11

7.2K 671 213
                                    

Akhirnya kami tiba juga di rumah Usya. Sepanjang perjalanan Usya terus mengeluh padaku. Ia sangat takut pada papanya karena papanya hanya mengerahkan tenaga para pengawal jika Usya melakukan kesalahan besar. Usya juga sesekali menitikkan air mata saking paniknya. Dan aku hanya terus berusaha untuk menenangkannya.

Rumah Usya cukup besar. Maklum papanya  berkancah dalam dunia politik sudah sangat lama. Aku tahu karena aku sangat dekat dengan Usya. Kami kan berteman sejak SMA. Bahkan asal kalian tahu kami juga satu kampus. Aku belum pernah bilang ya kalau aku adalah tamatan Monash University dengan gelar Phd Business and Business Specialist. Sedangkan Usya lulusan dari Monash University dengan gelar Phd Business Administration. Kami hebat kan pada dasarnya. Aku juga cumlaude loh! Kurang hebat apa juga aku?

Kembali ke rumah Usya. Saat ini kami sedang berjalan beriringan menuju pintu utama rumah Usya. Usya tampak gelisah. Peluh selalu keluar dari pelipis matanya.

"Sya, tenang. Nanti aku akan membantumu. Percaya sama aku."

"Rel, kau pasti tahu kan seberapa seramnya papaku kalau marah. Aku takut hiks."

Aku pun mengusap punggung Usya untuk menenangkannya. Ya beberapa kali aku sering menyaksikan Usya dimarahi oleh Om Sayid dan itu mampu membuat Usya menangis terisak-isak. Cara Om Sayid memarahi sebenarnya bukan marah-marah kasar, tapi kata-katanya yang mampu menyentuh ulu hati terdalam. Kadang saja aku bisa menangis mendengarkan Usya dimarahi.

Kini kami sudah memasuki ruang tamu. Dari sini kami bisa melihat punggung Om Sayid yang sedang membaca koran. Pengawal yang tadi menjemput kami pun sudah di depan Om Sayid dan seperti memberitahu bahwa Usya telah tiba. Aku dan Usya pun dipersilakan untuk duduk di depan Om Sayid yang masih sibuk membaca koran.

Usya menatapku takut. Tenang, Sya. Aku juga takut. Kuperhatikan Om Sayid masih sibuk dengan korannya tanpa menggubris kehadiran kami di sini.

"Pa...," panggil lirih Usya.

"Kalian gimana liburan di Jepangnya? Seru?" tanya Om Sayid dari balik korannya.

Ah akhirnya Om Sayid mengeluarkan suara juga. Aku sedikit lega. "Seru kok, om," jawabku antusias. Wait, Om Sayid tahu kami pergi ke Jepang? Usya kan tak memberitahu perihal kepergian kami. Huft! Ini mah kabur gagal namanya.

Om Sayid pun lantas melipat koran tersebut lalu diletakkannya pada sisi kosong sofa di sebelahnya. Om Sayid itu orangnya pendek dan perutnya lumayan buncit. Dia memakai kacamata dan mempunyai kumis yang membuat rupanya terlihat agak menakutkan. Om Sayid kini memandangi kami datar.

"Kamu bisa hidup tanpa kartu kredit kamu?" tanya Om Sayid.

Loh! Om Sayid tahu bahwa kartu kredit-ku diblokir? Kakek ember bocor ya. Pasti Om Sayid tahu dari kakek. Aku juga lupa bahwa Papa Usya dan Om Sayid berteman baik. Untung saja Usya tidak sepertiku. Pasti kalau ia mengharapkan uang dari Om Sayid, nasib Usya akan sama sepertiku. Om Sayid dan kakek pasti sudah bekerja sama. Menyebalkan.

"Om Sayid tahu kalau kartu kredit saya diblokir?" tanyaku polos.

Om Sayid tersenyum miring. Ia pun mengambil secangkir kopi di hadapannya lalu diseruputnya. "Kakekmu juga menanyakan soal kepergianmu pada om, Amarel. Om juga agak kaget awalnya. Tapi om sadar. Anak om ternyata nggak pulang-pulang juga. Jadi om berpikir bahwa kamu pasti pergi dengan Latusya."

Usya terus merundukkan kepalanya tak berani menatap Om Sayid. "Hehe iya, om."

"Dan kamu Latusya. Apa yang kamu lakukan selama ini? Papa nggak menyangka kamu menjalin hubungan dengan istri orang lain. Ya Tuhan Latusya. Mau taruh di mana muka papa? Memangnya didikan papa kurang selama ini?"

[C2] He's not NORMAL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang