"Disaat penyesalan itu datang, satu-satunya hal yang mesti lo lakuin adalah belajar dari penyesalan itu. Bukan malah berenang di dalamnya."
-Nicho Alvaro, friend of Alden.
Gerimis di pagi hari adalah satu dari sekian banyak hal yang dinanti oleh Alden.. Karena menurutnya, kemacetan dijalan akan sedikit berkurang. Di dalam mobil hitam besar itu, ia tengah mengemudi dengan tenang—tanpa ada suara sedikit pun yang terdengar, baik melalu radio maupun MP3. Ia sungguh sedang mengemudi mobilnya dengan santai, tanpa perlu takut atau khawatir, karena jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukan pukul delapan lewat sembilan menit.
Saat cuaca seperti ini, masih sempat terlihat beberapa orang tengah berlalu lalang di trotoar—sambil membawa payung mereka masing-masing. Ada pula yang mengemudi motornya dengan menggunakan jas hujan, bahkan yang berdiam diri di halte pun ada.
Tepat saat waktu berubah dengan menunjukan pukul delapan lewat tiga puluh menit, ia turun dari mobilnya—sedikit berlari menuju lobi sekolah, setelah memarkirkan mobilnya di parkiran. Untungnya hujan sudah sedikit reda, sehingga seragam sekolahnya tidak terlalu basah.
Masih dengan santainya, Alden melangkah menuju kelas. Sudah seperti yang ia duga, sebelum meninggalkan lobi, kehadirannya akan disambut oleh sosok wanita bertubuh bulat dengan rambut yang disanggul tinggi memelotot ke arahnya.
"Kamu! Telat lagi?!" sosok wanita itu menghalangi jalannya. Suara nya yang terdengar menggema di lobi sempat membuat Alden terkejut seketika, lalu mengehentikan langkahnya.
"Sudah berapa kali saya tegaskan, jangan membolos lagi! Belum puas sa—"
"Saya ketiduran. Jangan su'uzzan dulu."
Seketika, wanita itu semakin memelotot ke arah Alden—begitu menyadari perkataanya lebih dulu terpotong oleh perkataan Alden. "Saya belum selesai bicara sudah berani dipotong! Mau sa—"
"Hukuman kali ini apa?" lagi-lagi, Alden memotong perkataan wanita itu. "Dari pada marah-marah terus, ntar cepet tua. Udah tua, malah makin tua lagi."
"KAMU?!" merasa emosinya sulit dikendalikan, wajah wanita itu memerah—hampir menyerupai kepiting rebus. "JANGAN MASUK KELAS SAMPAI JAM PULANG SEKOLAH, NANTI!"
"Siap bos!" refleks, Alden mengangkat tangannya lalu hormat kepada wanita itu. Bagaimana tidak, hukuman dari guru piket itu kali ini betul-betul membuatnya merdeka. Dia tidak akan pusing mencari alasan karena tidak masuk kelas, apalagi saat dirinya terlambat datang ke sekolah. Karna hal itu, senyum Alden yang selalu dinanti cewek-cewek yang mengidolakannya pun mengembang. "Ya sudah Bu, saya pamit mau pergi. Terima kasih Bu, atas hukumannya kali ini."
Tanpa aba-aba, Alden melenggos pergi—meninggalkan sang guru piket yang benar-benar semakin memelotot ke arahnya—tangannya mengepal, napasnya naik turun—seperti orang yang kelelehan setelah berlari. "Mentang-mentang anak pemilik yayasan, berlaku seenaknya saja!"
Mendengar cibiran itu, Alden hanya memutar bola matanya sebal. Ia terus melangkah—menelusuri korindor kelas, tak memperdulikan kata-kata yang menyinggungnya. Bagi Alden; keterlambatannya datang ke sekolah sama sekali tidak ada hubungannya dengan statusnya sebagai anak dari pemilik yayasan sekolah.
Jangan tanyakan kenapa cowok itu berani bersikap seperti tadi kepada guru, justru sikapnya yang seperti itu sudah menjadi sarapan yang dikonsumsi nya saat pagi hari. Bahkan setiap hari.
"Alden!" merasa namanya terpanggil, Alden segera menoleh ke arah sumber suara—ada Roland dan Nicho di lapangan basket.
Cowok itu mengalihkan jalannya, menuju lapangan basket untuk menemui kedua temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
C L O S E R
Teen FictionAlden Denalfo, cowok yang suka ngomong pedas ibarat cabai. Omongan Alden susah untuk dikondisikan. Untungnya cerdas dan masuk dalam kategori 10 Cogan Top versi SMA Model. Secara otomatis tingkat kepopulerannya bertambah. Tapi Alden juga punya kelem...