***
Satu jam sudah mereka menunggu Doni. Namun, belum ada tanda-tanda Doni akan sadar. Wajah-wajah lelah mulai terlihat pada Mama, Papa, Eyang, juga Dimas.
"Om, Tante, Eyang, sebaiknya pulang dan istirahat dulu saja," kata Veby.
"Tidak, Veby. Tante nggak mau pulang. Tante mau tungguin Doni di sini."
"Ma, yang dibilang Veby bener. Mama, Papa, dan Eyang pulang saja dulu. Istirahat. Dari kemarin kan belum istirahat. Biar Dimas yang jagain Doni."
"Tapi, kamu juga belum istirahat, Dim," ucap Papa.
"Dimas, lebih baik kamu ajak Om, Tante, dan Eyang pulang. Istirahat dulu. Jangan sampai ikutan sakit. Biar aku yang gantiin kamu jaga Doni," ucap Veby.
"Tapi, Veb..."
"Dim, kamu tenang aja. Nanti kalau ada perkembangan, aku langsung kabari kamu."
"Ya sudah, Dimas, kita pulang sebentar ya. Biar Eyang dan Mama bisa istirahat. Veby, Om titip Doni dulu ya." Papa mengajak Dimas, Mama dan Eyang untuk pulang.
"Veby, tolong jagain Doni sebentar ya...," sambung Mama.
"Iya, Tante, Om. Veby akan jaga Doni."
***
Sepeninggal keluarga Doni, Doni dipindahkan ke kamar rawat karena kondisinya sudah stabil. Veby, yang sedari tadi fokus menjaga Doni, teringat kalau belum memberikan kabar kepada keluarga Doni. Ia pun beranjak keluar kamar hendak menghubungi Dimas. Namun, sebelum ia berhasil menghubungi Dimas, keluarga Doni lebih dulu melihatnya berdiri di luar kamar.
"Veby? Kamu ngapain di sini?" tanya Dimas.
"Dimas... Eyang, Om, Tante...," Veby sedikit terkejut melihat keluarga Doni sudah kembali ke rumah sakit, padahal baru dua jam yang lalu mereka pulang.
"Veby, kamu ngapain di sini? Doni gimana?" tanya mama Doni.
"Aaaa... saya baru mau menghubungi Dimas untuk memberitahu kondisi Doni, Tan."
"Doni kenapa?" Mama terlihat panik.
"Tante tenang ya... Kondisi Doni sudah stabil dan sudah dipindahkan ke ruang rawat."
"Syukurlah... Lalu, Doni dipindahkan di mana?"
"Di kamar ini, Tan."
"Kalau begitu, kita masuk ya..."
"Iya, Tan. Mari masuk!"
Mereka pun masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah Doni untuk melihat keadaannya.
"Doni... Bangun Sayang...," suara mama Doni begitu lembut terdengar memenuhi ruangan serba putih itu. "Bangun Don, mama kangen banget sama kamu..." Mama mengusap lembut rambut Doni, berharap sang putra segera membuka mata.
Tak berapa lama, perlahan-lahan mata Doni terbuka. Senyum pun terkembang di setiap wajah yang melihat Doni sadar. Sesaat, Doni menyesuaikan pandangannya. Dan kini, ia melihat orang-orang terdekatnya ada di sisinya. "Ma...," ucapnya lirih.
"Doni... ini mama, Sayang...."
"Puji Tuhan... Doni...." ucap syukur Eyang.
"Eyang...." Pandangan Doni beralih ke arah sang Eyang.
"Syukurlah, Don, akhirnya kamu sadar juga," ucap Papa yang begitu lega.
"Iya, Pa..." Pelan-pelan pandangan Doni beralih dari Eyang ke Papa, kemudian ia juga melihat Dimas dan Veby. "Hai Dim... Veby..." sapa Doni dengan sebuah senyum tipis di wajahnya.
"Hai Don...," Veby membalasnya, sedangkan Dimas hanya bisa tersenyum yang menyiratkan banyak makna.
Baru saja ruangan Doni diliputi kebahagiaan, seorang suster masuk dan meminta kedua orang tua Doni untuk menemui dokter di ruangannya. Mama, Papa, dan Eyang pun keluar bersama suster itu menuju ruangan dokter. Tinggallah Dimas dan Veby di kamar Doni.
"Akhirnya semua terbongkar," kata Doni.
"Ya, kamu berhasil buat kami semua cemas," balas Veby.
"Maaf..." sesal Doni.
"Don, kalau kamu mau kita semua maafin kamu, kamu harus sembuh!" Akhirnya Dimas bersuara.
"Kamu galak banget sih, Dim... nggak lihat nih, kakak kesayangan kamu lagi lemes begini," Doni merajuk.
"Nggak usah becanda deh, Don!" Lagi-lagi Dimas berkata dengan nada ketus.
"Hah... iya-iya... Kayaknya selera humor kamu udah hilang, Dim. Payah." Doni pasrah.
Dimas berniat membalas kata-kata Doni, tapi sepertinya, mulutnya tak bisa mengeluarkan satu kata pun. Tenggorokannya tercekat. Dadanya terasa sesak. Matanya memanas. Emosinya campur aduk. Bahagia, sedih, sebal, cemas, dan semua emosi yang ada di dalam hati dan pikirannya menjadi satu.
"Hei...hei... Kamu baik-baik aja kan, Dim?" tanya Doni yang melihat Dimas dengan dada yang naik turun dan mata yang memerah mulai dibasahi air mata. Veby pun ikut memperhatikan Dimas.
"Nggak...nggak papa... aku nggak papa." Dimas membalikkan badan dan mengusap kedua air matanya yang hampir jatuh. Doni dan Veby yang melihat sikap aneh Dimas malah tersenyum geli.
Pintu kamar Doni terbuka. Papa, Mama, dan Eyang kembali ke kamar Doni. Dimas pun segera berusaha menenangkankan dirinya sendiri. Ia tak mau terlihat baru menangis di depan keluarganya.
"Pa, Ma, gimana?" tanya Dimas.
"Dokter bilang, kondisi Doni sudah stabil dan ini waktu yang tepat untuk operasi," jelas Papa.
"Operasi? Hari ini?" Doni pun tak kalah terkejut.
"Iya, Don. Kamu siap kan?" tanya Mama.
"Ma, apapun yang bisa membuat Mama tersenyum pasti Doni lakukan."
"Makasih ya, Sayang..." Mama kembali membelai rambut Doni.
"Jam berapa, Pa, operasinya?" tanya Dimas.
"Kemungkinan sekitar jam 7 malam nanti."
"Ma, ini hari apa ya?" tanya Doni
"Hari Sabtu, Sayang. Kenapa?"
"Berarti malam ini adalah malam Natal?"
"Iya, Don. Malam ini, malam Natal." Eyang membenarkan.
"Ma, Pa, Eyang... maafin Doni ya... Harusnya malam ini, kita sama-sama ke gereja, merayakan Natal dengan penuh kegembiraan seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi, gara-gara Doni, semuanya jadi sedih. Dan kita nggak bisa ke gereja sama-sama."
"Kamu ngomong apa sih, Don? Kamu nggak perlu minta maaf. Kita akan kembali merayakan Natal bersama-sama. Jadi, kamu harus segera sembuh ya...," ucap Mama.
"Iya, Ma. Doni akan baik-baik aja."
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
B R O T H E R
Teen Fiction"Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali Kita berbincang tentang memori di masa itu Peluk tubuhku usapkan juga air mataku Kita terharu seakan tiada bertemu lagi ...." Sebuah Kisah Klasik - Sheila On 7 -