Namaku Fransiskus Silitonga. Ketika aku mulai menulis ini aku sedang berada dalam perjuanganku untuk meraih gelar sarjana di Universitas Sumatera Utara. Ya memang aku bisa dibilang orang tak tahu diri. Udah lama tamat, ngerjain yang ga penting. Tapi, bagiku tak masalah berapa lama kita menghabiskan hidup untuk kuliah, yang paling penting adalah kita menyenangi apa yang sedang kita kerjakan. Misalnya aku yang menjalani 10 semester di kampusku yang tercinta (jijik), dan mungkin akan menambah satu semester lagi ke depan. Aku tetap senang karena aku telah menjalani banyak sisi kehidupan ini (jijik) (sok bijak).
Aku berasal dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan. Tak kaya tapi berkekurangan. Kedua orang tuaku masihlah lengkap. Aku selalu bersyukur dengan hal ini. Aku anak kedua dari 4 bersaudara. Kakakku si Hartati telah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di Riau. Dan kini beban orangtuaku hanya aku dan kedua adikku Beni dan Johanes.
Kedua orangtuaku bukanlah pegawai, tapi sanggup menyekolahkan kami hingga sekarang. Itu semua karena mamakku, sebutan ibu kalau di Medan, punya bisnis cateringan sendiri. Ya meskipun tak besar besar amat sudah cukuplah untuk membuat kami tetap sekolah. Sedangkan bapakku ini tak bekerja lagi setelah bisnis cateringan mamakku berkembang. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya ke kedai atau biasa kami sebut lapo. Dulunya dia adalah seorang tukang servis elektronik. Tapi seiring bertambahnya kerutan di wajahnya, mungkin dia merasa perlu untuk mempensiunkan dirinya walaupun dia bukan pegawai. Sungguh seorang bapak yang durhaka karena lebih sering bersantai daripada mencari nafkah. Dan aku sungguh anak yang durhaka karena ngata ngatain bapak sendiri.
Dan mamakku ini bertolak belakang dengan bapakku. Semua dikerjakan mamakku asal menghasilkan uang. Dan akhirnya bisnis cateringan yang dirintisnya sejak tahun 2004 bisa memberi makan kami sekeluarga. Mamakku ini adalah orang yang sangat cerewet. Sehari harinya dia memulai sifat cerewetnya ini sejak jam 5.30 pagi. Dan mamakku ini hebat. Dia sanggup mengubah suasana rumah yang asri dan damai dalam sekejap menjadi kamp pelatihan militer pada pagi hari. Suara pompa air yang menjerit, sendok goreng yang beradu dengan kuali, suara televisi yang mencapai volume yang maksimal selalu menjadi penghalang bagiku untuk menyelesaikan mimpiku. Padahal aku butuh mimpi. Mimpi yang akan kupakai nanti...untuk memasang nomor togel.
Jadi, tinggallah kami berlima di dalam kamp pelatihan militer, eh maksudku rumah itu.
Aku terbiasa dipanggil di rumah dengan panggilan "Rio". Itu karena nama tengahku Romario. Tapi ketika di luar rumah, teman temanku memanggilku dengan banyak nama. Kadang Frans (terlalu keren), kadang Mario (padahal aku ga botak dan aku bukan motivator) dan kadang Cikus. Tapi aku sangat senang dipanggil Cikus. Memang panggilan itu tak punya arti. Tapi, aku ingat betul dengan orang yang pertama kali memanggilku Cikus. Dia menjadi istimewa karena dia cinta sejatiku, yang selalu kuingat sampai sekarang.
Taruli, aku tak tau seberapa jauh aku melangkah, ke semua sudut kota yang pernah aku singgah, namanya selalu saja ada. Memang mencintainya penuh luka, tapi bukan kah cinta yang sebenar benarnya adalah cinta yang menyembuhkan? Bukankah cinta yang sebenar benarnya mengajarkan kita untuk bertahan? Dan bukankah cinta yang sebenar benarnya itu keadaan di mana logika dikalahkan?
Cinta itu kadang bagaikan sepasang jepit rambut. Dia akan indah pada orang yang tepat, meskipun diterpa angin dia tetap akan melekat dengan kuat. Namun waktu yang membuat dia terhempas lalu akhirnya berkarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jepit Rambut
RomanceAwalnya kami bertemu pada suatu titik, titik itu menjadi ruang. Ruang yang hanya kami berdua di dalamnya. Awalnya...