Aqilla terus memperhatikan monitor di depannya. Dia sedang sibuk mengerjakan tugas sastra. Aqilla selalu mengerjakan tugasnya saat kerja paruh waktu agar lebih efektif. Jadi, saat pulang dia bisa istirahat sepenuhnya.
Beberapa kali Aqilla mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, tanda dia mulai bosan. Aqilla menghela napas dalam, tugas kali ini benar-benar sulit. Hampir tidak ada referensi yang bisa dia cari di dunia maya, mau tak mau besok dia harus ke perpustakaan.
Aqilla melirik samping kirinya, mendapati Fariel yang sedang tertidur di sana. Aqilla menatapnya sejenak, lalu mengalihkan tatapannya kembali ke monitor.
Lalu setelah itu dia kembali menatap wajah pemuda itu, yah kelihatannya wajah tampan itu memang lebih menarik dibandingkan monitor PC.
Aqilla menatapnya, wajah itu sempurna. Ada bekas luka di dahi kanan Fariel. Tapi bekas luka itu sama sekali tak merusak penampilannya. Dia tetap terlihat keren.
Aqilla terus menatap Fariel dalam diam. Sekarang monitor di depannya benar-benar tak menarik lagi.
Tiba-tiba mata pemuda itu terbuka, menampakkan manik sehitam arang di dalamnya. Aqilla tersedak dan langsung salah tingkah. Dia malu bukan main, kedapatan sedang menatap wajah Fariel.
Fariel tersenyum geli, gadis ini benar-benar menarik. Dia terlihat begitu menjaga jarak. 'Lihat aja, gue pasti dapatin lo,' batin Fariel.
"Kenapa berenti? Pandangin aja terus, gue rela kok." Fariel tersenyum nakal. Dia menatap Aqilla dan terus memperhatikan wajah gadis itu.
"Apaan sih." Aqilla berusaha seketus mungkin, dia sudah terlalu malu sekarang.
Hal itu justru membuat Fariel semakin geli. Dia tertawa tanpa ditahan-tahan membuat Aqilla semakin merasa malu.
"Apaan sih lo, diem ihh." Aqilla memukul lengan pemuda itu kesal.
"Aww." Fariel mengaduh, walapun sebenarnya pukulan itu sama sekali tak menyakitkan.
"Lebay," ujar Aqilla acuh.
"Lah, ini sakit loh. Gue laporin lo ntar, atas kekerasan terhadap orang tampan." Fariel nyeletuk sesuka hatinya.
"Hah? Pe-De gila lu ya," Aqilla kembali memukul lengan Fariel kesal.
"Aduh, malah ditambahin. Wah patah tulang ini." Fariel meng-aduh sambil mengelus lengannya.
"Iss, najis." Aqilla menatap Fariel kesal. Namun tak urung jua merasa khwatir. Mungkin dia memukulnya terlalu keras.
"La, lo itu blasteran?" Fariel bertanya, menyimpang dari topik pembicaraan tadi.
Aqilla terdiam sejenak. Dia kemudian kembali mencoba fokus pada monitornya dan men-download beberapa anime bagus untuk di tonton nanti malam.
"Lo selalu ngehindarin pertanyaan yang lo nggak suka. Selalu diem pas ditanya hal-hal yang lo nggak suka. Cobalah berbagi, biar lebih lega. Jangan ngebebanin ke diri lo semuanya." Fariel terus menatap Aqilla.
"Iya, gue berbagi kok. Tapi nggak samo lo," jawab Aqilla sambil tersenyum menghina.
Fariel membalas senyum Aqilla lalu berujar, "Oke deh, kali ini lo menang."
"Lo pulang jam berapa?" Tanya Fariel setelah hening beberapa saat.
"Jam setengah enam. Bentar lagi." Aqilla mengambil sesuatu di dalam tasnya. Setelah menemukan benda yang ternyata flashdisk itu, Aqilla kemudian menyambungkannya ke PC.
Aqilla mengirim beberapa file yang telah dia download tadi dan tugas yang sudah dia kerjakan. Fariel hanya diam. Dia hanya menatap Aqilla.
Aqilla tahu kalau dia sedang ditatap, karena Fariel melakukannya terang-terangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Life: Yours Vs Mine
Teen Fiction"I am a hard person to love. But when I love, I love really hard." - Alfariel Adhyastha Anindito Aqilla memandang Fariel sebagai sosok yang begitu dia benci. Nakal, merokok, pembuat onar, dan banyak lainnya. Menurut Aqilla, Fariel adalah manusia...