Keesokan paginya, aku merapikan seragamku dengan hati yang berat. Rasanya seperti pagi-pagi sebelumnya, tanpa kehadiran orang tuaku. Di ruang tengah, Bi Ina sedang sibuk dengan dasi Elisa yang masih saja merengek karena kesulitan memakainya sendiri. Aku mendekat dan bertanya dengan nada yang sudah biasa aku gunakan setiap pagi.
"Bi, Mommy udah pulang??" tanyaku pada Bi Ina.
Bi Ina hanya menggeleng pelan sambil terus memperbaiki dasi Elisa. "Belum, Non," jawabnya lembut.
"Kalo Daddy?" tanyaku lagi.
"Belum juga, mereka tidak pulang dari semalam," ujar bi Ina suaranya datar, seolah sudah terbiasa menyampaikan kabar yang tak ada bedanya.
"Sudah kuduga," balasku dengan nada lemas. Lelah dan pasrah dengan kedua orang tuaku yang tak pernah peduli itu.
Suara Elisa yang lembut memecah lamunanku. "Kak, kenapa Mommy sama Daddy gak pulang?" tanyanya, suaranya lirih dengan tatapan mata penuh kebingungan.
Aku menoleh dan melihat wajah adikku. Wajah Elisa tampak pucat. "Mungkin mereka kena macet," jawabku berbohong padanya dan ia hanya mengangguk kecil.
"Sayang kamu gak usah sekolah dulu ya, muka kamu pucat loh," sambungku lagi, merasa khawatir.
Elisa menggeleng kuat. "Gak mau kak, aku mau sekolah nanti ada pelajaran menggambar. Aku pengen menggambar Mom, Daddy, Kakak dan Elisa," ucapnya dengan semangat antuasias.
"Ya udah, yuk berangkat!" aku mengulurkan tanganku dan menggandeng Elisa. Kami berjalan menuju pintu, meninggalkan rumah yang sepi dan kosong.
***
Bel istirahat berbunyi, menggema di seluruh sudut sekolah.
"Eh Rin, lo duluan aja ke kantinnya ya, gue mau ke toilet dulu!" ucap Billa sambil membereskan tasnya, matanya melirik cepat ke arahku.
"Iya, santai aja." Aku melangkah keluar kelas, melewati kerumunan siswa yang berbondong menuju kantin. Aku berjalan sendirian, duduk di meja pojok tempat aku dan Billa biasa menghabiskan waktu istirahat.
Belum sempat aku membuka minuman, tiba-tiba Raveno muncul entah dari mana dan langsung duduk di depanku tanpa permisi. Ia memakai setelan baju olahraga, dengan kalung peluit yang ia kalungkan dilehernya. Wajahnya penuh dengan keringat namun terlihat segar dan tampan.
"Lo lagi?" cibirku dengan nada malas.
"Heheheh.." dia tertawa kecil, seolah menikmati reaksi sinisku.
"Eh, buat yang kemaren, gue minta maaf, ya?" ucapnya pelan, matanya menatap lurus padaku.
"Yang kemaren?? Yang mana??" tanyaku bingung sambil menggaruk kepalaku.
"Itu, yang gue cium lo waktu itu." Bisik Raveno, suaranya hampir tenggelam di antara bisingnya kantin.
Jantungku seakan berhenti sesaat. Hah? Apa dia membahas kejadian saat di rumahku waktu itu? Aku bahkan tak pernah mengungkitnya lagi dan sudah lupa. Lebih tepatnya, berusaha melupakan.
'Kirain waktu kemarin ngebentak gue... Tiba-tiba banget, padahal kan udah lewat!' batinku.
"Oh," jawabku pendek, mencoba terlihat tak terpengaruh.
"Oh doang?" tanyanya dengan nada tidak percaya, seolah mengharapkan reaksi lebih dariku.
"Ya terus?" aku mengangkat bahu cuek. Namun aku mulai menyadari bahwa banyak murid-murid yang melirik ke arah kami. "Eh Rav, lu ngerasa gak sih banyak yang ngeliatin kita berdua?"
Raveno mengangguk dengan ekspresi santai. "Ya udahlah gapapa kita kan emang best couple, ye kan?"
"Couple apaan sama guru kek lo! Najis!" tawaku meledak.
Namun, suasana berubah ketika ponselku tiba-tiba berdering.
"Iya, halo?" tanyaku saat mengangkat telepon.
"Ini saya, Miss Nania, bisa dateng lagi tidak Elisa pingsan lagi!" suara di seberang terdengar cemas.
Jantungku rasanya mulai berdegup cepat.
"Saya ke sana sekarang!" jawabku cepat, menutup telepon dengan tangan gemetar.
"Kenapa?" Raveno tampak menyadari perubahan raut wajahku.
"Elisa pingsan lagi!" ucapku panik.
"Ya udah, gue anter, ya!" Raveno segera berdiri, wajahnya serius.
Aku mengangguk. "Lo tunggu di mobil aja, gue mau izin pulang sama guru piket," ucapku sambil menyodorkan kunci mobil padanya.
***
Miss Nania mengabarkan bahwa ia sudah membawa Elisa ke rumah sakit untuk diperiksa. Aku dan Raveno segera menuju alamat rumah sakit yang Miss Nania kirim. Dalam perjalanan, aku tidak bisa tenang, khawatir dan takut bercampur menjadi satu. Raveno yang menyetir terus mencoba menenangkanku.
Setibanya di rumah sakit, aku dan Raveno berlari menuju ruangan tempat Elisa dirawat. Rasa khawatir yang menyesakkan dada semakin terasa kuat.
"Gimana keadaan adik saya, Dok??" tanyaku segera setelah melihat dokter keluar dari ruangan.
Dokter itu memandang kami dengan raut serius. "Dimana orang tua kalian? saya perlu bicara dengan mereka."
Jantungku semakin berdegup kencang. "Mereka sedang tidak dirumah, memangnya ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan orang tua saya?" tanyaku cemas.
"Kami akan beritahu kalian nanti," jawab dokter itu sebelum pergi, meninggalkan aku dan Raveno.
"Rav, kenapa ini?" tanyaku dengan suara yang nyaris pecah.
Raveno merangkulku erat, mencoba menenangkanku. Namun rasa takut semakin menjalari diriku. Apa yang sebenarnya terjadi pada Elisa? Aku mencoba menelepon Mom dan Dad berkali-kali, tapi tak satu pun diangkat.
'El, semoga kau baik-baik saja!' batinku, berharap semua ini hanya kecemasan berlebih.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[PRE-ORDER NOVEL HOME SWEET HOME] Dalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayan...