Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Permintaan...

34.2K 5.3K 243
                                    

~ I love rain, and lightning never bothers me - Sebastian Meliala ~

Barry menatap pintu unit milik Kenneth atau Kenny, sepupu Grace, dengan perasaan kacau. Dari semua tempat, Barry berharap Grace tidak akan memilih tempat ini karena dia tahu, Kenny memendam rasa terhadap sepupunya itu. Tapi setelah mencari ke beberapa tempat, tinggal tempat inilah yang tersisa, jadi meski setengah hati, Barry terpaksa datang juga ke sini.

Ditekannya bel dengan ragu, kemudian dia menunggu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan wajah cantik Grace muncul di hadapannya. Mata gadis itu sempat membesar melihat siapa yang datang, namun ekspresinya langsung kembali datar dan dia menatap Barry dengan tatapan menggidikkan.

"Ya?" tanyanya dengan nada seperti bicara dengan orang asing.

Barry mengerjap, lalu menghela napas. "Grace, Sayang, bisa kita bicara?" pintanya.

Grace menatapnya beberapa saat, lalu menyisih untuk memberikan jalan. Barry pun melangkah masuk melewati tunangannya dengan gamang. Dia begitu ingin menyentuh Grace karena tiga hari tidak bertemu membuatnya begitu rindu. Akan tetapi melihat betapa dingin sikap gadis itu, tentu saat Barry gentar. Gracenya yang lembut, yang ramah, dan tidak pernah meninggikan suaranya saat bicara, memang hampir tidak pernah marah. Dan saat Barry akhirnya melihat kemarahan Grace, dia menyadari, tidak seharusnya dia mengusik kekasihnya sejak awal.

Ketika Barry masuk di ruang tamu apartemen Kenny, alangkah terkejutnya dia melihat seorang pria tampan, yang dia yakin bukan Kenny, sedang duduk di situ, meski pun tidak sendiri. Seorang wanita baya duduk di dekatnya, sedang memindahkan potongan-potongan kue dari loyang ke dalam boks.

"Grace ...."

"Bicaralah." Suara Grace dingin. Dia melangkah melewati Barry, lalu berdiri menghadapnya dengan lengan bersilang di dada dan membelakangi kedua tamunya. Tatapan matanya tajam, namun tidak menyiratkan apa pun.

"Aku ... bisakah kita bicara di tempat lain, yang berbeda dengan tamumu?"

"Mereka temanku, dan tidak akan ikut campur dengan apa pun yang ingin kaubicarakan, jadi bicaralah." Grace memotong.

Barry menghela napas. "Grace, bukankah ini sangat pribadi?" Dia mencoba membujuk. Sangat memalukan kalau orang-orang yang tidak dikenalnya itu tahu apa yang ingin dia bicarakan dengan tunangannya ini, kan? Ya ampun ... baru sekarang Barry menyadari betapa takutnya dia kehilangan Grace. Keyakinannya akan cinta dan dedikasi Grace selama ini, telah membuatnya lengah, dan menyia-nyiakan kepercayaan Grace, dan sekarang ... apakah semua sudah terlambat?

Grace menatapnya lama, dan kalimat yang meluncur dari bibirnya kemudian menegaskan ketakutan Barry.

"Tidak ada yang pribadi sejak hubungan kita berubah, Dokter. Kecuali Anda butuh uang dan ingin pinjam, atau jika Anda ingin mendiskusikan penyakit kelamin yang mendadak Anda idap, yang memang sangat pribadi sifatnya, maka Anda tidak perlu meminta untuk bicara secara pribadi dengan saya. Bahkan sebagai teman pun, saya tidak bisa menganggap Anda lebih dari sekedar kenalan yang kebetulan kerja di tempat yang sama. Jadi kalau Anda memang ingin bicara, bicaralah."

Barry ternganga. "Grace ... kenapa kamu bilang begitu? Jangan sembarangan bicara, Grace! Hubungan kita belum berubah!" Tak sengaja suaranya meninggi karena panik.

Grace menatapnya untuk beberapa saat, lalu tertawa kecil.

"Yang betul saja, Dokter. Apa Anda pikir saya masih bersedia menerima Anda setelah Anda mengobral tubuh Anda ke mana-mana? Maaf, mungkin ada orang yang bersedia, tapi bukan saya. Saya jijik bahkan untuk sekedar memikirkan kulit tangan saya bersentuhan dengan Anda," desisnya lirih, namun menusuk.

SilencioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang