Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi

Prologue

87.1K 6.3K 144
                                    

~ Have you ever been in silence, I mean, a real silence? Where you can not hear anything but the voice of your heart? I really hope that you will never be there, but if you already are there, welcome to my world - Sebastian Meliala ~

Sebastian hanya bisa meringkuk sambil meringis menahan sakit, saat adiknya mencubit dia keras-keras. Kiana, adik Sebastian, berteriak marah kepadanya karena Sebastian berulang kali bertingkah nakal terhadap Kiana dan Mimi, temannya. Akan tetapi, Kiana tidak tahu kalau sebetulnya Sebastian hanya sedang mencari perhatian Mimi yang begitu cantik dengan dua kuncirnya yang diikat pita berwarna pink itu. Jadi karena merasa abangnya sudah terlalu mengganggu, Kiana pun mencubitnya dengan jengkel. Namun, saat itu ibu mereka melihat tindakan Kiana dan menariknya menjauh dari Sebastian.

"Kenapa Kia cubit Abang?" Gina, sang ibu bertanya. Suaranya terdengar sedikit meninggi karena kelelahan bertumpuk yang dirasakannya sejak pagi tadi.

Kiana, gadis mungil berumur tujuh tahun, hanya setahun lebih muda dari Sebastian, menatap ibunya dengan mata polos.

"Abang nakalin Kia duluan, Ma. Dia narik-narik rambut Kia, terus ... bikin Mimi nangis. Tadi Mimi dijorokin," jawabnya dengan paras kesal seorang bocah yang manis.

Gina menghela napas. "Gitu? Ya sudah, Kia ... kan, Abang cuma mau ikut main. Kamu jangan galak sama Abang, dong," bujuknya.

Mata bulat Kiana membelalak. "Bukan Kia yang duluan, Mama. Abang yang galak duluan sama Kia," katanya jengkel.

"Iya, Mama tahu, kok. Tapi kamu ngertiin Abang, ya? Abang, kan, cuma mau main dengan Kia."

"Enggak mau! Abang nakal! Kia enggak mau main sama Abang!" Kiana kecil berteriak marah.

Gina menghela napas lagi. "Kok, gitu, sih, Kia? Ya sudah, sana main di depan aja kalau Kia enggak mau ajak Abang, ya?" putusnya kemudian.

Kiana cemberut. Sekali lagi dia melemparkan pandangan judes pada Sebastian yang menjulurkan lidah kepadanya, sebelum berlalu menuju ke teras bersama Mimi.

Gina menatap putra sulungnya dan sejenak kehilangan kata, sementara Sebastian menatapnya takut-takut karena biasanya Gina akan memarahi, bahkan menghukumnya. Namun, untuk saat ini Gina sudah terlalu lelah untuk mengomel seperti biasa karena, toh, Sebastian selalu mengulangi kenakalannya.

Sebagai seorang ibu, sebetulnya Gina merasa sedih dan serba salah melihat keadaan putranya itu. Sebastian sangat nakal dan senang sekali mengganggu adiknya. Selain itu, Sebastian juga suka mengamuk jika tidak mendapatkan yang dia inginkan. Kalau sudah mengamuk, maka Gina pun akan sedikit merasa takut.

Jika sudah demikian, terkadang muncul pikiran buruk di benak Gina. Andai Sebastian tidak pernah dilahirkan.

Bukan salah Sebastian kalau di usia enam tahun dia harus kehilangan pendengaran akibat infeksi langka. Bukan salahnya juga kalau orang tuanya lalai menyadari demam tinggi yang dialaminya bukan demam biasa, tapi Gina tidak bisa menyangkal, dia malu. Malu memiliki anak cacat dan luar biasa nakal. Apalagi, keluarganya dan keluarga suaminya sejak awal selalu menyalahkan dia karena keadaan Sebastian itu. Seolah belum cukup bebannya memiliki anak yang cacat.

Lelah, Gina menghela napas.

"Mbak Padmi!" Dia memanggil.

Terdengar gaduh suara langkah seseorang dari arah dapur, Mbak Padmi, sang asisten rumah tangga yang masih belia, muncul di situ.

"Iya, Bu Gin?"

Gina menunjuk pada Sebastian. "Ajak Bastian tidur siang. Jangan ikut main dengan Kiana," perintahnya.

Mbak Padmi mengangguk, lalu menghampiri Sebastian yang menatapnya penuh harap. Hangat, wanita berusia enam belas tahun itu mengulurkan tangan lalu meraih Sebastian dalam gendongannya.

***

Sebastian terbangun dari tidurnya. Bukan karena terganggu oleh suara berisik ataupun bantingan benda pecah karena suara sekeras apa pun tidak akan mengganggunya. Bukan karena itu. Dia hanya terbangun begitu saja, dan itu sering terjadi. Biasanya karena ada pertengkaran antara ayah dan ibunya yang semakin sering terjadi, seiring pertambahan umurnya.

Perlahan Sebastian meluncur turun dari ranjang, lalu berjalan keluar sambil menggosok matanya untuk mencari tahu. Tepat saat dia muncul di pintu, ada benda melayang ke arahnya, lalu keras membentur dahinya meninggalkan rasa sakit yang luar biasa. Matanya menangkap ekspresi Gina yang terbelalak ngeri melihatnya, sementara Pedro, ayahnya, tampak marah luar biasa. Pria itu menyentak pundak Gina sambil menunjuk ke arah Sebastian yang mengerjap, merasakan ada sesuatu yang basah di wajahnya. Saat tangan mungilnya terangkat untuk mengusap wajahnya, dia melihat ada cairan berwarna merah dan lengket di jari-jarinya yang mungil.

Sebastian membuka mulutnya untuk menangis, tetapi saat itu pandangannya malah berkunang-kunang. Sebelum tubuhnya terbanting ke lantai, sepasang lengan yang sangat dia kenal terulur ke arahnya, dan memeluk dia. Sebastian tersenyum melihat wajah lelah tapi penuh kasih Mbak Padmi, sebelum pandangannya mengabur dan dia pun hilang dalam kegelapan.

SilencioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang