Chapter 7. Fried Rice

2.4K 218 4
                                    

"Aqilla, lo ada kerjaan atau acara nggak abis ini?" tanya seorang pemuda pada gadis yang tengah sibuk mengetik di laptopnya.

"Ada, gue mau jaga warnet. Kenapa?" jawab gadis itu tanpa menoleh.

"Nggak kok, cuma nanya doang." kata pemuda itu lagi sambil tersenyum manis. Namun Aqilla, gadis yang sedang mengobrol dengannya, sama sekali tidak melirik ke arahnya.

"Yaudah, gue duluan ya." lagi, pemuda itu mencoba menarik perhatian Aqilla dan kembali gagal.

"Hm." jawab Aqilla singkat, jelas, dan padat.

Agung, teman Aqilla yang sedari tadi memperhatikan obrolan antara Aqilla dan David, menyikut Aqilla kuat. "Apaan sih?" Aqilla yang merasa terganggu menatap Agung dengan tatapan kesal.

"Lo yang apaan. David tu lagi nyoba ngedeketin lo, kok lo nya malah gitu sih ke dia? Jahat banget!" Agung mengoceh memarahi Aqilla.

"Denger ya Gung, gue nggak punya waktu buat maen cinta cinta-an. Dan gue juga nggak mau dianggap sebagai pemberi harapan palsu, makanya gue bersikap dingin sama David." jelas Aqilla sambil terus mengetik di laptopnya.

"Emang nggak bisa ya lo hargain dia kek. Kan kasihan, tiap hari dia coba bersikap baik sama lo. Lo tau, sikap lo itu juga bisa bikin dia sakit!" Agung meninggikan suaranya satu oktaf, tanda kalau ia sudah benar-benar marah.

"Nggak bisa ya lo coba untuk hargain perasaan orang lain. Lo itu selalu begini. Gue tahu lo itu cantik, tapi ya lo jg nggak boleh bersikap gitu dong Aqilla." lanjut Agung. Dia terlihat sudah sangat kesal pada Aqilla.

Bagaimana tidak, selama ini Aqilla selalu bersikap dingin terhadap semua anak laki-laki yang mencoba mendekatinya.

Aqilla menghela napas pelan. "Bukan itu maksud gue. Lo kan tau sendiri Gung, gue harus fokus sama sekolah gue. Gue juga harus kerja. Gue harus cari uang sendiri buat biaya hidup dan sekolah. Nggak mungkin gue ngerepotin Bi Sarah terus. Gue juga pengen kayak gitu, gue pengen punya kehidupan yang menyenangkan, punya pacar yang sayang sama gue dan perhatian sama gue, tapi lo tahu sendiri. Gue nggak bisa, kondisi gue nggak memungkinkan." jelas Aqilla dengan tatapan sedih.

Agung terdiam mendengar penjelasan Aqilla. Dia tahu bagaimana kehidupan Aqilla. Agung tidak tahu apa alasannya. Saat ditanya kenapa dia harus bekerja dan mencukupi sekolahnya sendiri, Aqilla selalu saja mengganti topik pembicaraan.

Saat Agung menanyakan soal keluarga, Aqilla juga selalu menghindar. Yang Agung tahu Aqilla tinggal dengan bibi dan neneknya. Hanya itu saja.

"Iya, gue tahu. Gue minta maaf." Agung menatap Aqilla menyesal.

"Hm, nggak masalah."

***

"Baiklah anak-anak, bapak akan bagikan hasil ujian minggu lalu." kata Pak Ici, guru bahasa prancis yang terkenal kejam.

"Aqilla. Kau mendapat nilai sempurna lagi." Pak Ici memuji Aqilla dengan nada bangga sambil menunjukkan lembar ujian Aqilla di depan kelas.

Aqilla berdiri untuk mengambil lembar ujiannya. Dia tersenyum menanggapi pujian guru killer itu. Sementara siswa lain menatapnya dengan tatapan kagum.

"Terima kasih pak." Aqilla membungkuk sejenak, lalu mengambil kertas jawaban miliknya.

"Ya, kerja bagus." Pak Ici lalu melanjutkan pembagian kertas ujian tanpa komentar apapun. Setelah selesai beliau langsung meninggalkan kelas.

Seisi kelas langsung ribut, ada yang membahas hasil ujian, ada juga yang sibuk menggunjing siswa lain yang mendapat nilai lebih besar dari mereka. Ada juga yang tersenyum sok kuat sambil menatap nilai ujiannya.

Aqilla berdiri dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi. Dia sudah memasukkan seluruh barangnya ke dalam tas karena jam istirahat baru saja dimulai.

Aqilla bergegas keluar, sudah sejak tadi dia menahan lapar. "Anna, Maya, buruan njay. Gue hampir mati kelaparanan." Aqilla berlari menuju pintu depan. Matanya tetap tertuju pada dua sahabatnya.

Dia sama sekali tak menyadari, ada seseorang yang tengah berdiri di pintu. Sehingga saat Aqilla menyadari, semua itu sudah terlambat. Dia menabrak orang itu cukup keras. Tangan orang itu cukup sigap menangkap tubuh Aqilla.

Aqilla mengangkat kepalanya, "Fariel?" tatapan bingung penuh tanya dia lemparkan pada pemuda itu.

"Kayaknya lo udah sehat." Fariel menyentuh perban di kepala Aqilla perlahan.

"Ah ya, udah kok," jawab Aqilla sekenanya.

"Bagus deh, ayo." Fariel menarik tangan Aqilla dan membawa gadis itu bersamanya.

"Kemana? Ngapain?" Aqilla masih begitu bingung untuk mengatakan penolakan. Melihat Fariel saat ini saja sudah cukup untuk membuatnya bertanya-tanya

"Kantin, lo lapar kan?" Fariel terus menggandeng tangan Aqilla sampai mereka tiba di kantin.

"Duduk," perintah Fariel.

Aqilla hanya mengikutinya dalam diam. Dia benar-benar tak habis pikir, apa sih mau anak itu?

Fariel menghilang sejenak di tengah kerumunan siswa yang tengah memesan makanan. Lalu sekitar lima menit kemudian dia muncul kembali dengan membawa sepiring nasi goring telur dan segelas susu hangat.

Banyak siswi yang menatapnya kagum. Namun Fariel hanya memasang wajah acuh.

Fariel meletakkan nasi goring dan susu itu di depan Aqilla. "Makan," perintahnya lagi.

Aqilla bisa melihat dengan jelas, Fariel sedang tak terlihat ingin di bantah. Tapi harga diri Aqilla terlalu tinggi untuk langsung memakan makanan itu. "Kenapa gue harus makan?" pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut Aqilla.

"Karena lo lapar." Fariel memberi jawaban logis yang sebenarnya Aqilla juga sudah tahu.

"Makan aja, anggap aja permintaan maaf gue karna itu," ujar Fariel sambil menunjuk kepala Aqilla yang masih diperban.

Aqilla menatap makanan itu. Alasan Fariel masuk akal,terlebih lagi dia memang sedang lapar. Akhirnya Aqilla memakan makanan itu juga. Dia memakannya dengan lahap.

Fariel hanya memperhatikan Aqilla dalam diam. Dia sama sekali tak peduli sekalipun sedang menatap seorang gadis terang-terangan.

"Apaan sih? Ada yang aneh?" Aqilla mulai merasa risih.

Fariel tidak menjawab, tangannya bergerak dan menyentuh sudut bibir Aqilla. "Ada bekas susu," katanya.

Sementara Aqilla menatapnya tak percaya. "Gu-gue bisa sendiri kok," jawabnya gugup.

"Oh ya?" Fariel menatap Aqilla sambil tersenyum, semakin menambah ketidaknyamanan bagi gadis itu.

Aqilla menundukkan kepalanya, pipinya memerah. "Gue baru tahu, ternyata lo itu pemalu ya." Fariel terus menatap Aqilla.

"Apaan sih, lo resek ah." Aqilla melempar tomat ke arah Fariel dan dihindari dengan mudah oleh Fariel.

Fariel menggenggam tangan Aqilla yang kembali mencoba melemparkan tomat. Dia lalu mendekat dan memakan tomat itu. "Abisin makanannya," ujarnya kemudian.

Aqilla terdiam sejenak, kenapa manusia ini begitu santai?

"Lo tau nggak? Gara-gara lo gue bisa dimusuhin satu sekolahan." Aqilla tersenyum sinis ke Fariel. Dia menyadari tatapan iri siswi-siswi di kantin itu.

"Nggak akan ada yang ganggu lo. Gue sendiri yang akan ngasih mereka pelajaran kalo mereka berani ganggu lo." Fariel mengatakannya dengan tenang, tapi sama sekali tidak ada nada bercandanya.

Aqilla menatapnya penuh tanya, "Serah lo dah."  

~~~

Don't be too nice

Life: Yours Vs MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang