Enam belas

357 17 1
                                    

Setitik harapan muncul setelah Dimas dan Veby menyelesaikan doanya. Hati yang tenang membuat senyuman kembali menghiasi wajah keduanya. Namun, senyum itu hilang ketika mereka berdua sampai di depan ruang operasi Doni. Mereka melihat Mama menangis di pelukan Papa dan Eyang mencoba menenangkan Mama. Senyuman di wajah Dimas dan Veby hilang berubah menjadi kecemasan.

"Ma, Pa, ada apa ini?" Dimas panik.

"Eyang, tante kenapa?" Veby tak kalah cemas.

"Veby... Doni..." kata Eyang sepatah-sepatah.

"Doni kenapa, Yang? Pa, Doni kenapa?" Dimas makin tak sabar. Berbagai pikiran berlarian di otak Dimas sampai-sampai air matanya hampir jatuh lagi.

"Eyang, Doni kenapa?" tanya Veby lemas.

"Operasinya sudah selesai."

Dimas dan Veby melihat lampu ruang operasi memang sudah padam.

"Iya, lalu Doni gimana, Eyang?"

"Doni...," kata Mama dalam isak tangisnya.

"Operasi Doni berhasil, Dim. Puji Tuhan...," kata Papa.

Seketika Dimas dan Veby berpelukan. "Veby... Doni, Veb... Doni...." Lagi dan lagi air mata Dimas lolos dari bentengnya. "Iya, Dim... Puji Tuhan..." Rasa lega, syukur, dan bahagia kini melingkupi hati mereka. Inilah kado Natal yang sesungguhnya bagi Doni, keluarganya, dan Veby.

***

Operasi yang telah dijalani Doni telah memberikan harapan baru. Namun, setelah operasi itu, Doni masih perlu menjalani kemoterapi untuk membersihkan kankernya.

Satu hari setelah Natal, Doni belum juga mau membuka mata. Semalaman, Veby menjaga Doni hingga ia tertidur di samping ranjang Doni. Ketika pagi tiba, Veby merasakan jari Doni yang ia genggam bergerak, maka bangunlah ia. "Don... Doni...," panggil Veby penuh harap. Wajah tampan yang masih terlihat pucat itu perlahan membuka mata. "Doni...," panggil Veby sekali lagi.

Akhirnya, Doni sadar. Ia tersenyum begitu melihat Veby yang tengah tersenyum manis di sampingnya. "Syukurlah, Don, akhirnya kamu bangun."

"Veby...," ucap Doni lirih.

Veby pun tersadar kalau tangannya masih menggenggam erat tangan Doni. "Aaa...maaf, Don." Ia melepaskan genggamannya perlahan dengan pipi yang telah memerah, sedangkan Doni hanya tersenyum melihat tingkah Veby. "Aku seneng banget akhirnya kamu sadar. Aku bilang ke dokter dulu ya sebentar, sekalian aku hubungi Dimas dan keluarga kamu." Veby beranjak keluar kamar Doni tapi... "Veby...." Panggilan Doni menghentikan langkah Veby. Ia pun kembali menatap Doni, "Ya?"

"Terima kasih...," ucap Doni selanjutnya. Veby tersenyum lalu menganggukkan kepalanya pelan, kamudian melanjutkan langkahnya keluar kamar Doni.

***

Waktu terus berputar dan hari demi hari telah terlewati. Veby menunda kepulangannya ke Jakarta demi membantu keluarga Doni yang masih terus menjaga Doni di rumah sakit. Kebersamaan Doni dan Veby di rumah sakit semakin mendekatkan keduanya.

Saat ini, Doni dan Veby tengah berada di taman rumah sakit. Doni duduk di kursi rodanya, sedangkan Veby berdiri di sampingnya. Mereka tengah menikmati matahari sore yang begitu cantik mewarnai langit.

"Veby, terima kasih ya...," kata Doni lembut.

"Terima kasih untuk apa, Don?" Veby memandang Doni.

Doni pun memandang Veby, "Terima kasih karena kamu sudah sangat merelakan waktu dan tenaga untuk menjagaku."

Veby tersenyum mendengar ucapan Doni. "Aku bahagia kok melakukan semua ini... karena aku...," Veby memutus kalimatnya.

"Hmmm? Kamu kenapa?" Doni penasaran.

"Aku... Aku... mau selalu ada di sampingmu, Don." Entah apa yang telah merasuki diri Veby hingga kalimat itu berhasil keluar dari bibirnya.

Mendengar kalimat itu, Doni hanya terdiam. Ia hanya terus menatap Veby dalam sampai membuat Veby salah tingkah. "Ehm... Don, maaf, aku nggak bermaksud... Lupain aja kata-kataku tadi. Maaf, sungguh aku..." Kalimat Veby terhenti karena tiba-tiba Doni menggenggam tangannya, lalu berkata, "Nggak ada yang perlu dimaafkan." Doni berhasil membuat Veby tak berkutik. Ia hanya melihat mata Doni yang penuh kelembutan tengah menatapnya dalam. "Veby, aku mau kamu ada di sisiku selamanya." Kali ini, kalimat Doni berhasil membuat Veby menahan nafas. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan rasanya ada kupu-kupu menari di dalam perutnya. Sungguh ia tak menyangka kalau Doni punya perasaan yang sama dengannya. Sebuah senyuman terukir di wajah manis Veby dan sebuah anggukan kecil terlihat oleh Doni. Kini, keduanya berada pada frekuensi yang sama. Senyum bahagia pun terukir pula di wajah Doni.

"Ehemmm... ada yang lagi berbahagia nih...." Sebuah suara mengusik momen Doni dan Veby. Ya, siapa lagi kalau bukan Dimas? "Akhirnya ya, Don..." Dimas sudah berada di depan Veby dan Doni.

"Akhirnya apa?" Doni bingung.

"Akhirnya, kakakku yang ganteng ini nggak takut lagi sama yang namanya perempuan. Hehehe..."

"Apaan sih, Dim??"

"Veb, kamu tau kalau kamu itu perempuan yang hebat."

"Maksudnya?"

"Iya, kamu itu hebat karena udah berhasil mendapatkan hati Doni yang udah lama nggak disinggahi wanita-wanita, padahal nggak kurang-kurang tuh yang ngejar-ngejar dia."

"Yah, mungkin ini hari keberuntunganku, Dim."

"Iya, kamu betul juga, atau mungkin karena Doni masih dipengaruhi obatnya jadi ia insyaf hehehe... Ya apapun itu, selamat datang di keluarga kami, calon kakak ipar..." Dimas memeluk Veby. Doni hanya menggelengkan kepala dengan tingkah konyol adiknya.

"Hei...hei... lepasin, Dim..." Veby mendorong tubuh Dimas agar terlepas dari pelukannya. "Ya udah, aku mau ke kamar dulu ambil hp, kamu jaga Doni dulu ya, Dim!"

"Siap kakak ipar!"

"Aku tinggal sebentar ya, Don..." Doni mengangguk, mengiyakan ucapan Veby.

Sepeninggal Veby, Dimas mendorong kursi roda Doni mendekat pada sebuah kolam ikan yang di sampingnya terdapat kursi taman. Dimas duduk di kursi taman itu dan Doni tetap duduk di kursi rodanya di sebelah Dimas.

"Don, tau nggak? Sekarang ini, aku rasa kalau aku orang paling beruntung di dunia," ucap Dimas tiba-tiba.

"Hmm? maksudnya?" tanya Doni bingung.

"Kayaknya aneh sih kalau aku bilang begini, tapi nggak ada salahnya juga aku bilang."

"Kamu ngomong apa sih, Dim?"

"Don, makasih udah jadi kakak yang hebat buat aku."

"Kamu nggak lagi kesambet kan, Dim?"

"Ihsss, aku serius ini!"

"OK..."

"Ya mumpung kamu masih dikasih kesempatan sama Tuhan buat ketemu aku lagi, jadi aku mau bilang makasih ke kamu karena udah jadi kakak aku. Dan... bukan cuma Veby yang nggak mau kehilangan kamu. Aku juga. Aku nggak mau kamu ninggalin aku, Don. Jangan pernah lagi seperti kemarin!" Kata demi kata itu keluar begitu saja dari bibir Dimas.

Doni sebenarnya geli mendengar ucapan Dimas, tapi dia tau kalau kata-kata itu sungguh dari hatinya. Jadi, ia memilih diam dan terus memandang Dimas yang menatap ke depan.

"Don, kamu janji ke aku, jangan pernah nutupin apapun lagi dari aku!" Kini Dimas memandang Doni.

Doni tersenyum, tangannya memegang pundak Dimas dan ia berkata, "Iya, Dim. Maaf udah buat kamu sedih dan khawatir."

Dimas membalas senyum Doni, dan di detik berikutnya ia memeluk Doni, kakak terhebatnya.

_SELESAI_

Sleman, 19 Februari 2010


***

Selesai sudah kisah Doni dan Dimas...

Terima kasih sudah membaca dan memberikan voment-nya

Boleh juga lho baca "Cinta Cokelat" cerita pertama saya

Dan sampai jumpa di  "Tetragon" kisah berikutnya, semoga lebih baik lagi!

^_^

B R O T H E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang