Sembilan

181 15 0
                                    

"Waktu itu, tv atau hp belum sebanyak dan secanggih sekarang. Makanya kegiatan-kegiatan semacam itu jadi hiburan yang sangat menyenangkan. Tapi sekarang udah beda. Udah nggak ada lagi kegiatan macam itu. Kita lebih milih buat nonton tv atau sibuk sendiri di dalam rumah. Yah, namanya juga...," Veby menghentikan ceritanya karena tak mendapat respon dari Doni.

Ternyata Doni sudah terlelap di dekat api unggun.


"Wah... malah tidur dia.. Serasa didongengin kayaknya," gerutu Veby. Veby hendak membangunkan Doni supaya pindah ke dalam tenda, namun,melihat wajah tampan itu begitu tenang, Veby tak tega kalau harus mengganggu tidur nyenyaknya. Sekian detik memandang wajah Doni, jantung Veby berdetak semakin kencang. Rasanya ada kupu-kupu menari di perutnya. Wajahnya pun berubah merah merona. Setelah cukup lama memandang wajah Doni dengan bebas, Veby mengambil jaket dan selimut di dalam tendanya, lalu menyelimuti Doni agar tak kedinginan. Kemudian ia pun masuk ke dalam tenda untuk beristirahat juga.

"Selamat malam, Doni. Terima kasih untuk malam indah ini," batin Veby.

***

Bulan sudah kembali keperaduannya, diganti sang matahari yang mulai keluar dengan malu-malu dari arah Timur. Kokok ayam bersahutan menyambut sang matahari yang sepertinya enggan menunjukkan sinarnya. Ternyata awan mendung tengah menghalangi mahatari untuk menyinari bumi. Kabut pun masih belum enggan menghilang dan itu membuat pagi ini begitu dingin. Doni terbangun dari tidur malam yang ia habiskan di luar tenda, sedangkan Dimas dan Veby sepertinya masih menikmati mimpi mereka masing-masing.

"Uhuk..Uhuk...." Doni terbatuk ketika merasa susah untuk bernafas. Ia pun mulai mengatur nafasnya pelan-pelan dan menyesuaikan diri dengan dingin yang membuat hidungnya memerah. Ia tersadar bahwa tubuhnya telah tertutup oleh selimut dan jaket merah jambu. Seingat Doni, tadi malam ia hanya mengenakan jaket hitamnya tanpa jaket merah jambu dan selimut itu. Tiba-tiba, Doni tersenyum ke arah tenda Veby. "Sangatlah tak mungkin kalau Dimas punya jaket berwarna pink-kan?" pikirnya.

"Uhuk...Uhuk...Uhuk....," lagi-lagi Doni terbatuk-batuk dan kali ini disertai sakit di kepalanya. Akhir-akhir ini, daya tahan tubuh Doni semakin menurun.

Tak berapa lama, tenda Veby dan Dimas terbuka. Mereka terbangun karena mendengar suara orang terbatuk-batuk.

"Pagi...," sapa Veby.

"Hoahhmmmm... pagi...," balas Dimas masih dengan muka bantalnya.

"Uhuk... Uhuk... Uhuk..." Doni tak bisa membalas sapaan pagi Veby dan Dimas. Ia masih terus terbatuk dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Doni, kamu nggak papa?" tanya Veby khawatir.

"Ng...nggak...nggak papa...," Doni mencoba berbicara dengan napas terengah-engah. "Veb, makasih buat selimut sama jaketnya...," lanjut Doni setelah napasnya mulai teratur. Namun, lagi-lagi darah keluar dari hidung Doni.

"Doni...," ucap Dimas dan Veby bersamaan yang langsung menghampiri Doni.

Doni mengusap hidungnya. Matanya membulat begitu melihat darah di jarinya. Ia segera memalingkan wajah dan bangkit berdiri hendak masuk ke dalam vila untuk segera membersihkan hidungnya dan meminum obat. Namun, ketika bangkit, kepalanya seolah-olah dihantam batu yang begitu besar dan itu membuatnya limbung.

Dimas dan Veby  segera mempercepat langkahnya menuju Doni dan tepat sebelum tubuh Doni jatuh, mereka telah menopangnya. Lagi-lagi kecemasan melingkupi keduanya. Mereka mencoba memanggil nama Doni sambil menepuk-nepuk pipinya, tapi Doni tak juga membuka mata. Mereka pun membawa Doni ke kamar dan segera menghubungi dokter.

***

Dengan cemas, Dimas terus menjaga Doni di samping tempat tidur, sedangkanVeby menunggu kedatangan dokter yang mereka hubungi sebelumnya.

"Don... Doni... Bangun, Don... Kamu kenapa seneng banget buat aku khawatir ha?!" Dimas begitu frustasi dengan keadaan Doni yang sudah dua kali pingsan di waktu berdekatan. Dimas yang tak sabar menunggu kedatangan dokter, berniat keluar kamar dan bertanya langsung pada Veby. Namun, niatnya terhenti ketika ia merasa menginjak sesuatu. Dimas mengangkat kakinya dan ternyata sebutir tablet obatlah yang ia injak. Merasa asing dengan obat itu, Dimas mengambilnya dan memeriksa obat itu. Karena rasa penasarannya, ia mencoba memeriksa beberapa tempat di dalam kamar Doni. Kolong tempat tidur, meja rias, lemari pakaian, sampai meja di sisi tempat tidur pun ia periksa. Dan, Dimas pun menemukan botol berisi tablet-tablet obat yang sama dengan obat yang ia temukan di laci meja samping tempat tidur Doni. "Obat apa ini?" batin Dimas.

Tak lama kemudian, Veby masuk ke kamar Doni bersama seorang dokter. Dimas pun segera meletakkan botol obat yang ditemukannya di atas meja dan mempersilakan sang dokter untuk memeriksa Doni.

"Gimana, Dok?" tanya Dimas pada sang dokter yang selesai memeriksa Doni.

"Kondisinya lemah. Sepertinya, dia tidak bisa melakukan aktivitas yang terlalu menguras tenaga," jelas sang dokter.

"Maksud dokter, kakak saya kelelahan? Tapi dia tidak melakukan apa-apa, Dok. Ya... mungkin kemarin kami memang sempat jalan-jalan, tapi dia terlihat baik-baik aja. Baru pagi ini, dia jadi begini."

"Untuk saat ini, yang saya bisa katakan hanya ini. Kemungkinan lain, kakak Anda memiliki penyakit serius. Tapi untuk kepastiannya, sebaiknya Anda segera periksakan kakak Anda ke rumah sakit."

"Penyakit serius? Dim, apa Doni punya riwayat penyakit tertentu?" tanya Veby.

"Setauku nggak ada. Dia sehat-sahat aja selama ini, kecuali beberapa hari ini. Beberapa hari yang lalu dia sempet jatuh dari tangga, dan sepertinya sejak itu dia mulai terlihat kurang sehat." Dimas mencoba mengingat beberapa kejadian yang melibatkan Doni. Dan tiba-tiba ia teringat botol obat yang ditemukannya tadi.

"Dokter, apa Dokter tau ini obat apa?" Dimas menunjukan obat yang ditemukannya pada sang dokter. Dokter pun memeriksa obat itu dan membaca keterangan-keterangan yang tertera pada botol itu. Beberapa saat memperhatikan, wajah sang dokter menunjukkan ekspresi terkejut. "Apakah obat ini milik kakak Anda?"

"Saya kurang tau kalau itu, Dok. Saya hanya menemukannya di sini." Seketika Dimas berpaling pada Veby.

"Bukan punyaku. Obat itu bukan punyaku," ucap Veby seketika, seperti paham maksud Dimas.

"Sebenarnya itu obat apa, Dok?" tanya Dimas lagi.

"Setau saya, obat ini adalah obat yang dikonsumsi oleh penderita kanker."


Bersambung...

B R O T H E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang