Suasana kantin begitu sesak, banyak murid yang berlalu lalang untuk membeli makan siang. Namun tak sedikit juga yang hanya diam memperhatikan. Memperhatikan sesosok pemuda yang beberapa bulan ini menjadi topik pembicaraan siswa-siswi SMA Cendikia. Siapa lagi kalau bukan Fariel.
Kedatangan siswa pindahan itu membuat geger satu sekolah atau lebih tepatnya seluruh siswi di sekolah itu—ya walaupun ada beberapa siswa juga yang ikut heboh. Bagaimana tidak, Fariel adalah seorang pemuda tampan, calon pewaris Anindito Corp, dan lagi sekarang terbukti bahwa nilai-nilai di rapornya bukanlah hasil sogokan.
Dia membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing dengan siswa-siswa berprestasi lainnya di SMA itu.
Berbeda dari siswi lainnya yang menatap kagum sosok Fariel, seorang gadis menatap kesal ke arah Fariel. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin nilainya yang notabene adalah nilai tertinggi di SMA Cendikia dikalahkan oleh siswa berandalan seperti Fariel.
Kemarin saat pengumuman nilai UTS, Aqilla bahkan tidak bisa mengatupkan mulutnya. Terlalu kaget melihat papan pengumuman. Namanya, Aqilla Shazfa O, terdapat diurutan kedua berdasarkan keseluruhan rata-rata sekolah.
Coba tebak, siapakah yang berada di nomor satu? Nomor satu diduduki oleh Fariel. Sungguh bencana terbesar bagi Aqilla, bagaimana mungkin dia dikalahkan playboy kelas teri itu?
"Lihat dia, apa bagusnya coba." Aqilla menatap kesal ke arah Fariel yang tengah duduk di mejanya. Dikelilingi beberapa teman sekelasnya. Lihatlah, pemuda itu bahkan sudah memiliki banyak teman sekarang.
"Uddahlah La, lo itu cuma belum bisa terima kalau nilainya lebih bagus dari nilai lo," ujar Anna, teman Aqilla.
Maya yang mendengar celetukan Anna langsung menyikut Anna pelan, dia menatap Anna tajam, memperingatinya. Anna hanya menghela napas pelan. Lelah dengan semua kemarahan Aqilla pada Fariel.
"Terus maksud lo apa? Lo belain dia gitu?" rasa marah mendadak memenuhi hati Aqilla saat mendengar sahabatnya membahas masalah paling sensitif untuknya saat ini.
"Nggak kok, bukan gitu maksud gue. Yadeh gue minta maap." malas menambah masalah, Anna mencoba berdamai dengan Aqilla yang kini menatapnya tajam. Andai tatapan dapat membunuh, maka pasti saat ini Anna sudah tak bernyawa lagi.
Tiga sekawan itu lalu kembali fokus pada makanannya masing-masing. Mencoba mengabaikan suasana kantin yang makin lama makin ramai.
"Udah yok, balik ke kelas. Gue ngantuk ni, mau tidur." Anna berdiri sambil mengucek pelan matanya.
"Emang ya lo. Kelas tu untuk belajar, bukan tidur!" Aqilla berujar sewot.
"Eh, suka-suka gue yah!" jawab Anna tak kalah sewot.
Aqilla berdiri dengan kesal, menatap sahabatnya yang kini melotot ke arahnya. Beruntung kantung mata Anna kuat, bila tidak, Aqilla rasa bola mata itu bisa saja keluar.
"Sudah-sudah, ayo ke kelas." Maya mencoba menengahi kedua sahabatnya itu. Yah, perkelaian antara Aqilla dan Anna adalah hal biasa baginya. Bahkan tiada hari bagi Maya tanpa perkelahian mereka berdua.
oOo XI Bahasa 1 oOo
"Arghhh. Kesel bangettt!!" Aqilla mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
"Gue rasa gue bakal nge-bunuh makhluk itu," seru Aqilla lagi.
"Ya, sebelum lo nge-bunuh dia, tangan lo bakalan putus duluan karena ketusuk kuku lo," sindir Anna.
"Ah..terima kasih. Perhatian sekali sih." Aqilla tersenyum manis menanggapi sarkasme sahabatnya.
"Ahh..kapan sih kalian nggak berantem. Capek dengernya." Maya mulai protes pada kedua sahabatnya yang bahkan sama sekali tak peduli.
"Kok kalian temenan sih. Padahal nggak ada kerjaan lain selain berantem," sindir Maya.
"Siapa yang temenan?"
Keduanya menjawab serempak.
"Ah serah lo dah." lelah menanggapi Aqilla dan Anna, Maya memutuskan untuk duduk diam di kursinya sambil membaca buku pelajaran selanjutnya.
Tak lama kemudian, Bu Riska—guru pengganti mata pelajaran matematika—masuk. Saat ini Bu Riska menggantikan guru matematika jurusan bahasa, karena guru tersebut cuti melahirkan.
"Baiklah, kita lanjutkan pelajaran kemarin ya. Saya memberi kalian tugas sepuluh soalkan kemarin?" Bu Riska berkata sambil membuka daftar absensi siswa.
"Baiklah, bagi yang namanya ibu panggil maju dan tulis jawaban kalian di papan tulis. Tanpa membawa catatan!" seketika suasana kelas menjadi tegang. Setiap murid menunduk dan berdoa dengan khusyuk agar nama mereka tidak dipanggil.
Di saat seperti inilah, bahkan seorang sahabat tak akan lagi menganggap sahabatnya.
"Imam Samudera. Maju ke depan." raut wajah lega nampak di wajah beberapa murid. Berbeda dengan Imam yang namanya dipanggil. Dia terlihat begitu pucat, seolah seluruh darahnya sudah terhisap habis dari wajahnya.
Imam sebenarnya adalah salah satu murid berprestasi di kelas bahasa, yang sayangnya sangat lemah matematika. Imam berjalan pelan ke arah papan tulis, menuliskan jawabannya dengan ragu.
Beberapa kali pemuda malang itu menulis dan menghapus lagi tulisannya. Bu Riska menunggu dengan sabar. Beliau masih merasa maklum. Mungkin Imam lupa.
Satu menit..
Dua menit..
Tiga menit..
Waktu berjalan begitu cepat dan kesabaran Bu Riska pun mulai mencapai batasnya.
"Kamu nulis apa sih?" Bu Riska berdiri dari duduknya. Memeriksa apa yang ditulis Imam.
Dahi guru muda itu berkerut tak suka melihat jawaban Imam, "Kamu itu ngerti nggak sih apa yang ibu ajarin? Masak jawab soal begini aja nggak bisa?"
Imam hanya tertunduk takut. Bu Riska terkenal sebagai guru killer yang menyebalkan. Ya, parasnya memang ayu, tapi kalau sudah mengajar, ah sudahlah..
"Kamu masak kalah sih dari siswa pindahan di kelas IPA 1. Padahal dia itu anak nakal loh. Tapi dia lebih pintar dari kamu." salah satu penyakit Bu Riska adalah dia sangat suka membanding-bandingkan muridnya. Hal yang sebenarnya sangat dibenci para murid.
SRAKK
Suara nyaring dari belakang kelas menyita perhatian seisi kelas. Semuanya menatap ke arah Aqilla—sipelaku— yang baru saja berdiri dari kursinya.
"Maaf bu, saya mau ke toilet." Aqilla berjalan keluar bahkan tanpa menunggu jawaban dari Bu RIska. Semua orang dalam kelas itu menatapnya bingung, termasuk Bu Riska.
Anna yang duduk di belakang bangku Aqilla hanya memasang wajah yang seolah berkata, 'Mulai lagi tuh.'
Aqilla berjalan dengan kesal, tanpa tahu arah tujuan. Sebenarnya dia keluar bukan karena ingin ke toilet, tetapi karena malas mendengar nama Fariel dipuji-puji oleh guru yang terkenal killer.
Aqilla berjalan melewati koridor secara acak. Sampai dia tiba di koridor depan aula olahraga yang memang saat itu sedang sepi. Aqilla mendengar suara seorang perempuan, tapi tak bisa mendengarnya dengan jelas.
Karena merasa penasaran, Aqilla mencoba mendekati sumber suara itu. Dia berjalan dengan tenang, bahkan sepatunya pun tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Aqilla mengintip dari sudut aula olahraga, mencari tahu apa yang terjadi di sisi lain aula itu.
UHUKK
Aqilla tersedak ludahnya sendiri saat melihat apa yang sedang terjadi di sana. Dia membelalakkan mata tak percaya. Sementara itu, orang yang kini diperhatikannya menatap curiga ke arah tempat Aqilla bersembunyi.
Dengan sigap, gadis itu menarik tubuhnya kembali agar tak terlihat.
~~~
Hate is stronger than love
That's make you think about him every time
KAMU SEDANG MEMBACA
Life: Yours Vs Mine
Teen Fiction"I am a hard person to love. But when I love, I love really hard." - Alfariel Adhyastha Anindito Aqilla memandang Fariel sebagai sosok yang begitu dia benci. Nakal, merokok, pembuat onar, dan banyak lainnya. Menurut Aqilla, Fariel adalah manusia...