12 • Ephemeral

250 50 5
                                    

"Sesuatu yang terlalu digenggam erat hanya akan membuatmu merasakan kehilangan. Karenanya cintai dia sekadarnya saja."

-Tere Liye, a author.

Pagi ini, seluruh murid kelas XII IPA 4 berkumpul di lapangan lengkap dengan seragam olahraga. Semuanya tengah melakukan pemanasan sebelum benar-benar melakukan aktivitas pembelajaran pada materi olahraga. Matahari pagi ini cukup terik, membuat mata menyipit karena silau. Semua murid termasuk guru pembimbing olahraga kepanasan, bahkan buliran keringat mulai muncul di permukaan wajah mereka.

"Panas banget sih!" Claryn mengusap wajahnya yang sudah memerah akibat kepanasan.

"Sumpah deh, mestinya gue bawa kipas tangan! Ini panas banget asli, kenapa sih olahraga nya nggak ditempat yang ademan dikit aja?" seperti biasa, Helena ngomel-ngomel kalau dirinya merasa tidak nyaman dengan kondisi dan keadaan sekitar. Ia berdecak sebal dan cemberut saat jam pelajaran olahraga berlangsung. Bila dilihat, tampangnya sungguh menyebalkan.

"Pak, cari tempat yang ademan lah, disini panas banget! Bapak nggak kesihan apa, sama murid-murid bapak yang pada kepanasan?" Helena mengeluh pada guru mata pelajaran.

Pak Edy mengarahkan pandangannya pada Helena dan mendengus pelan. "Sinar matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan."

"Tapikan panas banget Pak, gerah banget sumpah!" Helena terus ngomel dan ngoceh pada guru yang usianya sudah mencapai kepala empat.

Kesal mendengar ocehan Helena, John—selaku ketua kelas XII-IPA 4—angkat bicara. "Hel, bisa nggak sih stop buat ngomel? Lo kira cuman lo doang yang kepanasan? Kita semua juga kepanasan kali!"

"Iya nih," murid lainnya menyahut.

"Gue alergi panas-panasan, lo tau? Kulit gue bakalan merah-merah kalo kepanasan. Ntar pasti juga bakalan gatel banget rasanya!" Helena melotot kearah Ferro.

"Apaan sih!" selak Alden. Entah sejak kapan cowok sangar nan ganteng itu tiba di dekat sekumpulan anak-anak kelas XII-IPA 4 yang sedang melakukan pemanasan. Secara spontan, seluruh siswa beserta Pak Edy mendongkak ke arah Alden dan Roland.

"Kalo nggak mau ngikutin peraturan sekolah, mending lo nggak usah sekolah disini! Cari sana, sekolah yang mau nurutin kemauan lo! Lagian, tanpa lo harus sekolah disini pun rasanya tetap enak aja. Justru kalo lo sekolah disini, hawa nya panas banget! Ibaratkan lo itu jelmaan iblis yang berwujud manusia! Dan lo fikir, gaya lo yang full make up gitu lo anggep cantik? Yang ada bahenol kali! Percis kaya emak-emak yang udah bersuami! Mending lo belajar nerima keadaan, karena nggak semua yang lo mau bakalan tercapai. Kalo lo maksa tercapai, itu sama aja lo egois! Tampangnya sih emang udah keliatan lo itu kaya anak mami yang—"

"Al, udah!" Roland menarik tubuh Alden agar menjauh dari Helena, bermaksud agar Alden berhenti memberi komentar-komentar pedas yang dapat melukai hati Helena.

Mata Helena jelas memerah dan berkaa-kaca setelah mendengar hardikan sadis dari Alden. Kedua tangannya mengepal kuat. Ia menatap Alden dengan tatapan tajam, merasa bila dirinya ingin menabok Alden habis-habisan. Sementara itu, murid-murid lainnya yang menyaksikan langsung kejadian itu hanya terdiam. Tidak ada perwakilan dari mereka yang berani angkat bicara, termasuk Pak Edy pun ikut bergeming.

"Asal lo tau, gue paling benci banget dikasih nasihat yang menurut gue sama sekali nggak berfaedah kaya gitu!" Helena teriak. Dirinya tak kuasa menahan tangis hingga air matanya mengalir turun ke wajah.

Roland melirik Alden dan menyikut lengannya. "Tuh Al, karena ulah lo, anak orang jadi nangis."

Tangis Helena semakin pecah karena Alden tak menghiraukannya. "Apa sih salah gue sama lo, Al? Sampai-sampai lo kaya benci banget sama gue?"

C L O S E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang