Bagian 12

173 27 10
                                    

"Lo Venus?"tanya Lyra dengan pandangan datar ke depan.

"Hah?"sahut Ave kaget. Pertanyaan Lyra membuatnya tersedak bumbu cimol yang lumayan pedas.

"Kamu gak papa Ve?"tanya Orion khawatir.

Ave melambaikan tangan kanannya, menandakan kalau dia baik-baik saja. Sementara tangan kirinya berusaha menepuk-nepuk dadanya yang terasa pedas, perih, panas akibat tersedak bumbu cimol.

"Lo Venus?"tanya Lyra lagi. Kali ini dia menatap ke arah Ave.

Ave memberanikan diri menatap Lyra yang di matanya terpancar harapan yang sangat besar. "Apaan?"sahut Ave.

"Lo Venus bukan?"tanya Lyra kekeh.

"Gue manusia ra. Oon banget sih lo. Harusnya lo gak keterima di ITB. Bedain manusia sama planet aja gabisa."ledek Ave.

Lyra membuang muka begitu saja. Lyra memulai lamunannya. Langit biru dan awan putih yang bergerak pelan seakan mendukung suasana Lyra untuk melamun.

'Bukan Venus ya? Kok gue sedih denger jawabannya? Apa gue bener-bener ngarep kalau dia itu Venus? Ah gue bego banget sih, gara-gara mimpi semalam sih ini.'gerutu Lyra dalam hati.

"Eh iya, Ve nanti malem anterin aku ke Kiaracondong yak."pinta Orion.

"Lo dah mau balik Jogja? Gile cepet banget. Kurang lama di Bandungnya."sahut Ave.

"Gue mau pulang."kata Lyra pelan. Lyra beranjak dari tempatnya diiringi pandangan penuh keheranan dari Orion dan Ave. Lyra melangkah semakin jauh. Tak satupun dari Orion atau Ave yang menghentikan langkah itu. Semakin jauh dan sosok Lyra menghilang dari hadapan mereka.

"Dia kenapa?"tanya Ave sambil menatap Orion heran. Sementara Orion hanya mengangkat kedua bahunya sebagai kode kalau dia juga tidak paham tentang apa yang terjadi pada Lyra.

Lyra membanting tubuhnya diatas kasur. Seperti orang depresi. Dia menenggelamkan wajahnya diantara empuknya bantal. Mendung membawa dingin yang menyeruak kedalam kamarnya.

"Bukan Venus ya?"gumamnya. Lyra menghentak-hentakkan kakinya di atas kasur, seperti anak kecil yang tidak diberi es krim.

Lyra membalikkan tubuhnya, dia menatap langit-langit kamarnya yang berbintang. Sebenarnya hanya bintang fosfor mainan yang sejak dulu dia tempelkan disana. Pikiran Lyra melayang diatas langit, langit-langit kamarnya. Tiba-tiba Lyra beranjak dari tempat tidur dan menatap wajahnya di depan cermin.

"Sadar ra!"katanya sambil memukul kedua pipinya keras. "Bukan waktunya mikirin masa lalu! Hidup harus berlanjut! Impian sudah di depan mata. Lo harus buang hal-hal yang gak penting!"katanya pada bayangan di cermin itu.

'Gak penting?' tanyanya dalam hati. Apa benar tidak penting? Sahabatnya, orang pertama yang berteman dengannya, akankah menjadi tidak penting?

***

"Ve, aku titip Lyra."kata Orion menepuk pundak sahabatnya itu.

"Titip?"tanya Ave heran.

"Iya ve, titip. Tolong jagain Lyra. Aku tau kalau Lyra udah bisa terima kamu jadi teman dia."jawab Orion. Tapi Ave tidak mengerti maksud Orion.

"Maksudnya?"tanya Ave bingung.

"Lyra itu sulit untuk bersosialisasi sama orang baru, dia cenderung diam dan tidak banyak omong. Tapi melihat dia bisa leluasa ngobrol sama kamu, artinya dia sudah bisa nerima kamu jadi temannya."jelas Orion.

"Oh masalah itu.."sahut Ave seolah paham apa yang dimaksud Orion.

"Jadi kamu sudah tau kalo Lyra punya masalah sosialisasi?"selidik Orion.

Tujuh Tahun CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang