BAB 30

5.1K 207 6
                                        


Lima tahun yang lalu...

Siang itu, Raveno duduk di pinggir tempat tidurnya. Kedua telinganya tertutup oleh tangan, matanya tertutup rapat, seolah berusaha menghindari suara yang mengganggunya. Sementara itu, ketukan di pintu terus terdengar, tak sabar. Semakin lama, suara itu seakan menusuk ketenangannya, dan akhirnya, dengan napas memburu, Raveno beranjak. Ia membuka pintu dengan kasar.

Disana berdiri Sharin, dengan muka yang kusut, matanya sembab seperti habis menangis. Ia mengenakan dress berwarna soft pink, dihiasi bando putih di kepalanya. Wajahnya memancarkan kelelahan namun juga keresahan.

Raveno menghela napa berat. "Berisik banget sih!" bentaknya, matanya memicing.

Sharin hanya mengatupkan bibirnya, matanya berkaca-kaca. Tanpa menunggu dipersilahkan, ia melangkah masuk ke kamar Raveno dan duduk di kursi belajar, memeluk lututnya.

"Ranvi berengsek," suaranya lirih, hampir seperti isakan. Dia balik ke London tanpa ngabarin gue!"

Raveno berdiri mematung, tangannya memijit pelipisnya, mencoba menahan sesuatu yang seolah ingin meledak dari dalam dirinya. Jantungnya berdebar, kemarahan yang ia pendam perlahan mendidih.

"Terus? Lo ke sini ngapain?" Raveno bersuara ketus. "Cuma numpang nangis lagi?"

Sharin menatap Raveno dengan kaget. Ucapannya barusan begitu kasar hingga memukul hatinya. "Ya abisnya Ranvi–"belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Raveno memotong dengan nada marah.

"Ranvi lagi, Ranvi lagi!" Bentaknya lagi. "Kapan lo sadarnya? Bisa gak sih lo buka hati lo buat gue?"

Kata-kata itu sontak seperti bom yang meledak di antara mereka. Sharin terdiam, membeku di tempat. Matanya tak percaya, seolah tak mengenali sosok di hadapannya.

Raveno menatap ke arah lain, usapan kasar di wajahnya menandakan penyesalan. Ia sendiri terkejut dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Namun, akhirnya ia kembali memandang Sharin dengan tatapan yang berbeda. Lebih lembut dan penuh keyakinan.

"Gue. . suka sama lo, Sharin," suaranya pelan, nyaris berbisik, namun jelas. Ada getaran di dadanya, perasaan yang sudah lama ia pendam, akhirnya terucap.

Sharin masih membeku, sulit untuk mencerna semuanya. Tangannya kikuk menggaruk belakang telinganya, tak tahu harus berkata apa. Suasana di antara mereka tiba-tiba berubah canggung.

Raveno menghela napas panjang. "Sorry," ucapnya sambil menunduk, suaranya terdengar gugup. "kalo ucapan gue tadi bikin lo bingung." Ia memaksa senyumnya meski hatinya berantakan tak karuan. "Gue mau istirahat dulu, ok! Gue masih gaenak badan."

Ia bangkit, perlahan mendorong tubuh Sharin yang masih terpaku di kursi. Sharin sedikit memberontak, mencoba bertahan. "Tapi... gue kan belum jawab–"

"Usstt, kapan-kapan aja jawabnya!" potong Raveno cepat. Ia terus mendorong Sharin hingga keluar dari kamarnya, dan dengan cepat menutup pintu.

Di luar, Sharin hanya terdiam, tangannya mengetuk pintu pelan. Tapi tak ada balasan dari dalam. Sunyi.

Di dalam kamar, Raveno melempar tubuhnya ke kasur, wajahnya tenggelam di bantal. Tangannya memukul-mukul bantal, frustasi dengan dirinya sendiri.

"Rav, lo tolol... sumpah, tolol!" gumamnya, menyesali segalanya. Ia baru saja menyatakan cintanya setelah sekian lama memendam, namun entah kenapa ia merasa semuanya salah. Waktunya, suasananya, semua terasa tidak tepat.


***

BEBERAPA BAGIAN CERITA TERPOTONG

HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang