Sebelas

166 10 0
                                    

"Berikan kecerian padanya. Tersenyumlah untuk dia. Aku tau mulai sekarang semuanya akan berbeda, tapi aku rasa, kamu bisa menunjukan sikap seperti sebelum kamu tau tentang penyakitnya. Tertawalah bersamanya dan buat dia melupakan rasa sakitnya. Kita bisa meringankan bebannya dan juga membantu penyembuhannya. Bagaimana menurutmu?"

Dimas menatap Veby sesaat, kemudian sebuah anggukan dengan seulas senyum diberikannya pada Veby tanda setuju.

Malam ketiga di Kaliurang. Setelah bicara dengan Veby, Dimas lebih tenang. Dia mengurungkan niat untuk pulang juga niat menghubungi kedua orang tuanya. Dimas bahkan bisa membuat Doni tertawa lagi hingga melupakan sakitnya. Keadaan Doni, Dimas, dan Veby sudah kembali normal, seolah tak terjadi apa-apa.

Setelah selesai makan malam, Dimas kembali ke kamar, Veby membantu membereskan meja makan, sedangkan Doni memilih menuju beranda vila untuk menikmati langit malam.

"Doni... sebaiknya kamu masuk. Istirahatlah, lagi pula udara di sini dingin." Tiba-tiba Veby sudah ada di samping Doni dengan berselimut.

Doni mengalihkan pandangannya pada Veby. Senyum yang ditampilkannya berhasil membuat jantung Veby berdetak lebih cepat.

"Masuk dan istirahatlah, Don! Bukannya... besok, kalian harus pulang? Lebih baik sekarang, kamu istirahat," ucap Veby senormal mungkin. Ia berusaha menenangkan degupan jantungnya.

"Tenang aja, kamu nggak perlu sekhawatir itu, Veby. Aku masih mau lihat bintang-bintang di atas sana. Aku masih mau menikmati suasana malam di sini, sebelum aku benar-benar pulang." Veby merasa ada nada sedih di ucapan Doni.

"Don, kamu kan masih bisa balik lagi ke sini kapan aja. Apalagi ini kan vila eyang kamu. Jadi, kamu bisa bebas ke sini kapan pun kamu mau, buat menikmati malam seperti ini."

"Betul juga sih, Veb. Tapi masalahnya adalah aku nggak tau bakal bisa balik lagi ke sini atau nggak. Aku nggak tau bisa bertahan sampai kapan. Jadi, selama aku masih bisa melihat bintang, masih bisa mendengar suara jangkrik, dan merasakan dinginnya malam, aku akan menikmatinya seolah besok aku nggak akan menikmatinya lagi."

Veby terdiam mendengar ucapan Doni. Ia bingung harus menanggapinya seperti apa. Ia hanya mengamati wajah Doni yang tengah memejamkan mata menikmati angin yang menerpa wajahnya dan menerbangkan rambut di sekitar dahinya. Di detik berikutnya, Veby sudah memindahkan selimut yang dipakainya ke tubuh Doni. Hal itu membuat Doni membuka mata dan melihat tubuhnya telah diselimuti. Pandangannya kembali ke arah Veby penuh tanya.

"Kalau kamu menikmati malam hanya dengan kaos itu, kamu bisa masuk angin," ucap Veby seolah mengerti arti tatapan Doni. Doni pun kembali menyunggingkan senyum sebagai ucapan terima kasih. Dan Veby pun membalas senyuman itu dengan tulus. Mereka pun kembali menatap langit dalam diam.

Angin malam mulai berhembus lebih kencang. Tubuh Veby mulai bergetar karena kedinginan. Ia coba menghangatkan tubuh dengan menggosok kedua lengannya, tapi tak berhasil. Doni pun melihat Veby yang gelisah karena kedinginan. Ia bermaksud mengembalikan selimut Veby, tapi Veby menolaknya. Doni  tak bisa membiarkan Veby kedinginan, maka ia mendekatkan tubuhnya pada Veby lalu membagi selimut itu dengan Veby. Hilanglah jarak di antara keduanya. Kini keduanya berdiri berbalut selimut. Veby hanya bisa terdiam melihat tindakan Doni, meski lagi-lagi jantungnya hampir melonjak keluar.

Tanpa Doni dan Veby sadari, ternyata Dimas telah mengamati tindakan dan mendengar semua pembicaraan mereka berdua. Tak ada rasa cemburu atau marah. Dimas malah tersenyum-senyum melihat tingkah kakaknya. Namun, setitik kesedihan muncul ketika Dimas teringat tentang penyakit sang kakak. Ia sungguh tak rela jika sesuatu yang buruk terjadi pada Doni. Ia tak rela jika suatu saat senyum Doni hilang akibat penyakit itu. Dimas pun membiarkan Doni dan Veby menikmati kebersamaan mereka, sedangkan dia memilih untuk kembali ke kamar.

***

Malam berganti pagi. Jam telah menunjukkan pukul 06.00. Pagi ini, dengan wajah berseri dan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya, Doni bangun lebih awal dari Dimas dan Veby. Lagi-lagi, pagi ini, mendung menutup birunya langit dan udara dingin begitu terasa membelai kulit. Meski begitu, semangat Doni pagi ini tetap membara.

Tok... Tok... Tok... Doni menggetuk pintu kamar Dimas dan Veby yang bersebelahan secara bergantian. Ia mencoba membangunkan keduanya. "Dimas! Veby! Ayo bangun! Bangun woe udah pagi nih!" teriak Doni.

Gedoran dan teriakan yang sudah tak asing itu membuat Dimas keluar dari kamar dengan muka bantalnya dan selimut yang masih menempel di tubuhnya. "Apaan sih, Don?! Ganggu orang tidur aja!"

Begitu juga Veby yang mendengar gedoran dan teriakan Doni, hanya membuka sedikit pintu dan menunjukkan kepalanya keluar kamar. "Ada apa, Don? Ini masih jam enam."

"Dasar kalian berdua ini! Cepat cuci muka dan ganti baju!" perintah Doni.

"Aihsss... emang mau ngapain sih, Don?"

"Udah deh nggak usah banyak tanya! Cepetan ganti baju! Aku tunggu 10 menit lagi di halaman. Nggak pake lama!"

Meski mata masih berat, Dimas dan Veby pun menurut pada Doni. Keduanya segera masuk kembali ke kamar dan segera membersihkan diri juga berganti pakaian.

***

Doni sudah di halaman vila. Sambil menunggu Dimas dan Veby, ia melakukan pemanasan ringan sendiri. Dan tak sampai 10 menit, Dimas juga Veby bergabung dengan Doni.

"Don, kita mau ngapain sih?" tanya Dimas. "Lagian mendung juga. Mending kita tidur lagi. Hari ini kan kita balik," lanjutnya.

"Nah, karena itu, Dim. Sebelum nanti kita balik ke tempat Eyang. Kita puasin pagi ini muter-muter Kaliurang."

"Kayaknya kamu pagi ini semangat banget, Don? Ada apa sih?" tanya Veby heran.

"Hmmm...nggak ada apa-apa sih... Mumpung masih di sini aja, jadi ya apa salahnya menikmati liburan dengan semaksimal mukin kan? Ya udah, ayo jalan!" ucap Doni yang kemudian berlari mendahului Dimas juga Veby. Dimas dan Veby tertular semangat Doni, jadi segeralah mereka menyusul Doni.

Mendung masih masih belum mau menghilang. Namun, itu tak menghentikan nyanyian burung-burung di pagi ini. Doni, Dimas, dan Veby terus menyusuri jalan-jalan Kaliurang yang dipenuhi pohon cemara. Ketiganya sungguh menikmati alam Kaliurang yang begitu sejuk dan damai. Senda gurau juga mengiringi lari pagi mereka yang ternyata sudah hampir satu jam itu.

Dimas dan Veby masih terus berlari kecil seolah tenaga mereka belum habis. Namun, berbeda dengan Doni, tubuhnya memang tak sebaik Dimas atau Veby. Ia melambatkan larinya hingga mulai tertinggal di belakang Dimas dan Veby. Doni menghentikan langkahnya ketika nafasnya mulai tak beraturan dan selanjutnya ia terbatuk-batuk.

Dimas dan Veby yang asyik bercanda tiba-tiba terdiam karena mendengar batuk Doni. Mereka menyadari bahwa Doni tidak bersama mereka lagi. Mereka menoleh ke belakang dan melihat Doni tengah membungkung mencoba mengatur nafasnya dan menahan batuknya. Tentu saja hal itu membuat Dimas dan Veby khawatir. "Doni!" Mereka berlari menuju Doni.

"Doni... Doni kamu kenapa?" tanya Veby khawatir.

"Don...kamu nggak papa kan?" tanya Dimas yang tak kalah khawatir.

"Nggak... nggak papa... Ayo lanjutkan...," kata Doni menenangkan keduanya, meski nafasnya belum kembali normal.

"Kita istirahat dulu aja. Di depan ada gardu pandang. Kita istirahat di sana ya...," usul Veby.

"Ya udah. Ayo, Don. Kamu masih kuat kan?" Dimas dan Veby membatu Doni berjalan pelan-pelan menuju gardu pandang.

Sesampainya di gardu pandang, mereka bertiga beristirahat sejenak. Matahari yang mulai menghalau mendung dan kabut, memberikan kehangatan di tubuh ketiganya. Doni juga sudah lebih baik. Nafasnya sudah teratur kembali. Di gardu pandang ini, mereka bertiga bisa melihat kota Yogyakarta dan keindahan alam yang begitu cantik. Bukit-bukit hijau, sungai-sungai jernih, sawah-sawah bergradasi hijau kuning, dan tatanan bangunan di bawah sana begitu memanjakan mata. Sungguh hanya rasa syukur dan pujian yang bisa mereka ungkapkan untuk Sang Pencipta dari hati masing-masing.


Bersambung...

B R O T H E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang