Aku Harus(nya) Yakin

118 1 0
                                    



Dan akhirnya aku baru tahu bagaimana rasanya patah hati itu. Ketika itu, seperti biasa aku menjalani hari di sekolah. Aku melakukan kegiatan rutinku setiap pagi dengan mencoba mengganggu Taruli di kelas. Namun ada yang sedikit berbeda, keceriaan yang aku harapkan terpancar dari wajahnya tak keluar. Hari itu dia sangat datar kepadaku. Aku meyakini itu karena aku melihat dia masih tersenyum sambil bercerita dengan teman sebangkunya sebelum aku datang menghampirinya. Aku pun langsung merasa mungkin hari ini aku tak perlu mengganggunya. Aku kembali ke mejaku dan melanjutkan tugas yang harus dikumpulkan hari itu juga. Kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa pagi tu hingga jam istirahat tiba.

Pagi itu aku merasa sangat lapar, karena mamakku absen memberi sarapan kepadaku. Karena jam 4 subuh, mamakku pergi berbelanja di pasar pagi untuk keperluan catering besoknya. Aku pun membeli jajanan lebih banyak dari biasanya. Membeli jajanan lebih banyak dan memakannya di kantin akan sangat beresiko tidak aman. Karena di kantin biasanya berkumpul para teman teman fakir jajanan yang selalu menunggu seseorang membeli jajanan berlebih. Jadi, aku menyembunyikannya dan membawanya ke kelas. Wajar saja karena aku lapar. Ketika kita lapar, maka "teman" hanyalah sebuah kata semu yang tak ada artinya.

Ketika aku sedang membawa jajananku ke kelas, aku melihat Taruli sedang asyik bersama seorang siswa laki laki di dekat pintu kelas. Aku tahu laki laki itu seorang kelas XII karena aku melihat warna badge namanya berwarna merah, warna yang dikenakan oleh siswa kelas XII pada waktu itu. Tapi aku tak mengenal laki laki itu. Aku lihat dia sangat ceria. Keceriaan yang harusnya dikeluarkannya pagi ini untukku. Aku merasa tawa dan senyumnya itu milikku. Tapi siswa laki laki itu bisa dengan mudah membuatnya ceria seperti itu. Aku ingin mendengar percakapan mereka berdua, lalu aku sengaja lewat di dekat mereka untuk masuk ke kelas. Aku tau dia menyadari kalau orang yang lewat itu adalah aku. Namun untuk pertama kalinya kami pada yang jarak sedekat itu tak bertegur sapa seperti tidak saling kenal.

"Cantik kali kau Tar, hahaha." kata laki laki itu

"Abang ini bisa ajalah. Nanti kita ketemu di tempat biasa ya bang." jawabnya

"Yaudah. Jangan lama datangnya ya."

Mendengar percakapan mereka membuat aku menjadi tak ingin makan jajanan yang sudah kubawa tadi. Aku sangat membenci momen momen seperti itu. Momen di mana aku berada di dalam ketidakpastian dan ketika aku ingin bertanya siapa laki laki itu aku menyadari aku ini bukan siapa siapa dia. Angan-angan tentang betapa bahagianya aku jika bersama dia hancur seketika itu juga. Aku seperti tak mengenal dia. Kenangan-kenangan yang selama ini aku dapat dari dia, yang selalu aku simpan rapi di ruang hatiku hanyalah cerita biasa bagi dia. Senyuman dan keceriaan yang diarahkan kepadaku selama ini hanyalah rutinitas dia untuk ramah kepada orang lain. Aku merasa memang aku hanya orang biasa baginya.

Aku merasa beruntung tak langsung menyatakan perasaanku ini karena ternyata dugaanku benar. Jika aku menyatakan perasaanku hari ini juga aku tak tau sehancur apa hatiku ini nantinya. Dan jam istirahat pun berakhir.

Kelas pun mulai ramai kembali diisi oleh penghuni penghuninya. Roti dan burger yang kubeli tadi langsung disambar oleh Roy, Marlinton dan Andre, tepat seperti yang kugambarkan sebelumnya..

"Banyak kali jajanmu kus. Jangan makan banyak banyak, nanti jadi gendut kau.", kata Marlinton sambil memakan burger itu tanpa dosa.

Aku tak menghiraukan perkataan penuh basa basi dari Marlin ini. Jajanan yang mereka sambar tak kupedulikan lagi, tak seperti biasanya. Biasanya, sedikit saja mereka menyentuh daun selada pada burger yang kubeli, itu artinya mereka siap untuk memulai perang saudara denganku. Namun sikap diamku ini malah membuat mereka takut.

Jepit RambutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang