Sembilan Belas

4 0 0
                                    

“Ali?”  tanyaku  pada  cowok  kelas  XI  IPS1  yang  berarti  teman  satu  kelas  Ali, memberitahuku  bahwa  Ali  ingin  bertemu  denganku.  Aku  senang  akhirnya  bisa  bertemu  Ali lagi  setelah  hampir  2  minggu  tidak    melihatnya.  Tapi  anehnya  aku  punya  firasat  buruk tentang ini.  

Ali  mengajakku  bertemu  di  taman  yang terletak di tengah-tengah kelas bagian paling belakang dari sekolah ini.  Sepertinya  Ali   menyukai  taman  itu aku pun begitu.

Jantungku  berdebar  lebih  keras  lagi.  Kenapa  jantungku  selalu  berdebar  seperti  ini  setiap  kali aku  mau  bertemu  dengan  Ali.  Di  lubuk  hatiku  yang  paling  dalam,  aku  takut  menemui  Ali sekarang  ini.  Tetapi  ia  tidak  akan  menyakitiku  kan?  Aku  tahu  ia  sangat  menyayangiku.  Karena dia yang selalu  bilang  kalau  aku  adalah  orang  yang  paling  dia  sayang  sedunia.

“Hai,”  sapaku  pada  Ali.  Dia  tersenyum  seperti  biasanya kala  menyambutku,  lalu menyuruhku  duduk  di  sebelahnya. 

“Aku  nggak  tahu  kenapa  aku  takut  bertemu  denganmu sekarang  Al,”  akuku  pada  Ali.  Ali  diam  sebentar,  lalu  dia  malah  tertawa.

“Takut  kenapa?  Aku  nggak mungki   makan  kamu  disini,”  kata  Ali  bercanda.  Mungkin firasatku  yang  salah.  Ali  seperti  sedang  memikirkan  sesuatu  dan  sedikit  gelisah.  Lagi-lagi  dia gelisah.  Aku  memencet-mencet  pipi  dengan  jari  telunjukku  untu  menyamarkan kecanggungan.  Aku  ingin  sekali  menghindari  canggung  yang selalu terjadi ketika bersama dengannya.  Jika  Ali memanggilku,  bukannya  pasti  ada  yang  ingin  dia  sampaikan?  Mungkin  lebih  baik  aku menunggu  saja.

“Sebernanya  aku  ingin  tanya  ke  kamu  El,”  akhirnya  Ali  mulai  berbicara  lagi.  “El, apakah...apa  kamu  nggak  bosan  sama  aku?”  Alisku  terangkat dan merasa heran  mendengar  Ali  bertanya seperti  itu  padaku.  Aku  nggak  tahu  mengapa  Ali  punya pikiran  untuk  bertanya  seperti  itu padaku.  Pertanyaan  itu  sangat    terdengar  konyol  bagiku.  Yang  jelas,  aku sendiri tidak mengerti alasan apabyang aku punya hingga harus merasa bosan dengannya.

“Bosan?  Semakin  sering  aku  bertemu  sama kamu  Al,  semakin  aku  ingin  bertemu sama kamu  lagi.  Aku  nggak  pernah  merasa  bosan  sama kamu,  lagian  kenapa  aku harus  merasa  kayak gitu  sama kamu?  Kenapa  sih  kamu  tanya  hal  aneh  kayak  gitu?”  tanyaku  pada Ali  yang  dari  tadi  menghindari  tatapanku.  

“El,  aku  udah  nggak  tahan  sama  semua  ini.  Aku  udah  berpura-pura  tidak  terjadi  apa-apa selama  ini.  Aku  tahu  semua  El.  Aku  juga  nggak  tahan  sama  semua  omongan  orang,”  apa  ini? Apa  ini  semua  tentang  Rangga?  Air  mataku sudah jatuh padahal ini masih awal dari pertempuran. Aku selalu merasa cengeng ketika berhadapan dengan Ali.

“Kamu  juga  nggak  pernah  datang  padaku  sekarang,”  sambung  Ali.

“Apa  maksudmu  Al?”  tanyaku sambil sesenggukan.

“Rangga.  Aku  tahu  kalian  dekat.  Mungkin  alasannya  dia,  kamu  nggak  pernah menemuiku  lagi,”  Ali  tersenyum  kecut.

“Al,  kamu  tahu  kalau  dia...”

“Itu  alasan  kamu  buat  bisa  dekat  sama  dia  El,  iya  kan?  Aku  iri  El  lihat  orang  lain  yang bisa  pacaran  di  sekolah,  selalu  berdua  kemana-mana.  Aku  nahan  buat  bisa  kayak  mereka, supaya  kamu  nggak  terlalu  mikirin  aku.  Aku  peduli  nilai-nilai  kamu  El supaya aku gak ganggu belajar kamu," alasannya kuno banget. Dan kenapa  Ali  ngomong  kayak gini? Apa sebenarnya yang ingin dia bicarakan?  Dia  mulai  berbicara  nglantur  dan  kemana-mana.  Tadi  dia menyalahkanku,  tapi  sekarang  di  malah  membuat  dirinya  menyingkir  demi  diriku? 

I Belong to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang