6

9.7K 735 149
                                    

Dengan langkah ragu, aku pun menghampiri kakek dan Shagam. Shagam memandangku dengan tatapan mengejek. Terpancar seringainya yang puas begitu melihat reaksi kagetku.

"Hei Marel," sapa kakek polos. Shagam masih menyuapi kakek. Ya aku tahu Shagam memang akrab sekali dengan kakek. Tapi aku bingung, kenapa dia mesti datang malam ini? Menyebalkan.

Aku pun berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan kakek. Zian menyusul di belakangku. Begitu melihat Zian, rahang Shagam kembali mengeras. Ia benar-benar tidak menyukai Zian.

"Kek, ini teman yang Marel maksud," ujarku.

Kemudian Zian menghampiri kakek, lalu disalamnya kakek dengan sopan. Kakek melihat Zian tanpa ekspresi. Zian pun berusaha untuk terlihat sebaik mungkin di hadapan kakek.

"Saya Zian, kek. Temannya Marel."

Kakek beralih melihatku. "Ini teman kamu yang pengacara itu?" tanya kakek lembut.

Aku mengangguk. "Iya kek hehe."

Kakek pun memperhatikan detail sosok Zian dari ujung kaki sampai ujung rambut sambil mengelus-elus dagunya. Begitulah kakek. Ia bukan orang yang dengan mudah menyukai orang lain. Aku berdiri di samping Zian sementara Shagam duduk di tepi ranjang dekat kakek.

"Shagam, menurut kamu bagaimana orangnya?" tanya kakek pada Shagam.

Aku tentu terkejut dan tak terima. Bagaimana bisa kakek malah meminta Shagam menilai Zian. Ini bukan haknya.

"Kek, kenapa harus bertanya pada Shagam? Zian teman Marel. Dia orang baik kok."

Kakek menatap bola mataku tajam. "Marel, Shagam adalah seorang psikiater. Dia bisa membaca karakter orang. Jelas kakek perlu bantuan dia. Kakek tidak mudah menerima sembarang orang, Marel."

Aku terkesiap. Aku lupa fakta bahwa Shagam adalah seorang psikiater. Berarti kedatangan Shagam kesini karena diundang kakek.

Dan dugaanku tepat. Tidak akan mungkin kakek menerima orang lain begitu saja masuk dalam perusahaannya. Aku tahu kakek itu adalah sosok yang sangat detail dan selalu melakukan keputusan dengan tepat.

Aku hanya bisa menatap sinis Shagam yang sedang menyeringai puas karena lagi-lagi aku kalah darinya. Ia memang memegang kendali yang cukup besar pada keluargaku dan aku benci itu.

"Kalau saya membaca dari wajahnya, dia adalah sosok yang pekerja keras dan ambisi, kek," jawab Shagam.

"Apakah dia orang baik dan bisa dipercaya? Karena tidak sembarang pengacara bisa masuk ke Brasta Land," timpal kakek lagi.

Shagam terus memperhatikan raut Zian dengan seksama. Mangkuk tempat bubur kakek sudah ia letakkan di atas laci yang berada di samping ranjang kakek. Yang aku takutkan, Shagam malah berkata sesuatu yang buruk tentang Zian dan kakek pada akhirnya malah tidak jadi merekrut Zian.

"Untuk ukuran orang baik sepertinya tidak, kek."

What? Aku sudah mengira si gay bangsat itu akan mengatakan hal yang buruk tentang Zian. Tahu apa sih dia? Sepertinya dia punya dendam pada Zian. Aku terus menatapnya penuh kebencian.

"Benarkah? Lalu pantaskah kita rekrut dia sebagai pengacara Brasta?" tanya kakek lagi pada Shagam.

Kenapa sih kakek harus menjadikan jawaban Shagam sebagai tolak ukur apakah Zian pantas diterima atau tidak? Shagam bukan orang HRD kantor!

"Kek, kenapa harus mendengarkan jawaban Shagam sih? Kenapa Zian tidak diwawancara saja oleh orang HRD di kantor kakek?"

Kakek lagi-lagi menatapku tajam. "Marel, dia adalah orang permintaan kamu. Pertama kalinya kamu meminta bantuan kakek untuk memasukkan teman kamu ke dalam Brasta. Maka dari itu kakek harus menghadapinya langsung. Kalau kamu mau menggunakan orang HRD kantor, suruh saja dia apply cv-nya lewat website Brasta dan lakukan semuanya melalui proses resmi dan kamu tidak perlu sampai membawa dia ke rumah sakit seperti sekarang."

[C2] He's not NORMAL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang