Kelas yang Baru

161 2 1
                                    



Waktu itu pembagian kelas XI. Karena sebelum kenaikan kelas aku memilih jurusan IPA maka pastinya di kelas XI IPA. Setiap tahun di sekolah semua siswa kelas XI itu dibagi kelasnya dengan pencantuman nama di pintu ruangan kelas XI hari Jumat sebelum tanggal masuk sekolah. Kelas XI IPA 1 adalah kelas favorit para jawara kelas waktu itu. Aku tak berharap aku masuk kelas itu. Yang penting aku bisa satu kelas dengan Bobi dan Joni. Di mana pun kelas mereka aku yakin aku pasti di sana juga.

Pagi hari kami mencari kelas kami. Kami mencari mulai dari kelas yang paling dekat dengan ruangan guru, kelas XI IPA2. Kami mencari nama masing masing. Mereka terlihat senang ketika mereka menemukan nama mereka berdua ada di pintu kelas itu. Mereka dipastikan tetap bersama. Sedangkan aku, aku masih belum menemukan nama Fransiskus Romario Silitonga yang Ganteng di pintu itu. Oke mungkin tak ada. Aku cari lagi nama Fransiskus Romario Silitonga di pintu itu, tetap juga tak ada. Tapi aku tetap bersikukuh mencari namaku di pintu itu, bahkan sampai kuulang 3x. Tak ada juga. Artinya aku tak lagi sekelas dengan 2 homo sapiens ini. Aku menjadi sedih.

"Mungkin udah memang nasibnya gitu kus. Enggak masalah kalo kita beda kelas."

Aku menganggap kata kata si Bobi ini semata mata supaya hanya ada 2 peran di sana, si Bandar dan si Makelar. Jadi peran si Parasit bisa dihapus. Agak kecewa aku mendengar ini. Aku rasa mereka tak sesedih aku yang tak bisa sekelas dengan mereka. Mereka berdua sudah kuanggap saudaraku sendiri. Baru ini aku merasakan kehilangan yang mendalam. Mereka berdualah dua orang pertama dalam hidupku yang memberi gambaran persahabatan itu seperti apa bentuknya. Suka duk, tawa tangis, senang sedih, tak ada yang tak kulewatkan bersama mereka. Hari hari yang kuhabiskan bersama mereka selalu kuingat bahkan sampai sekarang ketika aku menulis ini. Mereka berdua sangat berarti bagiku. Tapi yasudahlah, namanya juga nasib.

Kami bertiga lanjut mencari namaku di pintu kelas XI IPA1. Aku tak menyangka ternyata ada. Aku agak heran sekeren itu kah aku bisa masuk IPA 1. Aku tak pernah merasa keren, hanya saja selalu merasa tampan. Jadi batinku sedikit terkejut. Ya rasa sedihku agak terobati juga karena pada akhirnya kelas kami bersebelahan.

Di kelas IPA1 itu juga aku lihat ada nama si Andre teman futsalku. Dan aku juga melihat nama Taruli ada di situ. Aku ingat nama dia bukan karena aku menyukainya, tapi aku selalu ingat bencana yang dia bawa waktu itu.

Misi kami selesai. Waktu itu sudah jam 11 siang. Kami melakukan agenda kami seperti biasa. Ke rumahnya Joni. Mumpung masih jam 11 siang, jadi bapaknya Joni belum pulang. Nasi goreng buatan bapaknya Joni yang sangat melegenda itu selalu mengingatkanku....untuk selalu pulang sebelum jam 3 sore.

*****

Hari di mana masuk sekolah pun tiba. Seperti biasa, aku dibangunkan mamakku ala militer. Waktu itu masih jam 5.50, tapi teriakan mamakku selalu membuatku tak bisa menyelesaikan mimpiku. Mungkin inilah alasan satu satunya kenapa aku tak pernah mimpi basah.

Setiap kali sarapan aku tak pernah makan pakai tanganku sendiri. Aku dan 2 adikku selalu disuapin oleh mamakku. Iya aib iya.

"Nah makan, ini makan cepat makan habiskan. Biar cepat kalian pigi."

Mamakku menyuapi kami bertiga dengan cara yang paling efektif. Dia mengepalkan nasi yang ada di baskom sebesar bola tenis. Kadang kadang aku pasrah dengan sedikit berurai air mata. Sebenarnya aku pernah meminta untuk makan sendiri, pakai tangan sendiri. Tetapi dengan alasan waktu, mamakku selalu menolaknya.

Eksploitasi anak dibawah umur berkedok sarapan pun selesai. Aku dan 2 adikku berangkat sekolah dengan siTokek. Aku harus mengantar 2 adikku lebih dahulu. Satu yang masih SD dan satunya yang masih SMP. Masuk akal juga jika mamakku marah marah jika kami bangun di atas jam 6. Karena ujung ujungnya aku yang akan terlambat jika kami bangun kesiangan.

Jepit RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang