Bagian 23

60 17 12
                                    

"Inikah rindu?" tanya Nene pada dirinya sendiri.

Rindu ini bukan tentang jarak. Dia dekat, tapi terasa jauh. Rindu ini memang menggebu mengharap temu. Tapi temu pun tak menjanjikan ia berumah padamu. Rindu ini hanya bisa kusampaikan lewat doa. Doa yang entah nantinya akan berujung padamu atau tidak. Yang pasti, ini doa searahku. Aku merindukanmu. Dan aku hanya bisa menangis dalam doa. Tidak tidak. Aku tidak berniat untuk menangis. Tapi air mata itu mengalir dengan sendirinya. Karena memang mata tak bisa berbohong pada hati. Hati yang merasa, mata yang berbicara. Dari semua rindu yang kurasa, hanya kebahagiaanmu yang kudoakan. Entah itu denganku atau dengan dia, semoga kamu bahagia.

Nene kembali merebahkan dirinya diatas kasur kamar kosnya itu. Memeluk boneka besar disampingnya. Lagi, teringat kenyataan bahwa Ave sudah tak bisa lagi dia gapai. Sudah jauh.  Lagi, air matanya menetes tanpa izin.

Ponsel Nene berdering. Sebuah panggilan masuk. Ave. Nene ragu-ragu menjawabnya. "Iya, Ve?"

"Ne, lu punya koper gak? Gue boleh pinjem gak?" tanya Ave tanpa sungkan.

"Iya ada kok, ambil aja di kosan ya." jawab Nene mencoba santai.

Panggilan itu segera terputus. Nene memaksa tubuhnya untuk bangun. Menyiapkan koper yang ingin dipinjam oleh Ave. "Ada yang merasa sedang dirindukan, tapi tak merindukan kembali."

Ave sudah berdiri di depan pagar kosan Nene. Sambil cengar-cengir melihat Nene keluar kosan sambil membawa koper yang akan di pinjamnya.

"Nih kopernya, cukup kan?" tanya Nene memastikan.

"Cukup kok, pas!" Ave mengecek koper milik Nene.

"Ve..." panggil Nene pelan.

"Iya? Kenapa ne?

"Gue boleh minta satu hal?" tanya Nene ragu.

"Apa?"

"Bisa lo kasih gue ruang dan waktu buat berdamai sama perasaan gue sendiri? Kalo lo masih seenaknya begini, gue sakit. Sebenernya bukan lo yang nyakitin, tapi gue jadinya nyakitin perasaan gue sendiri dengan berbagai ekspektasi dan asumsi yang gue buat sendiri. Kasih gue waktu buat menghilangkan harapan dan keinginan untuk bersama lo, karena gue gak yakin bisa ngilangin rasa sayang gue sama lo." Tetes air mata mengumpul di ujung mata Nene, siap untuk terjun kapan pun.

Ave terdiam melihat Nene. "Maaf ne, gue gak bermaksud gitu." Air mata nene terjun dengan cepat dan deras. Melihat itu Ave kebingungan harus bagaimana. Ave hendak menghibur Nene, tapi nene berbalik dan masuk ke dalam kosnya. Tak ada lagi yang bisa dilakukan Ave.

Ave meninggalkan kosan Nene dengan sebuah koper merah muda di tangannya. Ave menggaruk-garuk kepalanya. Bingung dengan situasinya saat ini. Ave menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Tiba-tiba dia mendapatkan sebuah ide.

Ave bergegas kembali dan memasak indomie. Mie instan biasa, kesukaan Nene. Ave memasukkannya kedalam kotak makan. Kemudian segera kembali ke kosan Nene. Tapi Ave tak mungkin memberikannya langsung pada Nene. Ave hanya memotret kotak makan yang terbungkus kantong kresek tergantung di sela-sela pagar besi.

Ne, sorry ya.
Ini ada indomie.
Biar lu gak sedih, dimakan ya.
Sorry gabisa bikin pedes, lomboknya lagi abis, belum kepasar.
Selamat makan dan semoga membaik.
Terimakasih untuk rasa sayang yang tulus.
Maafin gue gabisa ngasih hal yang sama buat lo.
NB : dari Ave, cowok paling ganteng se prodi astronomi.

Pesan singkat itu dikirimkan Ave ke WhatsApp milik Nene. Tanpa menunggu balasan, Ave meninggalkan kosan Nene. Sementara Nene hanya tersenyum membaca pesan dari Ave. Ave yang seperti ini yang memang berhasil membuat Nene jatuh cinta. Nene kemudian tertawa, menertawai dirinya sendiri.

Tujuh Tahun CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang