Wattpad Original
Ada 5 bab gratis lagi

Rasa Malu...

40.8K 5.6K 132
                                    

Grace menyesap sodanya dengan hati-hati, dan sedikit berjengit saat merasakan manis yang menggigit di setiap sel perasa di lidahnya. Dia mengernyit sebentar, lalu memutuskan tidak menyukai minuman itu.

Sambil menghela napas, Grace meletakkan gelas soda kembali ke atas meja dan tercenung. Sebenarnya sejak dulu dia memang tidak pernah menyukai minuman berkarbonasi karena efek menggigitnya, tapi kali ini dia memesannya hanya karena ingin melakukan sesuatu yang menyimpang dari kebiasaannya. Kekonyolan yang sengaja dilakukannya untuk mengurangi gumpalan amarah di dada, akibat otaknya tak berhenti memutar potongan adegan menjijikkan yang dilihatnya di rumah sakit siang ini, dan hampir membuatnya kehilangan kendali diri.

Kembali, bayangan Barry dan perawatnya yang bergumul di bawah meja melintas di benak Grace, membuatnya mengembuskan napas keras untuk sekedar mengurangi rasa sesak di dada. Apa yang membuat Barry tega? Apakah ... jangan-jangan sebetulnya Barry memang sering melakukan hal itu di belakangnya?

Sebuah gerakan di depannya merenggut Grace dari lamunan dan membuatnya mendongak. Mata teduhnya langsung bertatapan dengan sepasang mata bulat yang berkilau milik seorang wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri di depan meja Grace sambil tersenyum semringah. Ramah, Grace membalas senyumnya.

"Hai," sapa Grace.

Senyum di wajah wanita itu melebar. "Hai, Dok. Apa kabar?" balasnya riang.

Grace mengerjap. "Baik, Mbak kenal saya, ya?" tanyanya.

Wanita itu mengangguk penuh semangat. "Ya. Saya Beby, Dok. Saya pernah menemani keponakan saya yang waktu itu menjalani kemo. Namanya Rebecca, ingat?" Dia balik bertanya.

Grace mengangkat alisnya. "Ah ... gadis Hello Kitty itu, ya?" jawabnya. Wajahnya berubah cerah saat mengingat gadis kecil yang dimaksud.

Beby mengangguk lagi. "Betul, Dok. Wah ... senang rasanya karena Dokter masih ingat pada Rebecca," katanya gembira.

Grace tersenyum manis. "Siapa yang bisa lupa pada Becca? Saya masih menyimpan gantungan kunci dari dia, lho. Oh, omong-omong, duduk dulu, Mbak Beby. Enggak enak kalau saya duduk, tapi Mbak Beby berdiri." Dia mempersilakan sambil menggerakkan tangannya ke arah kursi. Tidak ada salahnya berbincang dengan orang yang baru dia temui, mungkin akan mengalihkan pikirannya sedikit dari kejadian menjijikkan tadi.

Di depannya, Beby terlihat makin semringah. Dia pun duduk berseberangan dengan Grace dan menatapnya dengan mata berbinar.

"Terima kasih, Dok, undangannya. Tapi ... saya tidak mengganggu, kan? Oh iya, bagaimana kabar Tante Gail sekarang, Dok?" tanyanya ingin tahu.

Grace melebarkan matanya. "Mbak Beby kenal bunda saya?" tanyanya heran. Siapa pun yang mengenal Gail, ibundanya, biasanya teman lama. "Kenal di mana?" sambungnya.

Beby nyengir. "Kenallah, Dok. Waktu kecil saya pernah ikut Sekolah Minggu yang diajar oleh Tante Gail, sebelum saya pindah ke New York, ikut papa saya," jawabnya. Dan di sekolah Minggu juga aku kenal denganmu, dan langsung memujamu sebagai seorang idola. Terus mengikuti perkembanganmu, dan menyimpan rasa kagum melihatmu menjadi dirimu saat ini, imbuhnya dalam hati.

Grace mengerutkan kening. "Kapan itu? Jangan-jangan kita pernah ketemu juga sebelumnya?" tanyanya ragu.

Beby nyengir. "Pernah, sih, Dok. Beberapa kali. Waktu itu Dokter masih SMP dan saya kelas enam SD," jelasnya.

Grace mengerjap beberapa kali. "Saya SMP, Mbak Beby masih SD, dan kemudian ikut papanya ke New York ... hm ... sepertinya saya ingat seseorang, tapi bukan Beby namanya." Dia menyipit. Di depannya, cengiran Beby melebar.

"Kok, Dokter bisa ingat, ya?" ujarnya.

Grace menatapnya lama. Lalu ekspresinya berubah, menunjukkan kalau dia ingat sesuatu.

SilencioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang