat sembuh total demi kamu. Kamu semangatku Tia. Karena hanya ingin bertemu denganmu, aku masih bisa bernafas hingga sekarang. Terima kasih udah hadir dalam hidupku. Aku sangat menghargainya," Rangga tersenyum lembut padaku. Tiba-tiba dia memelukku.
"Makasih Ngga," aku berbisik di telinganya. Lalu Rangga melepaskan pelukannya, memegang kedua pundakku lalu menatap kedua mataku.
"Tia', aku akan melindungimu sekuat tenagaku dan aku akan berusaha buat kamu tersenyum setiap hari. Hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi, aku janji," kata-kata Rangga sangat tulus, aku tidak melihat kebohongan sama sekali disana. Sekarang aku merasa harus bersyukur telah dipertemukan sekali lagi dengannya.
***
Caca segera menghubungiku ketika kabar-kabar aku putus dengan Ali terdengar olehnya. Aku heran mengapa semua orang tertarik dengan kisah cinta kandasku.
Dia memintaku untuk menunggunya di rumaku. Caca bilang akan kesini sepulang sekolah dengan membawakan tas dan buku-bukuku. Yahh, karena tadi aku lari begitu saja, aku teruskan untuk bolos sekolah. Mama dan papa belum datang dari kerja, itu sangat menguntungkan untukku.
Rangga mengantarku sampai kerumah kemudian balik lagi ke sekolah. Sebenarnya Rangga menawarkan diri ingin menemaniku di rumah, tetapi aku menolaknya. Aku mengatakan padanya bahwa aku sedang ingin sendirian supaya dia tidak ikutan membolos juga.
Ketika aku ganti baju dan melihat cermin, aku menemukan betapa sembabnya mataku. Rambutku juga acak-acakan karena lari dan ditambah naik motor bersama Rangga tadi.
Setelah puas mengamati wajah jelekku, aku pun berangkat mandi. Selesai mandi dan ganti baju santai, aku pergi ke ruang TV sambil menunggu Caca. Waktu pulang sekolah kurang 15 menit lagi. Aku tidak sabar ingin mendengar omelan-omelan Caca. Dia pasti mengomel panjang dan dia pasti terkejut mendengar kejutan-kejutan ceritaku nanti.
Belum sampai 10 menit, bel pintu depan sudah berbunyi. Tapi pasti ini bukan Caca, perjalanan dari sini ke sekolah saja seharusnya lebih dari 20 menit. Masak Caca sudah datang. Aku pergi membukakan pintu, namun ternyata benar, itu Caca berdiri di depan pintu. Dia langsung memelukku begitu aku membuka pintu untuknya.
"Kenapa bisa jadi kayak gini? Sebenarnya apa yang terjadi Ya'?" tanya Caca heboh.
"Aku juga terkejut ketika mendengar dari orang-orang. Aku lari ke kelasmu, tapi lagi-lagi kamu udah nggak ada. Ayo Ya', ceritakan semuanya!""Iya Ca, pasti aku ceritakan. Sekarang ayo masuk dulu ke dalam," kataku mengajak Caca. Lalu aku menceritakan semuanya, tentang Citra, Sifa, dan semuanya. Seperti prediksiku, Caca sangat terkejut mendengar ini semua dariku.
"Wahh, aku nggak nyangka akan jadi lebih buruk dari perkiraanku. Sudah Ya', zaman sekarang jangan terlalu mikirin cowok, mereka nggak ada yang bener. Lebih baik aku menghiburmu dengan... Emm, enaknya ngapain ya? Shopping? Atau nonton film? Kamu ingin apa Ya'?" tanya Caca bersemangat berpikir cara untuk menghiburku.
"Aku lagi nggak pingin apa-apa Ca. Lagian aku juga pernah ditinggal tiba-tiba gini sama Ali. Aku yakin aku bisa menghadapi masalah yang kayak gini," aku meyakinkan Caca. Caca prihatin denganku.
"Apa kamu bener nggak apa-apa Ya'?" tanya Caca ragu melihatku.
"Aku nggak apa-apa ca. Beneran dehh.. Jangan terlalu khawatirkan aku," saat itu ponselku berbunyi. Aku melihat ada pesan yang masuk dengan nomor baru.
"Siapa Ya'?" tanya Caca sedikit mengintip ponselku.
"Nggak tahu, belum ku simpan nggak ada namanya," kataku, lalu aku membuka pesannya.
Hai Ya'. Ini aku Evi. Lma bgt nggk ktm km. Gmn klau kt brtm? aku pngn crta bnyk sm km. kt ktm d rmh es krim yuk? aku tnggu set 3... bye
"Ini Evi Ca, teman SMPku. Dia ingin bertemu denganku setengah 3," kataku memberitahu Caca. Sebenarnya aku sedang ingin di rumah saja. Tapi kalau ini Evi, maka aku tidak bisa menolaknya. Lagian lama sekali aku sudah tidak menemuinya.
Seperti dulu ketika Caca sedang di rumahku, Ali mengajakku bertemu. Sekarang juga sama. Aku jadibtidak enak sama Caca. Jadi Caca akan pulang nanti setengah 3 keluar bareng aku. Caca pulang sedangkan aku menemui Evi. Lalu kami menghabiskan waktu sampai setengah 3 untuk bermain game dan nonton film horor, film yang paling tidak aku sukai, sambil makan camilan.
Kata Caca ketegangan bisa menghilangkan pikiran yang jenuh. Rumahku jadi penuh dengan jeritan-jeritanku dan jeritan Caca.
Setelah tiba jam setengah 3, aku dan Caca keluar. Aku menemui Evi sedangkan Caca pulang. Kami berpisah di perempatan jalan menuju tujuan masing-masing. Caca melambaikan tangan padaku lalu aku membalas lambaian tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Belong to You
Ficção AdolescenteCOMPLETED walaupun sudah berpacaran dengannya selama beberapa tahun ini, aku belum pernah merasa nyaman bersamanya. apa yang salah sebenarnya? Sehingga akhirnyapun, aku harus berhenti menyukainya dan memaksa diri untuk berpindah hati. Tahukah kalia...