Renforcer - Prolog

104K 4.7K 166
                                    

"Din, ngelamun lagi?" Kinan menepuk bahu Dinda yang terlihat kosong padahal ia sedang membuka diktat Hukum Tata Negara miliknya. "kenapa Kin?" Sahut Dinda, kepalanya reflek menoleh pada Kinan yang duduk disebelahnya. Gadis itu sedang memegang buku undang-undang dasar. 

Kinan melirik jam dinding perpustakaan "Sebentar lagi jam Pak Aidan dimulai. Gimana kalo sekarang langsung ke kelas? Aku nggak mau terlambat." Tidak ada yang mau datang terlambat pada kelas pak Aidan. Dinda menatap sahabatnya yang lain meminta persetujuan "Boleh," Jawab Fika dan bergerak membereskan buku dan diikuti Windy dibelakangnya.

Mereka berjalan bersama menuju ruang D2 dan langsung duduk di kursi yang tersisa. Diantara mahasiswa lain dalam kelas D Hukum Tata Negara, hanya Dinda dan Ares yang berhasil meraih nilai A selama hampir setengah semester pak Aidan mengajar. Dosen muda yang terkenal se- fakultas itu sering memberi Kuis yang bersifat Analisis namun dengan sistem Open Book. 

Ya kali Open book, jawabannya aja nggak ada didalam diktat!

Andre yang lebih dulu datang mengerutkan dahi bingung, "Kok tumben baru datang?" Tanyanya bingung. Padahal biasanya keempat gadis itu tidak pernah datang agak terlambat pada jam-jam mata kuliah gantung seperti ini. "Kami daritadi di perpus." Jawab Dinda, perempuan itu mengeluarkan diktat Hukum Tata Negara miliknya. 

"Kami pikir kalian pulang, pak Arsen tadi mencari kamu Din," 

Dinda menoleh "Pak Arsen?" kedua matanya menyipit aneh. 

Andre mengangguk "Tadi beliau mencari kamu dan Ares. Tapi Ares sudah menemui beliau kok. Tuh-" Ia menunjuk Ares yang baru memasuki kelas. Ares memakai kemeja putih polos kesukaannya. "Pak Arsen mencari kita berdua?" Tanya Dinda heran. 

Ares menarik kursi kosong disamping Dinda "Iya. Beliau bertanya soal absen lalu menawari soal seleksi debat konstitusi bulan depan." Jawab Ares. "kamu dari tadi dimana?" Tanya Ares penasaran. 

"Kami di perpus, aku kayaknya ketiduran." Jawab Dinda polos. "Aku kayaknya nggak bisa ikut. Seleksi Lomba Asean Model dengan pak Rafik saja belum selesai." Dinda memang punya projek lomba bersama dosen dan seniornya baru-baru ini.

Ares mengangguk dan suasana kelas kembali sunyi. Seluruh mahasiswa sibuk dengan diktat serta undang-undang untuk memahami catatan mereka yang tidak beraturan. Pak Aidan memang tergolong cukup jarang memberikan tugas, namun dosen tampan itu sering mengadakan kuis dengan rutin. 

***

Pukul sepuluh lewat lima belas, Pak Aidan memasuki kelas. Laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh delapan senti itu terlihat berwibawa seperti biasanya. Aroma parfum khasnya memenuhi satu ruangan. Tas punggungnya terlihat berat karena semua orang bertaruh ada setidaknya lima diktat HTN bersama laptop dan bahan ajar fakultas.

"Selamat pagi semuanya. Silahkan keluarkan seluruh diktat, bahan ajar, dan Undang-Undang Dasar milik kalian."

Disaat seluruh mahasiswa sibuk mengeluarkan semua diktat, bahan ajar serta Undang-undang yang mereka miliki, Aidan bergerak cepat mengeluarkan kertas soal yang dibuatnya semalam. Tiap soal dibagikan pada masing-masing mahasiswa dan bersamaan itu pula helaan nafas berat terdengar memenuhi ruang kelas. Sebenarnya hanya ada satu pertanyaan esai, akan tetapi semua orang tahu bahwa satu lembar double polio tidak cukup untuk menguraikan jawabannya. 

Soalnya cuma satu jawabannya dua lembar double polio.

Windy berbisik-bisik sambil berusaha menyenggol Dinda "Pstt! Din! Stt! Woy!" 

"Kenapa?" Tanya Dinda cepat. 

Windy memperhatikan pak Aidan yang duduk di kursi yang diletakkan pada tengah-tengah ruangan. Setelah memastikan pak Aidan sedang tidak menatap kearahnya, Windy kembali menoleh pada Dinda, "Perubahan UUDS ke UUD 1945 lagi tahun berapa?" Bisiknya pelan sekali. Jangan salahkan Dinda karena perempuan itu tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

"Hah?!" Sahut Dinda. 

Windy mengulang pertanyaannya "Konstitusi UUDS ke UUD 1945 lagi tahun berapa?!" Namun kali ini dengan volume suara yang sedikit lebih besar. 

Seharusnya jika keadaaan kelas tidak sesunyi ini, Dinda jelas akan memaklumi Windy karena ia juga sulit mendengar dengan baik. Akan tetapi dengan keadaan kelas yang sangat sunyi -bahkan suara ketikan Aidan terdengar jelas- tentu menarik perhatian banyak orang termasuk dosen mereka "Windy, Dinda sekali lagi saya dapati kalian berdua bicara, silahkan keluar dari kelas saya!" Suara rendah milik Aidan menggema di seisi kelas yang sunyi. "Maaf pak." Sahut Dinda tak enak, lalu kembali menuliskan jawabannya dan tidak mengacuhkan Windy yang masih berusaha meminta jawaban.

Aidan berkeliling kelas dengan mata yang terus memperhatikan satu persatu mahasiswanya yang sedang serius menjawab pertanyaan. Ada berbagai macam ekspresi disana, ada yang serius, ada yang tengah bingung dan bahkan ada yang tengah termenung -entah karna tidak tau atau karna tau jawabannya, laki-laki berumur dua puluh delapan tahun itu berhenti di kursi paling depan -dimana Dinda duduk.

Aidan menyipitkan mata setelah menemukan satu kejanggalan dari salah satu mahasiswinya itu. Ia sedikit menundukkan badan dan berhenti tepat di samping telinga Dinda, lalu berbisik pelan, "Setelah ini ke ruangan saya." Ucapnya pendek dan tegas. Dinda mengangguk pelan saat pupil matanya menangkap Aidan yang berjalan kembali ke kursinya lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. 

Kuis kali ini memakan seluruh jam mata kuliah. Aidan harus menunda materi mereka minggu ini karena seluruh mahasiswa mengeluh kekurangan waktu untuk mengisi jawaban. "Kerja bagus semuanya, sampai bertemu minggu depan." Aidan pamit setelah mengumpulkan seluruh kertas jawaban mahasiswa. Ia buru-buru keluar dari ruang kelas dan kembali ke ruangannya karena jadwal mengajar hari ini baru akan dilanjutkan pukul setengah tiga sore nanti. 

"Mau kemana, Din?" tanya Fika bingung karena Dinda membereskan buku-bukunya dengan tergesa "Aku ada urusan sebentar, kalian kalo mau ke kantin duluan aja nanti aku nyusul." 

Dinda mengetuk pintu ruangan hukum tata negara yang cukup sepi "Permisi pak." Katanya mengucap salam lalu berjalan ke meja Aidan yang ada berada paling sudut. "Sini!" Aidan menunjuk kursi kosong yang ada di depan mejanya.

"Kamu sepertinya tidak mendengar aku tadi malam-"

Dinda tersenyum miring karena tahu kemana pembicaraan mereka akan berlanjut. "Mas sudah bilang jangan pernah pakai rok ini ke kampus. Kamu nggak ingat?"

Oh baiklah, ada beberapa hal yang harus dijelaskan disini.

Namun jawabannya sudah jelas kan?

Aidan Prasetyo Haliim adalah Suami sah Adinda Maharani.

Renforcer📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang