8

7.3K 728 176
                                    

Sial! Bisa-bisanya di saat seperti ini dia malah mengingat Dodo. Entah kenapa aku merasa gagal dibanding si banci kaleng itu. Aku itu Amarel Brasta. Seorang cucu konglomerat dan bisa-bisanya aku kalah saing oleh banci seperti si Dodo? Hell!

Di mana-mana orang itu cemburu terhadap sesama jenisnya, tapi kenapa aku malah  cemburu pada lawan jenis? Mending yang aku cemburui adalah pria tampan. Ini bahkan jauh dari kata tampan. Fuck! Langsung saja aku menjauh dari si gay ini. Entah kenapa hatiku miris mendengar permintaan tolongnya.

Bukankah seharusnya ia membutuhkanku dibanding kekasih gaynya itu?

"Cih! Tak sudi aku menolongmu. Panggil saja dia sendiri!" kataku kuat.

Shagam malah memandangiku nanar. Ia benar-benar terlihat putus asa. "Amarel, tolong aku. Hanya kau yang bisa memanggilkan Dodo saat ini," ujarnya dengan suara parau.

"Kenapa mesti Dodo sih, Gam? Bukankah aku juga bisa menolongmu saat ini? Kau memerlukan apa? Biar kubantu. Asal jangan menyuruhku memanggil si banci kaleng itu!" ujarku ketus.

Ia memejamkan matanya beberapa detik. "Marel, tolong. Panggilkan Dodo. Kau tak akan bisa menyembuhkanku. Percayalah."

Aku terdiam beberapa saat. Apakah sebenci itu Shagam terhadap aku? Sampai-sampai niatku untuk menolongnya malah ditolak mentah-mentah? Ya Tuhan. Bagaimana bisa aku menjalani sisa hidupku nanti bersama pria gay ini?

"Sebenarnya apa sih Gam yang membuatmu begini? Memangnya aku tak bisa menyembuhkanmu?" suaraku sekarang sudah pelan. Aku lelah dan tak tega juga kalau harus berbicara dengan nada tinggi pada orang yang sedang lemah seperti dia.

Shagam kembali menatapku. Pandangannya benar-benar tulus kali ini. "Percaya padaku, Marel. Kalau kau bisa menyembuhkanku sekarang, aku tak akan memerlukan bantuan Dodo. Saat ini aku benar-benar butuh Dodo."

Aku mendengus kesal. Baiklah. Aku menyerah. "Yasudah. Bagaimana caranya agar Dodo ke sini?" tanyaku ketus.

"Ambilkan ponselku di saku jasku tadi."

Aku pun mengambil jas Shagam yang tergeletak di kursi belajarnya. Ya di kamar Shagam masih ada meja dan kursi belajar. Lalu kucari ponselnya dan aku menemukannya. Ponselnya dalam keadaan non active. Kemudian aku tekan tombol power pada sisi kanan ponselnya. Begitu hidup, ponsel Shagam menggunakan password dan aku tidak tahu apa password-nya.

Aku kembali menghampirinya yang sedang terkulai lemah di atas ranjangnya. "Aku tidak tahu apa password-mu. Cepat beritahukan aku, atau kau mau mengetiknya sendiri?"

Ia menggeleng. "Aku terlalu lemah untuk mengetiknya."

"Yasudah jadi apa kata kuncinya?" tanyaku lagi masih dengan nada yang sama.

"Tanggal lahir..." jawabnya parau.

Aku pun langsung menyentuh layar ponsel Shagam dan kusentuhkan jariku ke angka lahir Shagam, tapi failed. Bukan tanggal lahir Shagam. Aku ingat persis tanggal lahirnya dan aku tidak mungkin melupakn tanggal itu. Tanggal lahir si Dodo jangan-jangan. Huh!

Aku kembali menatapnya kesal. Malas sekali sebenarnya harus menanyakan tanggal lahir Dodo pada si gay sialan ini. "Tanggal lahir Dodo kapan?"

Ia mengernyitkan dahinya bingung. "Buat apa?" tanyanya lembut.

"Katamu tanggal lahir kan? Tanggal lahirmu tidak bisa, bodoh!"

Ia terbahak. "Marel Marel. Tanggal lahirmu, stupid."

Aku mendadak terdiam. Tanggal lahirku Kenapa bisa? Bukankah baru saja tadi pagi ia mengatakan dengan jelas bahwa ia membenciku? Bahkan saat ini saja dia malah lebih membutuhkan Dodo dibanding aku. Tapi kenapa malah tanggal lahirku yang dijadikan kata kunci pada ponselnya?

[C2] He's not NORMAL!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang