Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi

Hening...

35.3K 5.2K 102
                                    

~ Hey you, who took away my breath! Why are you staring at me? Why are you awakening me from my silence? - Sebastian Meliala ~

Grace mengambil beberapa buah apel dan memasukkannya ke dalam kantung plastik untuk ditimbang. Saat mengangkat wajahnya, dia melihat Sebastian sedang melakukan hal yang sama, tapi di samping boks apel dengan jenis yang berbeda, tak jauh dari tempatnya berdiri.

Grace tercenung saat perhatiannya seolah dipaksa tertuju pada apa yang dilakukan pria itu. Pada sesuatu yang ada dalam sikap Sebastian, yang begitu unik dan membuat Grace tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosoknya. Bukan karena tampilan fisik Sebastian yang sempurna, tapi karena apa yang dipancarkan atau lebih tepatnya, dikomunikasikan oleh bahasa tubuh Sebastian. Entah kenapa, saat dirinya begitu fokus pada apa yang dia kerjakan, Sebastian terlihat begitu ... hening.

Meskipun Grace tahu kalau Sebastian tuli, sebetulnya itu tidak mengubah cara pandangnya terhadap pria itu. Grace terbiasa bertemu dan berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki kondisi fisik dan mental yang beragam dalam pekerjaannya. Ditambah, dia memiliki seorang ibu berhati seluas samudra, yang selalu didatangi oleh mereka yang membutuhkan, yang memberikan teladan bagi Grace untuk menjadi pribadi dengan empati yang tinggi, dan selalu memperlakukan semua orang tanpa melihat perbedaan sedikit pun. Jadi bagi Grace, berinteraksi dengan pria yang memiliki keterbatasan fisik seperti Sebastian, sama sekali tidak membuatnya canggung. Dia sudah terbiasa.

Namun, melihat Sebastian yang begitu fokus dengan yang sedang dikerjakannya, sebuah kemungkinan terlintas di pikiran Grace, tentang kenapa pria itu terlihat tidak nyaman berinteraksi dengannya. Grace mempunyai kecenderungan untuk menjaga jarak dari pria yang baru dikenalnya, ya, hanya dengan pria dan tidak dengan wanita, orang tua dan anak-anak. Kecenderungan itu bertumbuh menjadi kebiasaannya sejak dia bertunangan dengan Barry, dan itu karena Grace hanya mencoba untuk selalu setia, bahkan sampai hal terkecil, meski ternyata Barrylah yang mengkhianatinya. Namun, sekarang hal itu malah membuat Grace berpikir, apakah karena itu Sebastian sempat terlihat sangat tidak menyukainya? Apakah pria itu tersinggung pada sikapnya?

Yah ... itu mungkin saja karena Sebastian memiliki karakter yang sensitif, dan sikap Grace yang sebetulnya biasa saja, mungkin diartikan Sebastian sebagai merendahkan atau meremehkan. Rasa sedih menyengat di hati Grace, dan tanpa diingininya, seluruh perhatiannya makin tersedot pada sosok itu, dan tak sengaja, Grace mencoba mengurai kesan yang dia dapat dari hasil pengamatannya.

Sebastian memilih butir demi butir apel dengan ketelitian yang mengagumkan. Dia memutar-mutar apel dan mengamatinya dengan seksama, lalu menciumnya beberapa kali, sebelum memasukkan ke dalam kantung plastik yang dibawa Mbok Min. Dan proses itu berulang beberapa kali, sampai dia mendapatkan sejumlah apel yang dikehendaki. Wajahnya terlihat begitu fokus, seolah apa yang dikerjakannya berpengaruh pada hidup dan matinya, dan bagi Grace, hal itu semakin mengusik nuraninya.

Pria itu seolah terasing dari sekelilingnya. Kesepian yang kental terlihat jelas bahkan saat dia hanya sedang mengambil sebutir apel. Fokusnya pada si apel, membuatnya tidak menyadari kalau di sekitarnya ada banyak wanita yang memberikan pandangan memuja, bahkan meneguk ludah penuh nafsu saat melihat sosoknya yang sempurna. Sebuah pertanyaan kembali tercetus di benak Grace. Apakah Sebastian memang tidak menyadari kalau dirinya adalah magnet wanita dengan rupanya yang indah, atau dia sengaja mengabaikan mereka karena alasan yang hanya diketahuinya sendiri?

Beberapa orang dengan kekurangan fisik seperti Sebastian yang dikenal Grace, mampu menjalani hidup mereka dengan normal dan ceria. Malah semangat hidup mereka terkadang membuat Grace merasa kagum. Sebastian adalah orang pertama yang dikenal Grace, yang memiliki bahasa tubuh seperti ini, memancarkan perasaan kesepian yang sangat kental itu, padahal untuk pria yang memiliki kesempurnaan rupa dengan wajah setampan para peri, tubuh yang tinggi dan ideal, serta penampilan yang terjaga dengan kulit sedikit 'bule' yang menggelap karena paparan sinar matahari, harusnya Sebastian bisa merasa percaya diri, atau setidaknya sadar kalau dia punya kelebihan, dan bukannya terlihat begitu terasing, kan? Maka timbul pertanyaan di hati Grace, apa yang pernah terjadi padanya?

Dituntun oleh naluri melindungi yang biasanya dimiliki oleh seorang ibu, dan mendadak bertumbuh dalam dirinya, Grace melangkah mendekati Sebastian dan Mbok Min, lalu menyentuh lengan Sebastian, yang langsung mengalihkan tatapannya dari apel kepada Grace.

"Apakah kalian sudah makan siang?" Grace bertanya.

Sebastian mengerjap, lalu menggeleng. Dia menoleh pada Mbok Min, memintanya untuk menjawab baginya. Mbok Min langsung tanggap, dan tersenyum pada Grace.

"Belum, Bu. Tadinya Abang mau makan siang, tapi apelnya belum ada, sedangkan Abang suka sekali makan apel sebelum makan nasi. Jadi, ya, beli dulu, begitu." Wanita baya itu menjelaskan.

Grace mengangguk-angguk. "Oh, begitu. Jadi sudah ada makanannya, dan cuma apel saja yang belum ada?" tanyanya lagi.

Sebastian kembali mengerjap, lalu menatap Mbok Min.

Mbok Min mengangguk. "Iya, Bu. Makanannya, sih, sudah ada. Mbok sudah masak, sudah ada di meja," jawabnya.

Grace kembali mengangguk-angguk. "Oh ... uhm ... tadinya saya mau ajak makan siang sama-sama di food court situ, sih. Senang juga, lho, ketemu sama orang yang saya kenal di sini," katanya. Dia menatap Sebastian, lalu memberikan senyum teduh.

Sebastian tertegun. Ada sesuatu pada kalimat Grace yang memberikan kesan kalau dia sedang berusaha mendekatkan diri padanya, dan Sebastian merasa tidak nyaman karenanya. Tapi saat melihat wajah Mbok Min yang sepertinya senang sekali bicara dengan Grace, Sebastian merasa tak tega kalau tidak memberikan kesempatan pada Mbok Min untuk bersosialisasi dengan orang lain. Hanya karena dirinya tidak suka beramah tamah, bukan berarti Mbok Min harus sama sepertinya, bukan?

Ragu, Sebastian menatap Grace, lalu mengeluarkan notes kecil dari sakunya. Dia menuliskan sesuatu dan menunjukkannya pada Grace.

"Makan siang dengan kami?"

Grace menatapnya, lalu senyumnya melebar. Dia yakin, Sebastian terpaksa mengundangnya untuk makan bersama, tapi itu cukup bagi Grace.

"Bolehkah? Wow ... terima kasih, Sebastian," ucapnya tulus. Tatapannya berpindah pada Mbok Min yang tampak senang mengetahui Sebastian mengundang seseorang ke apartemennya yang selalu sepi.

"Wah ... Mbok Min, kalau masakannya enak, saya bisa nebeng terus, nih, selama di sini," candanya sambil mengedipkan sebelah mata.

Mbok Min tersenyum lebar. "Mbok, sih, seneng aja, Bu," sahutnya.

Grace kembali menatap Sebastian. "Bolehkah, Sebastian?" tanyanya sambil memaku Sebastian dengan cahaya teduh di matanya.

Sebastian mengerjap, dan tersihir oleh tatapan itu. Rahangnya pun terkunci, dan seolah tak ada jawaban lain, dia mengangguk.

Grace tersenyum puas. Dia mengangkat plastik berisi apel di tangannya, dan menunjukkannya pada Sebastian.

"Akan kubuatkan cake apel, kau mau, kan?" katanya, lalu berbalik dan merangkul bahu Mbok Min dengan akrab.

Sebastian tercenung. Kenapa wanita itu bersikap seperti seorang sahabat lama padanya? Apakah semudah itu bagi Grace untuk bersikap ramah pada semua orang?

Sambil berjalan dengan Mbok Min dalam rangkulannya, Grace mengulum senyum kecil. Sebuah tekad bertumbuh di hatinya. Tekad untuk memecah keheningan dalam jiwa Sebastian.

SilencioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang