(Apa) Lebih Baik (?)

84 0 0
                                    

"Aku ga pernah punya maksud yang kayak gitu kus. Aku cuma pengen nilai tugasmu aman"

"Aku ga perlu dibantu Tar. AKU TAK BUTUH BELAS KASIHAN", kataku mempertegas.

Dia menangis lalu meninggalkanku. Aku tak bergeming dan tak peduli. Aku bosan sekolah dan memutuskan untuk bolos sekolah. Aku mengambil tasku lalu cabut. Tapi ketika di gerbang  aku melihat sesosok bapak bapak dengan tampang seram mendatangiku. 

"Kau yang namanya Fransiskus ya?", tanya bapak itu.

"Iya pak.Ada apa ya?", jawabku dengan agak takut.

"Kau ga kenal aku siapa heh? Aku bapaknya Taruli, preman se-Padang Bulan. Kok kau buat  anakku nangis? Mau kubelah perut kau itu" , kata bapak itu mengancamku.

Aku melihat ada sebilah samurai di tangannya. Mati aku. Tapi aku heran, kenapa bapaknya begitu cepat tahu kalau anaknya baru 20 menit yang lalu aku buat menangis? Tanpa basa basi lagi bapak bapak itu mengayunkan samurainya ke arahku. Mungkin inilah akhirku. Aku pasrah lalu menutup mata. Dan..

Kringg...kringg....

Kringg...Kring...

Aku membuka mata dan mendapati diriku sudah berada di kamarku. Aihh, ternyata tadi semua hanya mimpi. Untung saja. Perut dan tititku masih sehat walafiat. Aku melihat siapa yang menelponku pagi pagi buta seperti ini. Mamakku menelpon. Aku angkat telponku yang kartu simnya baru dikembalikan oleh Andreas beberapa hari yang lalu, yang berarti Taruli sudah menyerah menghadapiku.

"Halo mak" ,sapaku.

"Halo. Ini mamak, Rio. Udah bangun kalian. Udah makan? Piring udah kalian cuci? Sempak kalian masih ada yang bersih kan?" , tanya mamakku panjang lebar.

Memang sih aku senang jika mamakku menelponku karena aku pun rindu juga. Tapi ya kalau menelponku pagi pagi buta begini dan bertanya beberapa hal sekaligus aku pun jadi malas juga. Suara mamakku melalui telpon dan di hari biasa ga jauh beda. Sama sama setara kenalpot motor 2 tak tingkat kebisingannya.

"Aduh. Jangan semua tanya mak. Pusing." ,jawabku.

"Rio,hari ini mamak pulang.Jemput mamak di Polonia ya"

"Mamak pulang hari ini?"

"Enggak"

"Jadi kapan?"

"10 tahun lagi. Ya hari inilah nengel (budeg)."

"Entah apa mamak ini. Bawa oleh oleh yang banyak ya mak"

"Langsung makanan kau pikirkan. Banguni dulu orang itu. Mamak mau ngomong"

Aku pun langsung membangunkan kedua adikku. Sebenarnya aku tak tega. Karena keadaannya masih jam setengah lima dan aku lihat titit mereka berdua masih berdiri. Mungkin mereka masih mimpi basah. Tapi apa boleh buat. Ngobrol dengan mamak sendiri masih lebih penting ketimbang mimpi basah, hal yang tak jadi jadi kualami. Sedih. Hikss.

Aku memberikan telponku yang masih terhubung itu pada mereka. Aku keluar kamar dan membereskan rumah. Aku punya niat untuk memberitahukan berita ini kepada bapakku. Tapi, aku ragu akan disambut positif oleh bapakku. Jadi ya aku enggan memberitahunya. Tapi aku akantetap  jawab ketika dia tanya.

"Rio, kapan pulang mamakmu itu?" tanya bapakku ketika aku sedang mencuci beras untuk kumasak.

"Hari ini Pak" jawabku.

"Ohh, hari ini ya. Jadi siapa yang jemput?"

"Aku Pak"

"Bah. Jangan kau coba-coba jemput mamak. Habis kau nanti" kata bapakku mengancam.

Jepit RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang