***
Malam Natal. Alunan lagu-lagu Natal mulai terdengar. Lampu warna-warni di pohon cemara berkedap-kedip. Langit malam pun begitu cerah bertabur bintang. Suasana Natal sungguh terasa di rumah sakit ini. Kapel di rumah sakit ini pun mulai dipenuhi mereka yang hendak merayakan Natal.
Waktu Doni untuk operasi pun tiba. Dimas, Veby, Mama, Papa, dan Eyang menunggu di depan ruang operasi dengan terus berdoa demi kelancaran operasi Doni. Bersamaan berlangsungnya operasi Doni, Misa Malam Natal dimulai. Dentingan piano dan merdunya suara umat menyanyikan "Malam Kudus" mengiringi operasi Doni. Meski keluarga Doni juga Veby tengah disilimuti kekhawatiran, tapi mendengar lagu itu, hati mereka pun dipenuhi kedamaian.
***
Dua jam lebih Doni di ruang operasi dan belum ada tanda-tanda operasi akan segera selesai. Wajah lelah tampak di semua orang yang menunggu Doni. Entah apa yang terjadi di dalam ruang operasi, tiba-tiba hati Dimas menjadi sangat gelisah. "Don... Kamu harus baik-baik aja...," batin Dimas yang menatap sendu pintu ruang operasi. Detik berikutnya, Dimas berdiri dari kursinya dan melangkahkan kaki hendak meninggalkan ruang tunggu.
"Dimas, kamu mau kemana?" tanya Veby.
"Iya, Dim... Kamu mau kemana?" giliran Papa yang bertanya.
"Dimas cuma mau cari angin sebentar, Pa." Dimas pun beranjak dari tempat itu. Veby menangkap raut kesedihan di wajah Dimas, maka ia pun mengikuti Dimas.
"Om, Tante, saya menyusul Dimas dulu ya...," pamit Veby.
"Iya. Tolong temani Dimas ya Veby."
"Iya, Om. Saya permisi dulu."
***
Malam semakin larut. Suasana rumah sakit semakin sunyi. Dimas tengah duduk di sebuah taman doa yang memang disediakan pihak rumah sakit. Pandangannya menerawang langit malam yang penuh bintang. Diam. Ia hanya bisa terdiam dan berharap sesak di dadanya menghilang.
Di luar taman, Veby mengamati Dimas. Dejavu. Veby ingat kejadian ini. Kejadian yang pernah ia lihat sebelumnya. Seseorang tengah duduk termenung di taman rumah sakit sendirian dan waktu itu, ia hanya bisa menatap lelaki itu. Namun, kali ini berbeda. Veby mendekat dan tanpa permisi, ia duduk di samping Dimas.
"Kalian berdua sangat mirip. Bahkan terlalu mirip untuk kakak beradik yang bukan kembar," kata Veby yang berhasil mengalihkan pandangan Dimas. Dimas menatapVeby penuh tanya dan Veby mengerti arti tatapan itu.
"Sebelum kita bertemu di sini, aku pernah bertemu dengan Doni. Kejadiannya mirip dengan saat ini. Waktu itu, sehari sebelum keberangkatanku ke Jogja, tanpa sengaja aku melihat Doni duduk sendiri di taman rumah sakit. Seperti kamu sekarang. Bedanya, waktu itu aku belum kenal Doni dan aku cuma bisa melihatnya dari jauh. Tapi sekarang, aku sudah mengenal kamu dan Doni. Jadi, ketika aku melihat kamu seperti sekarang, aku bisa menghampiri kamu. Hal yang sama, mungkin hal yang ada dalam pikiran kalian. Kalian saling memikirkan dan mengkhatirkan satu sama lain." Kata-kata Veby berhasil membuat senyum tipis di bibir Dimas.
"Aku rasa, Tuhan sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk dengan pertemuan kita," ucap Dimas.
"Iya. Kamu bener, Dim. Tuhan punya rencana dan waktu yang tepat untuk kita. Jadi, yang kita bisa lakukan adalah terus berdoa pada-Nya dan selanjutnya biar Tuhan yang mengatur segalanya."
"Iya, Veb. Aku berharap rencana Tuhan adalah memulihkan Doni seperti semula."
"Aku juga berharap hal yang sama, Dim."
"Veby, makasih ya udah mau nemenin kami di sini, padahal kita baru kenal, tapi aku seperti udah mengenalmu sangat lama."
"Mau kita baru kenal, mau kita sudah lama kenal, tapi menjalin persahabatan dan persaudaraan dengan baik itu akan lebih indah kan?" Veby menyunggingkan senyum manisnya dan itu berhasil mendamaikan hati Dimas.
"Veb, ngomong-omong, boleh tanya sesuatu nggak?"
"Hmm? Apa?"
"Aku nggak tau sih bener apa nggak dan aku lupa kapan mulai menyadarinya, tapi hmmm, apa kamu punya perasaan sama Doni?" Pertanyaan Dimas berhasil membuat Veby tergagap.
"Ha? Maksud kamu apa sih, Don? Eh, maksud aku, Dim."
"Nah... keceplosan kan. Udah deh nggak usah malu-malu. Aku setuju kok kalau kamu jadi kakak ipar aku. Kalian cocok hehehe..."
"Aaaaa... kamu nggak usah mikir macem-macem deh, Dim." Pipi Veby pun berubah merah merona.
"Hahaha... tuh muka apa kepiting rebus? Merah bener... hahaha..." Akhirnya Dimas bisa kembali tertawa. Paling tidak, sesak di dadanya telah berkurang.
"Udah ah Dim! Puas banget kamu ledekin aku! Yuk kita balik ke tempat Doni!" ajak Veby.
"Hah... iya calon kakak ipar... udah kangen ya sama abangku yang ganteng itu hehe...."
"Dimas...."
"Iya, iya... ya udah bentar dulu. Aku mau doa dulu. Gara-gara kamu, aku jadi lupa tujuan utamaku ke sini."
"Dasar kau ini! Seenaknya aja cari alasan! Ya udah, ayo doa!"
Dimas dan Veby pun hening, lalu mulailah mereka berdoa.
***
Setitik harapan muncul setelah Dimas dan Veby menyelesaikan doanya. Hati yang tenang membuat senyuman kembali menghiasi wajah keduanya. Namun, senyum itu hilang ketika mereka berdua sampai di depan ruang operasi Doni. Mereka melihat Mama menangis di pelukan Papa dan Eyang mencoba menenangkan Mama. Senyuman di wajah Dimas dan Veby hilang berubah menjadi kecemasan.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
B R O T H E R
Fiksi Remaja"Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali Kita berbincang tentang memori di masa itu Peluk tubuhku usapkan juga air mataku Kita terharu seakan tiada bertemu lagi ...." Sebuah Kisah Klasik - Sheila On 7 -