Aku menggigit bibir kelu dan menatap sepasang sepatu sekolah dengan kepala tertunduk. Aku tahu seluruh kelas kini menantiku membacakan puisi yang ku buat semalam. Ibu Guru menyuruhku dengan lembut membaca puisi yang sebenarnya hanya ada 4 baris, tapi kenapa begitu kelu untuk membacakannya di depan kelas.
Aku adalah anak pendiam, dan aku tak punya teman, selain Dio anak pendiam lainnya di kelas. Aku menatap takut ke depan kelas, menatap murid-murid lain yang mulai berbisik-bisik lalu tersenyum meremehkan ku. Hei apakah kalian tak tahu, begitu sulitnya berdiri di sini dengan jantung bergemuruh tak beraturan.
Ku genggam kuat secarik kertas yang ada di tanganku. Ini pertama kalinya aku berdiri selama ini di hadapan mereka. dengan satu tenggukan air liur yang masuk ke dalam tenggorokkan aku memulai membaca baris demi baris puisi yang ku buat...
" Hanya satu hari, jika aku bisa bersamamu
Hanya satu hari , jika aku bisa memegang tanganmu
Hanya satu hari , jika aku bersamamu
Hanya satu hari..."Tak ada suara tepuk tangan atau apapun yang ku dengar, sudah ku bilang puisi 4 baris ini pasti akan mendapatkan respon yang sangat buruk untuk kelas bahasa ini.
Ku dengar Jaka, si mahkluk gelap itu berbisik ke seorang pria berwajah kucing, Leo, mengejek puisi singkat ku. Lalu cekikikan bersama saat ibu guru menyuruhku untuk kembali ke tempat duduk.
Dio menyambutku dengan senyuman mengembang, aku tahu puisi itu tak bisa di bilang puisi, melihat wajah ibu guru yang merengut bingung lalu menaruhnya di tempat lain bukan di tempat yang sudah berisi tumpukan kertas puisi punya temanku yang lain.
“Arka”
Aku mendongak sebentar saat nama itu di sebut. Aku melihat para murid wanita yang tadi berbisik mengolok puisiku terdiam seketika dan memandang seorang pria yang kini sudah berdiri dengan cool nya di depan.
Sama seperti para wanita di kelas, aku pun menatapnya dengan mata berbinar, dan jangan lupakan jantungku yang makin bergemuruh akibat tatapan dinginnya menyapu seluruh kelas.
“Susu”
Bukan aku saja, tapi yang lain pun mengerutkan keningnya bingung. Ku fikir hanya aku saja yang akan mendapatkan respon buruk terhadap puisi yang ku buat tapi seorang Arka juga.
Karena reputasi yang baik, mungkin ia tak dapat olokan seperti diriku juga. Ku dengar gadis di sampingku bilang bahwa susu itu cool, se cool kapten basket sekolahku Kris, atau kapten sepak bola, Raka.
Aku merutuki diriku sendiri tak memperhatikan Arka yang membacakan puisinya, ia hanya menampilkan senyuman manisnya memperlihatkan eye smile yang membuat seluruh kelas berisik, terutama teriakan para wanita.
Setelah itu ia duduk kembali di tempatnya, tepat di hadapan Jaka dan Leo, ia duduk bersama Chandra. Si pria jangkung yang tak kalah tampan darinya.
Tapi satu yang ku perhatikan, Ibu guru menaruh puisi itu di tempat di mana puisiku berada.
-To be Continue-
