02 • Kesel

524 96 66
                                    

"The season of love is the carnival of egoism and it brings a touchstone to our natures."

-George Meredith

Bell pertanda pulang akhirnya berdering, bell yang selalu dinantikan oleh para siswa. Karena secara otomatis, proses belajar mengajar akan terhenti.

Athala berjalan dengan santai menuju gerbang sekolah. Tangan kananya menggengam ponsel. Sementara tangan kirinya tak menggengam apapun.

Pandanganya fokus menatap ke depan gerbang--ada Alden dan Roland disana. Spontan langkah Athala terhenti, ia berbalik badan dan merasa gemetaran.

"Kok tiba-tiba gue ngerasa susah buat lewat di depan mereka sih?" Athala bergeming.

'Thal!" teriak Roland.

"MATI GUE!"

Dengan perasaan getir, Athala berjalan cepat--hampir menyerupai lari, tanpa tujuan. Yang diinginkannya sekarang adalah menghindari Alden dan Roland. Dia tidak mau bertatap muka dengan kedua cowok itu, walaupun ia sadar selama ia bersekolah disini akan terus bertemu dengan mereka.

"Kejar Al!" tegas Roland.

"Kenapa nggak lo sendiri yang ngejar dia?" Alden bertanya cetus.

"Gak usah banyak tanya deh. Lo pilih gue laporin ke Bu Vana tentang lo kasar sama Athala tadi dibangku atau lo kejar dia sekarang?"

Alden mendengus pasrah.

"Makin rumit yang ada, kalo udah main lapor-laporan guru."

Tanpa pamit, Alden bergegas meninggalkan Roland--mengejar Athala.

"Kenapa perut gue tiba-tiba sakit gini ya?" Athala mengeluh, menempelkan telapak tangan pada perutnya dan menghentikan langkahnya.

Untung saja Alden berlari cepat, sehingga dengan gampang nya menyusul Athala.

"Kenapa lo lari?"

Dada Athala semakin berdebuk saat menyadari kehadiran Alden yang tiba-tiba ada di hadapanya.

"Capek?" Alden bertanya. "Gimana gak capek, lo lagi PMS gitu malah lari-larian."

Deg.

"Nih," Alden memberi jaket Biru nya untuk Athala. "Lo tutupin rok lo pakai ini. Bocor tuh. Bikin lo malu sendiri entar."

Dengan getir, Athala menerima jaket Biru milik Alden. Sementara Alden segera pergi meninggalkan Athala.

"MALU-MALUIN LO THAL!" Athala bergeming keras. "KENAPA MESTI BOCOR SEKARANG SIH?"

• • •



"Ayah mau bicara sama kamu."

Athala yang baru saja ingin menginjak anak tangga menghentikan langkahnya. Dia mendengus kesal seraya melangkah menuju tempat sang Ayah duduk sambil membaca koran.

"Nanti malam dandan yang cantik, kita akan dinner sama Tante Omega," Marko berucap to the point saat Athala berdiri di sampingnya.

Mendengar ucapan Marko, Athala merasa kesal. Dengan geram ia meninggalkan Marko dan juga tanpa pamit. Secepat mungkin Athala menginjak anak-anak tangga yang akan membawanya ke lantai dua--tempat kamarnya terletak.

Athala masuk ke kamarnya masih dengan rasa kesal yang sangat luar biasa. Pintu kamar yang tadinya terbuka kini sudah tertutup rapat walaupun terdengar sedikit hempasan saat Athala menutup pintu itu. Athala menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang yang empuk--tanpa harus melepas sepatu dan mengganti baju.

"Tante Omega lagi, Tante Omega lagi!" ungkap Athala sebal.

Yang tadinya merasa geram bercampur kesal, mood Athala berubah menjadi sedih. Cewek itu bangun dari ranjang dan menyadarkan panggung nya pada permukaan ranjang. Kepalanya berdembunyi di sela-sela tengkukan lutut, sementara kedua tangannya memeluk erat kakinya.

"Bunda apa kabar ya?" Athala bergeming. "Udah lama nggak jengukin Bunda, jadi kangen."

Ketenanganan seperti inilah yang Athala inginkan sekarang, tanpa seorang penggangu suasana.

• • •

Mobil milik Marko berhenti tepat di depan sebuah restoran ternama. Restoran mewah yang terkenal akan nikmat nya masakan para chef sekaligus tempat dinner paling berkesan. Tak jarang bila kebanyakan pasangan memilih untuk dinner di restoran ini.

Lelaki dengan kemeja putih berdasi biru serta jas hitam dan mengenakan sepatu pantofel melintas dengan gaya yang terkesan cool, di tengah-tengah pengunjung lain, bersama seorang gadis cantik.

Sementara gadis yang ikut melintas bersamanya terkesan sedikit tak menarik untuk dipandangi, hanya karena raut wajah nya yang cemberut sedari tadi. Gadis itu mengenakan gaun biru dongker selutut, rambut hitam nya sengaja terurai hingga mencapai siku tangan nya.

"Meja atas nama Nona Omega?" tanya Marko pada salah satu pelayan yang menyambutnya.

"Baik Tuan, mari ikuti saya," jawab pelayan itu dengan ramah.

Marko mengangguk, lalu bersama gadisnya dia melangkah kembali--mengikuti langkah sang pelayan yang akan membawanya menuju meja Nona Omega.

"Silakan, Tuan."

"Terima kasih," jawab Marko.

Pelayan pergi. Marko duduk di samping Omega. Sementara Athala duduk berhadapan dengan Omega.

"Mungkin kursi kosong disamping Athala akan nyaman dilihat kalau bayi ku sudah lahir," kalimat pertama yang Omega lontarkan pada Marko dan Athala.

Mendengar itu, spontan Athala jadi geram. "Sudah mencapai mimpi level berapa, Tante?"

"Athala!" tegur keras dari Marko. "Apa-apaan kamu?"

"Athala kan cuman nanya, mimpi nya Tante Omega udah sampai level berapa?" Athala menjawab dengan santai. "Soalnya kesihan Tante Omega nya kalau udah dilevel paling tinggi, takutnya jatoh. Kan sakit tuh,"

"Kamu ini bicara apa sih Athala?!" Marko jadi geram. Sementara Omega nampak terlihat ekspresi kesalnya terhadap Athala--yang berusaha ia tutupi.

"Udah tau Tante Omega mandul, masih aja mau dilamar," Athala berkata pelan, namun terdengar sangat menyakitkan bagi Omega.

"ATHALA!" spontan Marko berdiri dan memukul keras meja makan itu.

Reaksi Marko membuat Athala juga ikut berdiri. Tanpa pamit, Athala beranjak pergi meninggalkan Marko dan Omega. Tak peduli berkali-kali Marko memanggilnya. Tak peduli jika pengunjung restoran memperhatikannya. Yang Athala inginkan sekarang hanyalah ketenangan.

• • •


gimana gimana? gue semakin ngerasa risih sama cerita ini kalau kalian ga ninggalin jejak. yahh wajar kan kalau gue pesimis? please tinggalin jejak ya ae (:

C L O S E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang