Bertemu Taruli

251 2 1
                                    

  Agustus, 2009  



Masa orientasi SMA masa masa yang tak perlu menurutku waktu itu. Ya, yang benar saja aku harus bawa petai di pinggang dan bawa buku pakai tas goni beras selama 3 hari. Rambut dicukur kandas ditambah badanku yang kurus. Okesip, akulah tuyul yang sepanjang minggu itu meresahkan masyarakat. Tapi aku ikhlas menjalani saat saat getir itu karena pastinya aku tak sendiri. Karena ada sekitar 400 siswa baru yang bernasib sama denganku.

Pola belajarku semasa sekolah di Katolik dulu kubawa sampai masa SMAku ini. Menurutku, makin sering belajar berarti makin dekat dengan cita cita. Wow, sangat luar biasa memang bualan ini. Tapi Mindset ini sedikit banyak berpengaruh dengan tingkat ketampananku selama kelas sepuluh. Aku lebih sering dikenal oleh guru guru karena berani maju ke depan untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Kalau jawabanku benar guru itu menganggapku pintar, dan kalau jawabanku salah pun guru itu tetap menganggap aku ini siswa yang berani menerima tantangan. Sungguh pola pikir yang sangat sangat sangat sangaaaaaaat, culun. Aku sangat suka pelajaran Matematika. Karena aku sangat mengikuti pelajaran ini. Dan aku paling malas kalau sudah masuk pelajaran Biologi .Karena aku harus hapal dan tahu bagaimana bentuk bentuk sel. Selama 3 tahun aku belajar Biologi selama SMA, yang aku tahu hanyalah proses pembuahan dan proses inseminasi. Karena aku sangat rajin mencari cari berbagai macam proses inseminasi itu sendiri. Dan aku paling senang dengan orang orang Jepang yang menunjukkan bagaimana proses  inseminasi yang sangat variatif. Karena kualitas videonya jernih, tak seperti buatan Indonesia yang kualitas videonya jelek dan direkam sembunyi sembunyi. Dan aku heran kenapa aku jadi membahas ini.

Aku tak bisa mengklaim aku ini siswa yang pintar. Aku hanya orang yang suka belajar dengan dasar ingin tahu. Aku terkadang hanya di kelas untuk membaca atau menyelesaikan soal soal yang membutuhkan perhitungan ketika jam istirahat. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang kelasku ini, ya karena biasa aja sih. Isi kelasnya juga yang 63 orang menurutku biasa aja. Kelas kami cukup luas, bahkan lebih luas dari lapangan futsal. Jadi kalaupun ada 63 orang di dalamnya, aku rasa bagian belakang kelas kami masih bisa dipakai untuk bermain bola. Tapi untungnya aku duduk di depan . Ya aku duduk di depan.... di depan guru yang sedang mengajar . Becanda. Aku duduk di meja paling depan. Wilayah yang paling dihindari oleh kebanyakan siswa waktu itu.

Aku duduk semeja dengan Bobi, teman satu SMPku. Bobi ini cowok culun. Rambutnya yang belah tengah, bajunya yang selalu blus dalam dan selalu pakai ikat pinggang kulit model lama  Ya memang maling teriak maling. Tapi jika culun itu sebuah tumor. Mungkin aku hanya tumor jinak, tapi si Bobi ini kurasa bagai tumor yang sudah pada stadium 4 dan harus diangkat. Di sebelah kanan mejaku ada  2 cewek . Nama mereka Jesika dan Olivia. Setelah melihat mereka terpatahkanlah ekspektasiku yang kupendam ketika membaca nama mereka berdua yang cantik di buku absensi. Mereka juga culun, mirip Betty Lafea.  Ya Tuhan, apakah memang takdirku menjadi bagian dari mereka mereka ini. Ya jelas, kita boleh culun, asal kita sombong. Sebuah prinsip yang sesat. Dari barisan meja pertama yang sama dengan mejaku kulihat hanya ada seorang cewek yang membuat pengecualian bahwa semua siswa yang sebaris denganku itu culun. Namanya Taruli. Aku dengar dari pembicaraan teman temanku, dia ini datang dari Malang. Cewek batak keturunan Jawa yang logatnya masih kental dengan medok medok jawa. Sekolah di Medan karena orang tuanya di pindahtugaskan ke Medan. Itulah yang kutahu tentang Taruli ini. Badannya memang proporsional, tak kurus dan tak gemuk. Dan wajahnya biasa saja, ga cantik cantik amat. Cuma dia rapi, itulah yang membuatnya jadi cantik. Tapi aku tak tertarik untuk mengajak dia berkenalan. Dari namanya saja aku sudah tak selera. Tahun 2009 masih saja ada yang bernama Taruli di kota Medan ini. Terlebih mendengar logat Jawanya yang agak asing di telingaku. Ya, aku terbiasa dengan suara mamakku dan kakakku yang melengking dalam keadaan apapun itu. Khas orang Batak.

Penilaian terhadap si Bobi ini mulai berubah setelah aku 2 bulan duduk bersamanya. Dia tak sekaku seperti yang kubayangkan sebelumnya. Mungkin karena dia punya marga Panjaitan, yang masih punya hubungan keluarga dengan margaku, jadi kami cepat akrab. Ah, aku tak mau menjelaskan asal muasal hubungan marga kami. Biarlah itu menjadi dalil yang akan tertanam pada hidup kami kelak (haaassseeeekkkk). Ditambah lagi kedatangan Joni dalam pertemanan kami. Membuat suasana lebih baik lagi. Joni ini tak beda jauh dengan si Bobi. Agak culun, tapi cukup mudah untuk berteman dengannya bagiku.

*****

"Sampai di sini ada pertanyaan?", tanya guru Matematikaku mengakhiri sesi mengajarnya yang hanya 30 menit dengan sebatang rokok surya di tangannya.

"Pak, contoh aljabar bapak yang nomor 3 itu kayaknya keliru pak. Bapak lupa mengubah tanda positifnya."

Aku berharap aku jadi pusat perhatian dan aku adalah aku yang tampan (apaan sih).

"Oh iya bapak salah. Betul kata Fransiskus.".

 Aku bisa caper. Memang udah dari sononya kalau pejantan itu suka cari perhatian. Sekali sekali kan ga apalah caper. Siapa tau dari 63 orang yang ada di stadion, eh di kelas itu ada satu orang yang mulai menyukaiku.

"Bapak tinggal dulu, silahkan mencatat. Nanti bapak kembali untuk periksa catatan kalian."

Mantra seperti inilah yang diinginkan oleh setiap siswa di dunia ini. Kalau guru sudah izin keluar dan berjanji akan datang lagi, percayalah Baginda MahaGuru itu pasti tak akan masuk kelas lagi.

Aku paling malas kalau sudah mencatat. Itulah kenapa aku tak pintar pintar. Aku tak pernah mencatat apapun yang ada di papan tulis. Sudah tau dan ngerti ngapain dicatat. Ini jangan ditiru ya, nanti menyesal kayak aku. Aku lebih suka  mengerjakan sebuah soal rumit yang ada pada buku bacaan. 

Sedang serius aku mencari jalan keluar untuk soal yang sangat rumit itu, tiba tiba ada cewek yang duduk di sebelahku.

"Cikus, ajarin lah sifat komutatif yang itu."

Aku melihat ke sampingku ternyata cewek itu Taruli. Aku hanya diam karena aku masih heran dia datang dari meja yang agak jauh dari mejaku. Kok paksa kali dia minta aku ajarin.

"Ih, sombong ya kamu ga mau ngajarin aku."

"Ah, enggak kok. Cuma heran aja kok paksa kali dari mejamu datang kemari. Ga ngertinya di mana? Mungkin aku bisa jelasin."

Belum lagi aku menjelaskan padanya apa yang aku tahu, mejaku sudah dikelilingi semua orang yang ada di kelas itu.

"Ciye cikus, ciye cikus."

Sorak sorai itu membuat aku agak malu dan menundukkan kepala. Tiba tiba kepalaku dipukuli bertubi tubi dengan tangan tangan temanku. Siapa yang melakukannya? MISTERI. Yang jelas aku baru tahu rasanya jadi stuntman yang berperan menjadi musuhnya Bruce Lee yang terkenal dengan jurus "Seribu Tangan" itu. Hanya ada satu cara supaya tangan tangan laknat ini berhenti. Aku berpura pura pingsan.

Sandiwaraku berhasil menghentikan penyiksaan laknatullah ini. Baru saja aku menikmati ke-GRanku karena ada cewek yang mendatangiku minta diajarin. Tapi teman temanku yang annyyiiing anyyinggg ini tak ikhlas jika  aku menikmatinya terlalu lama. Kelas pun jadi lebih sepi karena guru matematika tadi sudah pasti tak masuk lagi dan mereka takut melihat aku (pura pura) pingsan. Tapi Taruli tak mau beranjak dari sampingku.

"Aduh Cikus, ga apa apakan?"

"Enggak apa kok." jawabku dengan memberatkan suara.

Waktu itu kepalaku rasanya hampir putus. Tapi, jangan pernah keliatan menderita di depan wanita walaupun kepalamu hampir lepas dari sarangnya. Tetaplah bertingkah seolah itu tak apa apa.

"Btw nama aku Taruli. Namamu Fransiskus kan?"

"Oh, Taruli. Enggak apa kok. Udah biasa kok. Kau yang dari Malang itu ya?"

"Iya. Maaf ya gara gara aku jadinya kayak gini."

Sebenarnya aku agak kesal sama ini cewek. Kalo dia ga datang ke mejaku pasti kepalaku ga sakit kayak gini. Tapi yasudahlah, tak baik untuk mengabaikan seorang cewek walaupun cewek itu membawa kesialan pada pertemuan pertamanya dengan kita.

Semenjak kejadian itu, orang orang di kelasku selalu memanggilku "Cikus". Awalnya tak masalah bagiku, nama hanyalah nama. Tapi lama kelamaan aku menjadi sangat nyaman jika dipanggil Cikus. Apalagi ditambah kata "Tampan". Cikus Tampan.

Jepit RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang