Prolog

9.4K 381 54
                                    

Matahari pagi sudah bersinar begitu terik. Seolah memaksa semua manusia yang masih terlelap untuk segera bangun dari tidurnya. Di sebuah kamar yang di dominasi warna biru langit, tampak seorang gadis yang tengah mengikat rambutnya. 

Dia sudah bangun sejak subuh tadi, mempersiapkan semua kebutuhannya untuk sekolah. Gadis itu adalah Aqilla Shazfa O. Dia memiliki rambut panjang berwarna hitam, kulit putih mulus, dan wajah cantik khas gadis asia.

Aqilla mengikat rambutnya pony tail dan menyisakan beberapa helai rambut sebagai pembingkai wajahnya. Dengan senyum cerah dan seragam sekolah rapi, gadis belia itu keluar dari kamarnya, menuju dapur untuk sarapan.

"Nenek," sapanya ceria pada seorang wanita tua berusia sekitar 65 tahunan.

Wanita tua itu tersenyum dan mengajak Aqilla untuk memakan sarapan pagi mereka. Beberapa lembar roti tawar, selai, dan tentu saja segelas susu.

"Mana bibi? Apa bibi nggak ikut makan sama kita nek?" Aqilla bertanya sambil mengoleskan selai coklat kesukaannya pada sepotong roti tawar.

"Bibimu masih mandi. Paling sebentar lagi juga selesai," jawab sang nenek yang juga mulai sibuk mengoleskan selai ke roti tawarnya.

"Hmm, gitu." Aqilla menyantap sarapan paginya dengan lahap sambil sesekali bersenda gurau dengan sang nenek. Mereka membicarakan banyak hal, mulai dari film horor yang mereka tonton tadi malam sampai kucing tetangga yang terpeleset kulit pisang.

Sesekali tawa terdengar, begitu bahagia. Sekitar sepuluh menit kemudia seorang wanita masuk dan duduk di salah satu kursi. "Qil, lo berangkat sendiri ya. Gua buru-buru soalnya," ujar wanita itu.

Aqilla menatap wanita itu kesal, "Qilla bi, jangan Qil. Jadi creepy nama Qilla."

Wanita itu menatap Aqilla tak peduli. "Serah lo dah," ujarnya.

Sang nenek hanya memperhatikan pertengkaran anak dan cucunya sambil tertawa lirih. "Sudah-sudah, makanlah dulu. Bukannya kau buru-buru Sarah," tegur sang nenek untuk menghentikan perdebatan tak berguna antara Aqilla dan bibinya.

"Iya bu, Sarah berangkat dulu ya. Udah kesiangan nih." Sarah memasukkan seluruh rotinya yang tersisa dan segera pergi.

"Bibi sih, ngebonya kelamaan," celetukan Aqilla yang sukses mendapat delikan tajam dari Sarah.

"Awas ya lo ntar, gue goreng lo kalo udah pulang," pekik Sarah dari luar rumah.

"Qilla tunggu.." jawab Aqilla sedikit dinadakan.

"Aqilla.. sudahlah, jangan ganggu bibimu. Makanlah," ujar sang nenek mengingatkan.

"Oke nek hehehe." Aqilla kembali melanjutkan makanannya sambil sesekali melihat buku pelajaran yang ia letakkan di meja. Hari ini ada kuis sastra di kelasnya.

oOo Di tempat lain oOo

"Tuan muda, bangunlah, sudah saatnya berangkat sekolah." Suara ketukan terdengar beberapa kali bersamaan dengan suara panggilan.

Masih tak ada jawaban dari dalam kamar, sehingga si pemanggil kembali mengulangi kalimatnya lagi. Setelah mengulangnya untuk yang ketiga kalinya, si pemilik kamar akhirnya menjawab.

"Iya." Sebuah jawaban singkat yang dilontarkan pemilik kamar itu dengan nada acuh.

Alfariel Adhyastha Anindito, pemilik kamar itu. Seorang pemuda tampan yang akan mewarisi Anindito Corp. Pemuda tampan yang sayangnya malah dikenal karena kenakalannya. Dia sangat sering berkelahi, bolos, dan bahkan beberapa kali ditangkap polisi karena terlibat tawuran.

Fariel menatap jam dinding, jam itu menunjukkan pukul 06.17. Dengan malas Fariel berdiri dari kasurnya dan menuju kamar mandi. Setelah sekitar sepuluh menit di dalam kamar mandi, pemuda itu keluar dengan melilitkan handuk di pinggangnya.

Menampakkan tubuh bagian atasnya yang terlatih dan berotot. Ada beberapa luka di tubuhnya, mungkin hasil dari tawuran.

Fariel melangkah tenang ke lemari bajunya. Mengambil seragam sekolah dan mengenakannya.

TRING..TRING..

Suara nyaring dering telepon mengganggu kegiatan berpakaian pemuda itu. Dengan langkah gontai Fariel mengambil ponselnya dan mengangkatnya.

"Riel, lo di mana? Bantuin kita Riel. Kita dikeroyok di gang deket sekolah." Suara dari seberang langsung menyentak kesadaran Fariel. Tanpa basa-basi, pemuda itu keluar dari kamarnya. Menuruni tangga rumahnya dan dengan cepat mengambil kunci motor yang terletak di nakas dekat pintu keluar.

Fariel melangkah cepat menuju motornya. Beberapa pelayan yang melihatnya tergesa-gesa memanggil. Fariel menghidupkan motornya dan segera berangkat, mengabaikan panggilan pelayan-pelayan di rumahnya.

Dalam waktu beberapa menit, Fariel sudah sampai di gang yang dimaksud temannya. Dia mengendarai motor seperti orang kesetanan. Gang itu terlihat sepi karena saat ini masih sangat pagi. Fariel berjalan tergesa memasuki gang tersebut.

Beberapa saat kemudian dia mendapati beberapa orang tengah berkelahi. Fariel berlari dan menerjang salah seorang yang sedang memukuli temannya. Terjadi perkelahian yang tidak seimbang, tiga lawan sebelas.

Fariel menatap teman-temannya yang sudah setengah bonyok. Detik berikutnya pemuda itu sudah melayangkan pukulannya pada musuhnya. Perkelahian semakin sengit. Perkelahian itu bahkan lebih heboh dari kucing berantem ataupun ayam yang mau bertelur.

"BERHENTI!!" Suara bass yang memekakkan memecah perkelahian itu.

Semua siswa yang terlibat perkelahian melihat ke sumber suara. Mendapati guru olahraga mereka yang terkenal ganas.

Pak Yanto—guru olahraga—menatap mereka tajam. "Ikut saya ke ruang guru." Suara itu terdengar pelan, namun cukup untuk membuat setiap siswa di sana berhenti bernapas barang sejenak—kecuali Fariel.

Pemuda itu masih terlihat tenang dengan beberapa lebam di wajahnya dan bibir kiri yang robek.


See, its too different

Life: Yours Vs MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang