Sepuluh

182 14 0
                                    

"Sebenarnya itu obat apa, Dok?" tanya Dimas lagi.

"Setau saya, obat ini adalah obat yang dikonsumsi oleh penderita kanker."

"Kanker?" Dimas dan Veby tak percaya.

"Kalau obat ini bukan milik kalian. Bisa saja ini milik kakak Anda. Tapi, sekali lagi, saya belum bisa memastikan apakah kakak Anda terkena kanker atau tidak. Kecuali kakak Anda menyatakan kebenarannya atau kita membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kakak Anda."

Dimas dan Veby begitu terkejut mendengar penjelasan sang dokter. Mereka tak ingin mempercayai kata-kata itu, tapi dengan kejadian-kejadian yang berlalu, kemungkinan itu memang bisa terjadi. Dimas hanya bisa menatap Doni yang terbaring lemah dengan sendu. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Dadanya begitu sesak, sakit. Begitu pula Veby. Ia seolah ikut merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Dimas. Ia pun mencoba memberi Dimas kekuatan dengan menepuk-nepuk punggung Dimas. Sang dokter pun segera pergi setelah memberikan resep obat kepada Veby dan menyarankan supaya Doni dibawa ke rumah sakit jika kondisinya tak segera membaik. Kini, suasana dalam kamar itu semakin sunyi. Dan hanya suara deras hujan yang terdengar, seolah langit pun ikut merasakan kesedihan Dimas dan Veby.

***

Malam pun tiba. Dimas masih bertahan di kamar Doni. Seharian ini, ia terus menjaga Doni. Ia tak membiarkan Doni sendirian. Sebenarnya, Veby sangat ingin membantu Dimas untuk menjaga Doni, tapi Dimas selalu menolak untuk digantikan. Maka yang bisa Veby lakukan adalah menemani dan mengantarkan makanan untuk Dimas, walau tak jarang Dimas hanya mendiamkan Veby juga makanannya. Dimas selalu mencoba menahan air matanya ketika teringat ucapan sang dokter, namun kenangan-kenangan tentang Doni yang terus berputar dalam pikirannya membuat air matanya jatuh juga. "Don... Kenapa kamu nggak pernah nunjukin rasa sedih atau sakitmu?! Kenapa cuma senyuman yang selalu kamu tunjukan ke aku?!" tes... tes... tes... batin Dimas bersamaan bulir-bulir bening yang terus keluar dari mata sayunya.

***

Sekali lagi, malam berganti pagi.

"Dimas...." Veby membangunkan Dimas yang tertidur dengan posisi duduk di samping Doni. Dimas membuka mata dan menyadari kalau hari sudah pagi.

"Sebaiknya kamu sarapan dan membersihkan diri dulu, Dim. Udah seharian kamu di sini," ucap Veby yang hanya dibalas dengan gelengan kepala Dimas.

"Dimas, kalau kamu begini terus, kamu juga bakal sakit. Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Doni? Kalau nanti Doni bangun, terus tau kamu sakit, kamu tega Doni ngurusin kamu dengan kondisinya sekarang?" Lagi-lagi Dimas hanya menggelengkan kepala. "Ya udah, makanya sekarang ayo kita sarapan sebentar aja! Doni bakal baik-baik aja dan nggak akan ke mana-mana kok hehe...," canda Veby sambil membantu Doni berdiri dan mengajaknya keluar kamar untuk sarapan dan membersihkan diri.

***

Selesai membersihkan dirinya, Dimas bergabung dengan Veby di ruang makan. Ternyata dengan guyuran air, tubuh dan pikirannya menjadi lebih baik, tidak sekusut sebelumnya.

"Makan, Dim!" ajak Veby.

"Dua hari lagi Natal. Dan hadiah Natal kali ini bener-bener di luar dugaan," ucap Dimas tiba-tiba. Masih tersirat kesedihan di wajahnya, namun paling tidak, dia sudah mau berbicara.

"Dim, kamu yang sabar ya..."

"Aku nggak ngerti kenapa Doni nggak pernah cerita tentang sakitnya?! Kenapa dia bisa nutupin semuanya dari aku?!" Dimas menutup wajah dengan kedua tangannya. Ada nada kekecewaan dalam ucapannya.

"Udah, Dim. Doni pasti punya alasan untuk itu." Veby mencoba menenangkan Dimas kembali dengan menusap lengan Dimas perlahan.

"Dimas... Veby....." Suara tak asing tiba-tiba terdengar oleh Dimas dan Veby. Dimas dan Veby mengalihkan pandangan ke sumber suara dan mereka melihat Doni sudah berdiri di hadapan mereka.

B R O T H E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang