Lima

3 2 0
                                    

“Beneran kamu Ya’?” tanya Caca kaget bukan main. “Mungkin ada apa-apa di balik semua ini.” Katanya penuh selidik.

Aku menceritakan semua, dari awal aku diantar pulang sampai nanti berdua saja di rumah dengan Rangga.

“Kamu mau nggak nanti ke rumahku juga? Aku ngak enak berdua aja sama Rangga,” pintaku memohon pada Caca.

“Hadu Ya’, kayaknya nanti aku ada acara sama mama, gimana dong?” Caca malah balik bertanya. Jadi yang jelas, aku benar-benar akan berdua dengan Rangga sampai besok.

“Yah, mau gimana lagi Caca, sepertinya ini memang takdir yang datang tiba-tiba,” kataku mengutuk diriku sendiri.

Bukannya aku membenci Rangga, tapi aku harus bagaimana padanya? Sejak kemunculan Rangga, orang di sekitarku bersikap aneh, kecuali Caca tentunya. Dia sangat polos tidak tahu apa-apa.

Aku bersyukur hari ini Bu Dewi tidak masuk. Aku pusing melihat angka-angka berjajar banyak di papan dan di bukuku sendiri. Caca mengajakku ke kantin ketika jam istirahat.

***

Ketika aku keluar kelas setelah pelajaran hari ini berakhir, aku melihat Rangga sudah menunggu di parkiran. Dia menyambutku dengan senyumnya ketika aku menghampirinya.

“Langsung pulang?” tanyanya seraya memberikan helmnya padaku.
Aku menganggukkan kepala.

Aku merasa banyak mata yang sedang mengawasi kami berdua. Bagaimana tidak? Rangga termasuk cowok incaran di sini. Aku risi di lihatin seperti ini, mungkin setelah ini aku akan menjadi bahan gosib baru buat mereka.

“Ok, ayo naik,” katanya sambil menawarkan tangannya untuk membantuku naik ke motornya. Rangga menarik lagi tanganku supaya berpegangan padanya.

“Aku masih tetap nggak ingin kamu jatuh dari sini,” katanya sambil memegang tanganku.

Sepanjang perjalanan pun dia tetap melakukannya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan cowok ini.

Rumah sangat sepi ketika kami sampai. Rangga memasukkan motornya ke garasi, kemudian masuk ke rumah bersamaku. Aku bingung harus mengerjakan apa selama Rangga di rumah. Nonton TV? Main game? Atau berenang? Kayaknya kalau renang, enggak dehh.

Oh iya, pertama-pertama aku akan mengantarnya dulu ke kamar tamu yang akan ditempatinya dan sudah dibersihkan mama tadi pagi. Untuk selanjutnya, apa kata nanti.

“Ini kamarmu,” kataku setelah mengantarkan dia sampai ke kamarnya. “Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan-sungkan. Ada banyak makanan di kulkas dan meja makan.

Kalau kamu perlu aku, aku ada di kamar sebelah,” jelasku padanya. Kemudian aku pergi ke kamarku sendiri.

Tapi kemudian aku teringat sesuatu dan aku balik lagi. “Errr, Rangga, kalau mau ke kamarku ketok pintu dulu ya,” kataku mengingatkan Rangga.

Mungkin hal semacam ini tidak
perlu diberitahukkan karena pasti semua orang tahu kalau masuk ke tempat pribadi orang lain harus minta izin terlebih dahulu. Rangga yang semula mau duduk, berdiri lagi karena melihatku kembali.


Setelah memasuki kamarku, aku langsung mandi dan ganti baju. Karena merasa lapar, aku keluar kamar menuju dapur untuk makan siang. Seperti biasa aku tidak pernah makan di meja makan, kecuali ketika ada acara makan bersama. Aku membawa makananku ke ruang
TV.

Aku terkejut melihat Rangga sedang berada di ruang TV dan yang paling mengagetkan adalah Rangga tetap memakai seragam sekolahnya. Oh my God, aku lupa Rangga tidak
membawa baju ganti. Setelah benging sebentar, aku menghampirinya.

“Kamu sudah makan?” tanyaku masih berdiri dengan membawa mangkuk supku.

“Sudah, ini,” katanya sambil menunjukkan mangkuknya yang sudah kosong. Aku merasa sedikit kikuk lalu duduk di sebelahnya dan makan punyaku sendiri.

Rangga kelihatan bosan, mengganti-ganti channel TV.

“Bagaimana kalau sebentar lagi kita ke toko baju sebelah, kayaknya kamu nggak bawa baju ganti,” tawarku setelah selesai melahap makan siangku.


“Boleh,” jawab Rangga. Kemudian, tiba-tiba dia bertanya sesuatu yang sepertinya pernah ditanyakan seseorang padaku.

“Tia, apa kamu nggak sedikit pun mengingatku?” tanyanya, aku sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaannya.

“Maaf Ngga, aku nggak ngerti maksudmu,” kataku dengan sedikit rasa penasaran.

“Nggak, nggak jadi. Kamu nggak perlu menjawabnya,” katanya meralat pertanyaannya.


***

Rangga sedang memilih-milih baju sedangkan aku menunggu di kursi sebelah ruang ganti. Aku tidak percaya bisa cepat sedekat ini dengan Rangga. Serasa semuanya terjadi secara tiba-tiba.

Sepertinya Rangga sudah selesai memilih baju. Dia berjalan menuju ruang ganti di sebelahku dengan membawa baju yang telah dipilihnya.

“Sebentar ya,” katanya ketika melewatiku. Aku mengangguk-angguk.

Setelah sekitar 5 menit menunggu, terdengar suara ‘klik’ pintu ruang ganti. Rangga sebentar lagi keluar.

Aku mengatakan ‘wow’ dalam hati. Penampilan Rangga sempurna. Setelan baju yang dia pilih sangat pas menempel di tubuhnya, dengan leher yang dibalut syal.

“Bagaimana penampilanku?” tanyanya kepadaku. Aku bingung harus menjawab apa.

“Bagus, itu cocok untukmu,” jawabku jujur, berhasil menyembunyikan keterkejutanku yang kelewat batas. Lalu kita menuju ke kasir untuk membayarnya. Aku mengeluarkan ATM mama untuk dibayarkan ke kasir. Selain menyiapkan makanan dan yang lain-lainnya, mama
juga membawakanku ATMnya untuk berjaga-jaga.

Ketika aku akan membayarnya, tiba-tiba Rangga mencegahku. Dia menarik tanganku kembali.

“Tidak baik cewek membayar untuk cowok,” katanya.

“Nggak apa-apa, ini ATM mama, memang disiapkan untuk kita berdua,” kataku mengelaknya.

“Tetap saja itu dari kamu kan,” katanya lagi, lalu mengeluarkan ATMnya sendiri dan membayarnya. Setelah itu kita keluar dari toko.

“Tia, aku boleh minta bantuan?” tanyanya ketika kita berjalan di trotoar.

“Apa?” tanyaku.

“Kamu mau temani aku jalan-jalan?” ajak Rangga.

“Jalan?” aku membeo.

“Iya, jalan. Apa kamu capek?” tanyanya sambil mengamati wajahku. iya aku capek. Tapi kalau Rangga di rumah terus dia
akan bosan. Dia sudah baik sekali mau menemaniku di rumah. Jadi aku mengiyakannya.

“Nggak, aku nggak lagi capek. Mau jalan kemana?” tanyaku berusaha tidak terlihat capek.

“Emm, sebentar lagi kamu bakalan tahu,” katanya, tidak memberitahuku.


Sesampai di rumah, Rangga langsung mengambil motor dan menghidupkannya sedangkan aku kembali memeriksa pintu sudah dikunci apa belum. Dan ternyata aku sudah menguncinya tadi.

Aku memakai setelan rok dan baju pendek. Aku melihat Rangga sudah siap dengan motornya, aku menghampirinya lalu naik ke motornya . Lagi-lagi Rangga menarik tanganku supaya
berpegangan padanya.

Biasanya cowok seumuran Rangga suka mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, tapi tidak dengan Rangga, dia membawanya santai, tetapi aku menyukainya. Sepertinya
banyak hal yang aku sukai dari Rangga. Lama-lama aku bisa melupakan Ali karena dia. Mungkin saja.

I Belong to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang