***
Matahari beranjak naik dan waktu telah menunjukan pukul 13.00. Doni dan Dimas sudah siap untuk kembali ke rumah Eyang. Natal memang masih 2 hari lagi, tapi, karena kedua orang tua Doni dan Dimas sudah sampai di Jogja, mereka sudah diminta kembali ke rumah Eyang.
"Veby, makasih ya udah mau nemenin kita liburan," ucap Doni penuh senyuman.
"Sama-sama, Don. Aku seneng kok bisa ketemu dan nikmatin liburan bareng kalian." Veby membalas senyuman Doni dan kedua manik mata mereka saling beradu menciptakan keheningan.
"Eheemmmm... Berasa obat nyamuk ini ceritanya...," Dimas memecah keheningan di antara Doni dan Veby. Keduanya pun merona dan salah tingkah.
"Hmmm, kamu pulang ke Jakarta kapan, Veb?" tanya Doni menetralkan suasana.
"Aku, kemungkinan setelah Natal baru pulang ke Jakarta."
"Jadi, kamu rayain Natal di sini? Sama siapa?" timpal Dimas.
"Iya, kayaknya begitu. Sama siapanya ya mungkin sama keluarga Pak Roni."
"Veb, kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa rayain Natal bareng kami," Doni memberikan tawaran.
"Maksudnya?"
"Iya, kalau kamu mau, kamu bisa ikut kami ke rumah Eyang, lalu kita bisa merayakan Natal bersama."
"Aaaa...tumben ide kamu cemerlang, Don!" ucap Dimas sambil menepuk bahu Doni. "Gimana, Veb? Kamu bisa ketemu Eyang juga nanti. Pasti Eyang seneng bisa ketemu kamu. Gimana?" lanjutnya.
"Tapi, kalau nanti aku ganggu acara keluarga kalian gimana? Aku nggak enak."
"Nggaklah, Veby. Kami malah seneng kalau ada temen yang ikut meramaikan Natal kali ini," timpal Doni.
"Hmmm... aku pikir-pikir dulu ya..."
"Ya udah, kami juga nggak mau maksa kamu. Tapi, kalau kamu berubah pikiran, segera susul kami ke rumah Eyang ya...," ucap Doni sambil memberikan alamat rumah Eyang pada Veby.
Veby menerima kertas berisi alamat Eyang Marta. "Iya, makasih ya."
"Kalau gitu, kami pamit ya." Doni mau naik di bagian depan, namun Dimas mencegahnya, "Don, biar aku yang bawa motornya. Kamu bonceng aja di belakang."
"Emang kamu bisa bawa motor begini?" tanya Doni meremehkan.
"Wah... meremehkan sekali Anda. Kenalin, adiknya Valentino Rossi." Dimas mengulurkan tangan ke arah Doni dengan angkuhnya. Dan... lagi-lagi Dimas berhasil membuat Doni, Veby, dan Pak Roni tertawa.
"Ya udah, cepetan naik!" pinta Dimas.
"Kami pamit ya Veby, Pak Roni. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya dan maaf kalau sudah merepotkan," pamit Doni lagi.
"Iya, Mas. Tidak merepotkan kok. Kami senang kedatangan Mas berdua. Hati-hati di jalan. Dan salam untuk keluarga juga Eyang," ucap Pak Roni.
"Kalian hati-hati ya... salam untuk papa, mama kalian juga Eyang Marta," lanjut Veby.
"Iya... Bye... kami pulang..." ucap Dimas. Doni dan Dimas melambaikan tangan ke arah Veby dan Pak Roni dan dibalas oleh keduanya. Doni dan Dimas pun keluar dari vila kembali ke rumah eyang.
***
Doni dan Dimas telah keluar dari wilayah Kaliurang. Suasana sejuk dan sepi telah berganti dengan panas dan padatnya jalanan. Sepertinya setiap pengendara ingin segera sampai di tempat tujuan sehingga mereka hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Tak ayal, hal ini membuat Dimas kualahan. Kalau dia tak ingat bahwa ia sedang memboncengkan Doni, mungkin sumpah serapah sudah keluar dari mulutnya untuk orang-orang yang mengendari kendaraan seenak jidatnya. Sebenarnya, Doni pun merasakan hal yang sama dengan Dimas. Beberapa kali ia melihat Dimas menahan emosi ketika harus mengerem mendadak. Rasanya Doni juga ingin meneriaki orang-orang itu, tapi teriknya matahari yang menyengat, ditambah panas dari polusi kendaraan, belum lagi bunyi-bunyi klakson yang begitu bising, membuat kepala Doni kembali berdenyut. Spontan, Doni mencengkeram pundak Dimas dan tentunya membuat Dimas kaget.
"Aww! Kenapa sih, Don?" Dimas berucap sambil terus berusaha fokus mengendarai motor. "Aduh, jalanan padet ini, jangan bikin kaget! Kalau nabrak orang di depan gimana?" lanjutnya.
Doni tidak menimpali ucapan Dimas. Kepalanya semakin sakit. Matanya mulai kabur. Bukannya melepaskan cengkeramannya, Doni malah semakin berpegangan erat di pinggang Dimas. Dimas pun menyadari ada yang tidak beres dengan Doni. Dimas melirik ke arah spion dan ia melihat wajah Doni yang begitu pucat seperti menahan sakit.
"Doni! Kamu kenapa?" Dimas mulai panik.
"Ahgrrr... kepalaku... sakit, Dim...," ucap Doni lirih. Bahkan saking lirihnya, Dimas tak bisa mendengar dengan jelas ucapan Doni. Dimas hanya melihat mata Doni yang terpejam dengan kerutan di dahinya.
"Don, Doni! Kamu bertahan ya! Kita langsung ke rumah sakit!" Dimas semakin panik dan hampir saja ia kehilangan kendali motornya.
Tak sanggup lagi menahan sakit, tubuh Doni mulai lemas dan jatuhlah ia di punggung Dimas. Doni pingsan. "DONI!!!" Dimas begitu terkejut. Dimas berusaha menyadarkan Doni sambil menahan tubuh Doni agar tidak jatuh. "Don.. Doni... Bangun, Don! Jangan nakutin aku begini! Bangun, Don...," air mata Dimas berhasil lolos dari pertahanannya.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
B R O T H E R
Teen Fiction"Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali Kita berbincang tentang memori di masa itu Peluk tubuhku usapkan juga air mataku Kita terharu seakan tiada bertemu lagi ...." Sebuah Kisah Klasik - Sheila On 7 -