[6] Jalan malam

282 78 33
                                    

Setelah kejadian menguras tenaga dirumah Calum, ia mengajakku berjalan di pinggir kota untuk sekedar menenangkan pikiran katanya.

Mungkin ini bisa saja disebut, jalan-jalan malam bersama Calum dengan tangannya tak lepas dari jemariku dan semilir angin malam yang menyejukan.

Ia membelikanku es krim dan seingatku, Calum tidak menyukai es krim. Entah apa alasannya. Laki-laki itu memang penuh dengan misteri. Tapi bodohnya, ia membeli es krim.

"Es krimnya ga enak." keluh Calum, jijik. Aku ingin sekali melihat wajah tampannya sekarang, betapa lucunya ia saat ini?

Andaikan aku tidak buta, pasti kali ini aku sudah mencubit pipinya gemas.

Dan, ayolah, es krim tidak pernah mengecewakan saat dimakan. Kurasa, lidahnya saja yang aneh.

Ku rasakan Calum berhenti berjalan lalu aku dengar suara benda yang terlempar dan jatuh di suatu tempat.

Oh.

Calum baru saja melempar es krimnya ke tong sampah dan berkata yes.

Ingat.

Dia orang kaya.

Kita semua tak berhak mengatakan kata mubazir dihadapannya.

Aku mendengus lalu kembali sibuk dengan es krim yang kelewat enak ini.

"Aku lebih baik memakan seribu hot dog daripada memakan satu es krim."

"Apa?" tanyaku.

Aku menggeleng. "payah, lidahmu payah!"

"Tidak ada dalam diriku yang payah!" sergahnya menantangku.

"Ada." kataku. "lo takut sama serangga." godaku yang dibalasnya dengan gelengan.

"Ng-"

"ADA KECOA DI KAKI MU!"

"mANA MANA?!?!?!" Aku merasakan pelukan Calum pada pinggangku, ia gemetar.

ASTAGA DIA GEMETAR HANYA KARENA KECOA?

Aku tertawa lebar lalu menonjok lengannya yang membuatnya menonjok lenganku balik.

"Perempuan sialan." umpatnya yang masih dapat kudengar.

"Apa?"

"Aku bilang, perempuan manis." ulangnya sambil menarik tanganku untuk ia genggam. Sengatan listrik itu datang lagi saat permukaan kulitnya menyentuh kulitku dan ku temukan sensasi menggelitik di perutku.

Saat kaki Calum dan aku masih berjalan seirama di trotoar, keping-keping kejadian tadi masih saja menghantuiku.

Omongan Michael dan Tante Joy.

Mereka berdua mengatakan hal yang berarti sama. Yang mana membuat tenggorokanku tercekik dan hatiku bagai ditusuk beribu jarum.

Aku dan Calum seharusnya tidak ada.

Inti dari apa yang dikatakan mereka adalah itu. Aku tidak bingung lagi dengan pernyataan mereka karena hal ini pernah terjadi denganku.

Aku dan Luke.

Ugh, aku harap sekarang ia baik-baik saja. Kisahku dan Luke memang hampir mirip dengan yang ini tapi bedanya, Tante Liz menyetujuiku dan Luke. Namun, sebagian temannya tidak.

Aku sering berfikir tentang diriku sendiri. Salah satu yang aku bingungkan hanyalah tentang perasaanku.

Jika aku mencintai anak mereka apa aku yang harus disalahkan?

Jika anak mereka menyukaiku juga bagaimana?

Cinta itu hal lumrah yang dapat dirasakan oleh semua manusia di dunia ini. Tapi kenapa saat cinta itu datang padaku, rasanya sangat tak patut. Seakan, aku tak pantas mencintai orang lain.

Aku mencintai Luke. Aku mencintai Calum. Lantas apa salahnya?

Ya, walaupun akhirnya Luke meninggalkanku tanpa alasan, ia pernah mencintaiku.

Namun dengan Calum, berbeda. Ia membuatku merasakan cinta yang berbeda dengan Luke. Yang mana membuatku ingin merasa kuat dihadapannya, untuknya. Bukan aku yang dulu selalu bersikap manja dengan Luke, bukan.

"Duduk sini dulu." kudengar suara tegukan air dari arah sampingku.

Aku menoleh kearahnya, senyumku meluntur saat aku membayangkan jika saja aku dapat menatap mata coklatnya saat ini.

"Minum?" tanyanya, aku menggeleng.

Hampir semua orang yang masuk kedalam hidupku selalu berakhir dengan mereka yang meninggalkan ku, padahal sebelumnya merekalah yang berjanji untuk selalu ada disampingku. Begitu juga dengan Luke.

Aku tidak tau jika ia akan melakukan hal yang paling aku benci. Perpisahan. Ia mengatakan itu dihadapanku.

Ku dengar ia menguap kecil lalu ia mengerang seperti sedang merentangkan tangannya atau yang simpelnya, ia sedang mengulet.

Ku rasa ini sudah larut malam, dari Calum yang menguap terus dan- ia tiba-tiba menyenderkan kepalanya di pundak ku.

"Gue tidur bentar ya, bentar aja." ucapnya yang diikuti deru nafasnya yang teratur.

Aku menolehkan kepalaku lalu perlahan menempatkan tanganku ke rambutnya. Aku mengelus kepala Calum pelan.

Di saat seperti inilah ketakutan itu menghantuiku lagi. Dimana aku takut akan perpisahan.

Aku memejamkan mataku lalu berdoa pada Tuhan. Semoga saja Ia mendengar doaku di tengah malam ini.

Biarkan aku bersamanya.

+ + +

gua gabisa bayangin kalo calum dateng dengan muka unyunya trs senderan dipundak gua.

fuck.

Clichè : Calum [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang