Some people are meant to fall in love with each other but not meant to be together.
Dinda tidak ingat apa yang terjadi setelah mereka sampai di bandara. Ucapan Arsen soal suaminya di mobil tadi masih menimbulkan keterkejutan bagi Dinda. Pikirannya kosong dan suhu tubuhnya turun drastis. Dinda bahkan tidak terkejut saat Nurul terlihat cemas dan sibuk membantunya untuk duduk karena wajah yang pucat. Dinda bisa merasakan keringat dingin mengalir di sepanjang dahi hingga pelipisnya.
"Din, kamu kenapa? Pak Randi-" Nurul bergegas memanggil dosen mereka. Dinda terduduk lemas di kursi lorong arrival, tangannya bergetar "Seseorang bunuh diri karena mas Aidan?" ia mengulang perkataan Arsen tadi.
Pak Randi datang bersama Arsen setelah memberi instruksi bagi mahasiswa lain untuk tetap menunggu tamu mereka. Arsen mematung ketika melihat keadaan Dinda yang terlihat menyedihkan. Pak Randi berjongkok dengan hati-hati, mendekati mahasiswinya "Dinda, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut. Matanya terbelalak ketika memperhatikan Dinda dari dekat. "Nurul, kamu ada tisu?" Nurul memberikan tissue pocket miliknya.
Pak Randi mengusap keringat pada dahi Dinda dengan lembut "Kamu kembali ke hotel duluan saja ya." Dinda reflek mendongak. Air mata menggenang di kedua matanya "Bapak akan siap mendengarkan masalah kamu nanti, sekarang kamu kembali ke hotel ya." Sang dosen masih berusaha tersenyum menenangkan.
Walau Randi sendiri juga tidak tahu apa yang terjadi dengan mahasiswanya satu ini.
Randi berdiri lalu menoleh pada Nurul yang masih berdiri di tempatnya "Nurul bisa bergabung dengan yang lain nanti prof Ros naik mobil saya saja. Pak Arsen bisa mengantar Dinda kembali ke hotel pak?" Arsen yang berdiri agak jauh dari mereka hanya bisa mengangguk.
Dinda mengekori Arsen dari belakang. Mereka berjalan menuju parkiran mobil Arsen berada. Dinda tidak tahu, kenapa kedua kakinya terasa sangat berat untuk digerakkan. Ketika hendak meraih gagang pintu, sebuah sapu tangan tiba-tiba membekapnya dari belakang. Dinda tidak bisa mengingat apa-apa karena pandangannya menggelap.
Ketika kesadarannya kembali. Dinda seakan kehabisan napas. ia berada dalam satu ruangan kecil tanpa penerangan dengan keadaan tangan yang diikat dan mulut yang terkunci dengan plester hitam. Dinda tidak bisa berteriak karenanya. Satu-satunya pintu yang ada terbuka, Dinda menyipitkan mata saat cahaya terang yang berasal dari lampu ruangan luar menusuk matanya.
"kamu sudah bangun?"
Suara familiar yang terdengar jelas membuat Dinda refleks berteriak walau ia sadar suaranya tak akan bisa terdengar. Tubuh Dinda bergidik ngeri, air mata menggenang di kedua pelupuk matanya. Dinda menatap tajam pada sosok yang berjalan mendekat, ia kembali menjerit keras saat lelaki itu menggendongnya dan mereka berjalan keluar dari ruangan.
Dinda menyudut ketika sosok itu menurunkannya. insting menyelamatkan diri aktif. "Jangan menghindar, Dinda." Suara tenang yang biasanya terdengar saat mata kuliah hukum pidana itu tak lagi terasa nyaman untuk di dengar. Suara itu terdengar asing dan menakutkan "Oh ayolah Dinda, jangan membuat saya mengulang. ucapan saya."
Dinda menggelengkan kepala kuat-kuat, Ia berusaha menggerakan tangannya yang terikat untuk meraih ponsel yang ada di kantong belakang celananya. Sangat sulit melakukan dalam keadaan tangan yang terikat, Dinda bisa merasakan kulitnya tergesek-gesek dengan perih.
"Din-"
Belum sempat menyentuh ponselnya, tubuh Dinda sudah ditarik lebih dulu dan ponselnya terpelanting dengan layar yang sedang menampilkan panggilan masuk oleh seseorang. "Kamu mau mencoba menghubungi siapa?" Arsen mengambil ponsel Dinda lalu terkekeh geli setelah melihat siapa yang menghubungi "Haruskah saya menjawabnya?" Katanya dengan geraman tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renforcer📌
Chick-LitMenikah dengan Lelaki sepuluh tahun lebih tua? (Versi lengkap telah terbit di aplikasi Fizzo). Fyi. Cerita ini adalah cerita pertamaku di wattpad. Harap dimaklumi atas ketidaksempurnaan dari segi alur, penulisan dan latar. COMPLETED