10 • Peduli?

424 63 17
                                    

"If it's love, stop judging her past. Better to stand beside him, help him beautify his future."

-Cantika Syahputri, author of Closer.

Miranda dan Alden menatap gundukan tanah dengan senyum kecil. Alden tidak menangis seperti Tante nya. Tidak pula terisak seperti saudara-saudara Papa nya. Bahkan tidak juga pingsan seperti Nenek nya.

Alden dan Miranda benar-benar tak bersuara saat proses pemakaman selesai. Padahal hati mereka sama-sama terpukul. Beberapa pelayat sudah pulang, hingga tersisa dirinya dan sang Mama saja yang masih betah berjongkok di sana.

Alden mendongkak ke arah sang Mama. "Mama kenapa nggak nangis?" tanya Alden ragu.

Mendengar itu, Miranda menatap anak semata wayangnya dengan tersenyum. "Alden sendiri kenapa nggak nangis?"

Alden menggeleng pelan lalu kembali menatap gundukan tanah yang ditaburi oleh bunga-bunga. "Nggak tau, aku nggak bisa nangis rasanya."

"Kamu tau, apa yang membuat kamu nggak bisa nangis?"

Lagi, Alden menggeleng dan menatap wajah sang Mama.

"Itu karena kenangan, Nak. Kenangan lah yang menahan mu untuk tidak meneteskan air mata. Karena kamu, pasti masih mengingat secara detail kenangan saat kamu bersama Papa."

Mendengar jawaban Miranda, Alden hanya diam mematung menatap wajah sang Mama. Lalu sekitar lima detik kemudian, Alden menggengam tangan sang Mama dan mulai angkat bicara. "Aku janji. Aku bakalan selalu jagain Mama dan ada buat Mama. Karena, yang aku punya sekarang cuman Mama."

Miranda mengukir senyuman di wajahnya. Ia tersenyum setelah mendengar pernyataan Alden, lalu memusut perlahan tangan Alden.

"Terima kasih, Sayang," ungkap Miranda.

"Lo kenapa?."

Spontan Alden mendongkak kearah Athala yang entah sejak kapan ada di hadapannya-berdiri dengan mengenggam plastik berisi obat-obatan yang harus ia minum.

Alden berdiri dari duduknya lalu berhadapan dengan Athala. "Gak papa."

Athala memandangi Alden secara detail-mencoba menebak apa yang membuat Alden tiba-tiba jadi murung. "Thanks, udah bawa gue ke dokter."

Alden menggubris pernyataan Athala dengan sebuah anggukan kecil. Sorot matanya masih menatap dalam bola mata cokelat milik Athala.

"Lo gak ada niat mau-"

"Nggak," selak Alden.

"Oh," Athala berdeham. "Ya udah."

Tanpa pamit, Athala pergi meninggalkan Alden-melangkah dengan tenang-menelusuri lorong rumah sakit yang akan membawanya menuju lobi.

"Tunggu!" panggilan Alden sukses bikin langkah Athala terhenti.

Alden mendahului tubuh Athala dan berbalik badan dengan tujuan menatap kembali wajah cewek itu, agar dapat berbicara dengannya. "Lo mau kemana?"

"Pulang."

Alis Alden menyerngit. "Naik apa?"

"Ojek. Emang kenapa?"

"Emangnya lo bawa uang?"

Athala mendengus. "Gue akan suruh tukang ojek nya tunggu bentar di depan rumah gue, biar gue ambil uang dulu ke dalam."

"Lo pulang bareng gue aja," saran Alden. "Gue yang bawa lo kesini, dan harus gue juga yang ngantar lo pulang."

"Gak ada juga kan Undang-Undang yang menjelaskan kalau cowok yang jemput cewek dan harus cowok itu juga yang ngantar cewek nya pulang?" selak Athala. "Lagian kan lo sendiri yang bilang, nggak, tadi."

C L O S E RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang