[5] Makan malam

285 85 42
                                    

Tarik nafas.

Buang nafas.

Tari nafas.

Buang nafas.

Oke, Sierra. Lakukan itu berkali-kali. Aku mencoba merilekskan pikiranku dan kegugupanku sejenak. Memikirkan hal-hal baik akan terjadi nanti.

Tidak akan ada hal buruk.

Aku memantapkan pilihanku dengan meng-iya-kan ajakan makan malam dirumah Calum. Katanya Ibunya ingin bertemu denganku.

Aku gugup setengah mati menyadari setiap detik menuju rumah Calum semakin dekat. Calum bilang ini hanya makan malam biasa.

Biasa?

BERTEMU DENGAN IBUNYA ADALAH HAL BIASA?

Aku bingung dengannya, dimana ia letakkan otaknya saat ia bilang, ini. hanyalah. makan malam. biasa. Rasanya aku ingin melempar wajahnya dengan sepatu hak tinggiku ini.

Ibunya pasti akan menilaiku dari atas hingga bawah. Aku yakin itu. Dari 1 hingga 10, ku nilai diriku 3. Oh, ayolah, aku payah dalam berpakaian dan berdandan. Tapi malam ini akan kupastikan diriku berada di angka 8.

Lagi, aku menarik nafas dalam-dalam mencoba meningkatkan rasa percaya diriku.

Dan disinilah aku, dirumah Calum yang megah (katanya) dan tangannya yang tak terlepas dari jemariku.

"Hati-hati sayang." ucapnya saat kakiku memijak sebuah anak tangga.

Aku memasang mimik wajah yang berarti, jangan-panggil-aku-sayang-jika-kau-tidak-ingin-mati, ku dapati dirinya terkekeh pelan dan membuka pintu rumahnya.

"Cukup tenang, dan tersenyumlah. Ibuku suka perempuan yang murah senyum." bisiknya perlahan.

Ku dengar suara sepatu beradu dengan keramik lantai dan tak lama seseorang dengan wangi lemon itu mendekat.

"Ibu," panggil Calum, ia melepas eratan tangan kami dan kurasa ia memeluk ibunya.

Aku tersenyum saat tangannya kembali meraihku dan kurasakan bau lemon itu mendekatiku.

"Ini dia." ucap Calum yang kurasa 'dia' menunjuk kearah diriku.

"Si-sierra." ucapku gugup, tangannya dingin. Persis dengan Calum.

"Joy, panggil saja Tante." ucapnya padaku. Lembut.

Gugupku hilang setelah dirinya menyuruhku memanggilnya 'tante'. Lalu, hentakan sepatunya menghilang dan Calum lagi-lagi berbisik.

"Kurasa ia menyukaimu." nada senang tercetak di kalimatnya yang mana membuat bibirku membentuk senyuman.

++

"Jadi sudah berapa lama?" tanya Ib- maksudku Tante Joy pada kami berdua tepatnya.

"Ini minggu pertama kami." jawab Calum.

Suara sendok dan piring mulai terdengar setelah percakapan singkat di meja makan yang ku asumsikan besar ini.

Calum mencoba membantuku mengambil makanan yang aku inginkan dan sesekali ia menawarkan dirinya untuk memotong daging di piringku.

Aku tersenyum lagi saat mengetahui ia seperhatian itu padaku. Meskipun, Luke juga pernah memperlakukanku seperti ini, namun dengan Calum, semua berbeda.



Setelah makanan kami selesai, para pelayan datang berhamburan membereskan piring-piring dihadapanku dan terjadilah keheningan canggung yang kudapat diruangan makan ini.

"Sierra, boleh aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Tante Joy padaku. Aku mengangguk antusias dan mulai mendengarkannya berbicara.

"A-apa kau.." diam. ia seperti tengah bingung saat aku mendengar kalimatnya yang terpotong. "buta?"

Seketika aku tersedak air liurku sendiri.

Kudengar Calum juga kaget seperti apa yang aku ekspresikan saat ibunya bertanya seperti itu padaku.

"Ibu, ada apa?" tanya Calum tak mengerti, aku pun begitu. Apa maksud Ibunya bertanya ini padaku?

Ibunya sempat menghela nafasnya panjang sebelum akhirnya mengakhiri percakapan kami dengan sebuah kalimat mengerikan untukku.

"Bisa Ibu dan Sierra bicara..," ia menepuk pundakku. "-berdua?"

++

Harum axe menyambutku saat aku masuk ke mobil Calum. Aku menghela nafas dan menjernihkan otakku setelah makan malam itu.

Tangan Calum menjamah tanganku, "apa yang Ibuku bilang padamu, Sierra?" terdengar jelas nada kesal dan khawatir di perkataannya.

Aku menggeleng dan tersenyum sekuat yang ku mampu. "hanya urusan perempuan."

Calum terdiam meskipun ibu jarinya masih terus bergerak secara teratur di kulitku. "kau berbohong."

Ku tahan nafasku sebelum akhirnya menghembusnya pelan. Calum akhirnya bersuara. "kita telah berjanji untuk ini. Kau dan aku, akan menghadapi ini semua bersama."

"Apa yang Ibuku katakan padamu?" ulangnya lagi. "dia Ibuku dan kau pacarku. Aku berhak tau apa yang ia katakan padamu." tegasnya mencengkram tanganku pertanda ia serius.

Aku meneguk air liurku sendiri, menyadari jika aku harus mengatakan kebohongan tentang percakapanku dan Ibunya tadi.

Aku akhirnya mengatakan hal lain yang mana kurasa Calum cukup puas dengan kebohongan yang ku hidangkan padanya.

Aku bernafas lega untuk sesaat aku masih memikirkan perkataan Tante Joy tadi yang membuat perasaanku hancur berkeping-keping, aku tidak bisa dan seharusnya memang tidak boleh mengatakan hal ini pada Calum.

Maksudku, haruskah aku bilang padanya, jika Ibunya menyuruhku menjauhinya?

Haruskah aku bercerita padanya jika hubungan ini tak direstui olehnya?

Dan haruskah aku mengatakan padanya jika Ibunya menginginkanku membunuh perasaanku padanya?

Tentu tidak 'kan?

+++

mama joy galak, farsya gasuka:(

Clichè : Calum [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang