7

8.4K 744 154
                                    

Aku mematung beberapa saat. Napasku tercekat karena tak tahu lagi harus berkata apa. Aku benar-benar lemas. Bagaimana mereka semua bisa merencanakan ini semua tanpa sepengetahuanku? Kakek, Marel, dan Shagam bekerjasama dengan sangat apik. Aku tidak bisa berkutik lagi ataupun kabur dari sini. Ya Tuhan aku lelah sekali. Sebenarnya kenapa sih mesti Shagam?

Aku perhatikan wajah mereka semua. Kakek, mama, dan Shagam tertawa dengan begitu bahagianya tanpa mempedulikan perasaanku sedikitpun. Aku benar-benar sakit melihat semua ini. Haruskah aku menerima Shagam sebagai suamiku?

Shagam memang sebenarnya tampan. Setelan jas dan celana berwarna biru dongker sangat cocok di tubuhnya yang tinggi. Ya meskipun ia sedikit kurus tetapi itu tidak mengurangi pesonanya. Ditambah rambutnya yang sedikit gondrong terjuntai lurus ke bawah. Bibirnya yang tipis serta bulu-bulu manis di sekitar dagu dan rahangnya yang mampu membuat wanita jatuh hati. Sayang, ia bukanlah pria normal. Ia tak ada rasa terhadap wanita.

Pikiranku jadi terputar ke masa itu lagi. Di mana Shagam secara gamblang menyatakan bahwa ia benar-benar sudah tak menyukai wanita manapun lagi. Aku dan Usya jelas saja syok. Terutama aku. Sudahlah dia melupakan kenangan kami karena hilang ingatannya itu. Eh setelah itu malah mengaku tidak suka pada wanita. Tak kusangka air mataku menetes lagi.

"Marel, ayo," ajakan kakek membuatku tersadar.

Aku tak bisa berbohong. Wajah mama dan kakek benar-benar menampakkan kebahagiaan yang nyata. Senyum lebar mereka terus merekah sepanjang pagi ini. Haruskah aku menghancurkan kebahagiaan mereka atau memilih kabur demi kebahagiaan diriku sendiri?

Tiba-tiba Shagam mengulurkan tangannya padaku. Aku jelas kaget. Aku tatap wajahnya kesal. "Mau ngapain?" tanyaku ketus.

Ia tersenyum. "Para wartawan udah nunggu dari tadi dan ini saatnya buat kita untuk menunjukkan ke mereka bahwa kita adalah pasangan yang serasi."

Aku pun beranjak dan memilih untuk mengabaikan uluran tangannya. "Dengar ya, Gam. Aku tidak akan pernah sudi menikah denganmu!" bisikku tepat di telinganya.

Shagam langsung mendelik dan lagi-lagi ia memasang seringai menjijikkannya itu di hadapanku. "Marel, sudahlah. Menyerah saja. Apapun caramu itu tak akan berguna. Percaya padaku. Kakekmu dan mamamu sudah benar-benar menyerahkan dirimu padaku," balasnya pelan.

Kakek dan mama jauh dari kami sehingga mereka tidak akan mendengar perdebatan kecil kami. Para pelayan kakek sibuk merapikan jas kakek serta gaun yang dipakai mama agar mereka terlihat bagus di depan kamera. "Kenapa kau sangat ingin menikahiku Shagam? Kau tidak menyukaiku dan kau tidak akan pernah menyukaiku. Kau adalah gay, Shagam Prasrari."

Jarak kami benar-benar dekat. Aku bisa merasakan desiran napasnya yang menyapu kulit wajahku. "Bukankah kau yang membuat persepsi itu Amarel? Silakan kau menilaiku dengan pikiranmu."

"Kau mengatakan dengan jelas padaku saat itu bahwa kau tidak akan menyukai wanita manapun lagi!" Aku sedikit membentaknya.

Shagam terus menatap mataku dalam. Jujur, hatiku kembali berdebar. "Kau seharusnya berpikir. Apa yang membuatku seperti ini!"

Aku terhenyak. "Apa maksudmu?"

Ia pun perlahan menjauh dariku. Lalu ditariknya tanganku dengan paksa dan digenggamnya erat. "Dengar! Selamanya aku akan terus membencimu, Amarel."

Jeb! Aku lagi-lagi terdiam tak tahu harus mengatakan apa. Membenci? Memangnya apa yang aku perbuat sehingga dengan lantangnya Shagam mengatakan bahwa ia membenciku. Apa salahku? Shagam, seandainya dirimu tahu. Aku tak pernah melupakanmu. Di sudut hatiku yang terdalam masih ada namamu tertera di sana. Bahkan mengharapkanmu untuk kembali normal, tapi pernyataanmu malam ini benar-benar membuat pertahananku hancur.

[C2] He's not NORMAL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang