Chapter VI

1.2K 107 4
                                    

"Mmpf!! " aku meronta ronta saat aku terbangun dari tidur, Para werewolf ini membuat aku dan Alice tertidur.

Aku tak melihat Alice dimana pun, hanya aku disini di dalam ruangan gelap yang membuat ku seperti buta.

Aku tak bisa melihat apa apa, tentu saja aku merasakan sesuatu mengikat tangan dan kakiku di kursi.

"Mmamficem (Alice)! " kucoba untuk memanggil Alice berulang ulang kali, tapi kain di mulut ku ini mencegah aku untuk berbicara.

"Hei... Perempuan ini sudah bangun.." salah seorang lelaki yang sepertinya membicarakan tentang aku.

"Ahh~ pantas dari tadi aku seperti mendengar sesuatu.." seseorang lagi berbicara.

"Mau kita apakan?" Tanya salah seorang lagi.

Ada 3 orang yang sepertinya berada tepat di depan ku, aku merasakan kehadiran mereka. Ku coba untuk meronta ronta lagi sampai akhirnya kursi serta aku terjatuh kebelakang sampai terbentur oleh lantai yang keras.

"Mmahh! (AH! )" aku teriak kesakitan.

"Ah merepotkan... " salah satu dari mereka membantuku untuk kembali ke posisi semula. "Sudah diam, nanti jatuh lagi.. " ucap nya dengan kesal.

"Famna Mafice? (Mana Alice)" tanyaku berulang ulang kali. Sepertinya mereka tak mengerti ucapan ku. Terus menerus aku mengatakan hal yang sama yaitu "mana alice? "

Akhirnya mereka menyerah dan melepaskan ikatan di mulutku tetapi tidak ikatan yang lain, mataku masih tertutup, tangan dan kakiku masih terikat dengan kuat.

"Fuah... " aku merasakan kebebasan di mulutku. "Mana Alice!! Alice!! ALICE! "

*PLAKK*

Seseorang menamparku sampai aku merasakan darah menetes melalui mulutku. Tamparan itu begitu kuat sampai aku terjatuh lagi ke tanah.

Aku terdiam, tangan ku begetar, aku membisu saat itu. Dan penutup mataku terbuka sedikit dan aku melihat ketiga orang tersebut.

Sekarang aku mengingat mereka, sang pemain musik di kota itu. Yang menamparku adalah sang pemain jimbei.

Aku bergetar dan sangat lah ketakutan, mata mereka menunjukan kebencian padaku, tanpa kelembutan dan tanpa mengasihani ku.

Aku menggigit bibir bawah ku dengan kuat.
"Diam lah... " Kata pemain Jimbei tersebut.
"Hei Trace..,Apa kau tak terlalu kasar? " kata pemain seruling.

"Hah? Kenapa kau ?apa kau kasihan terhadap dia, Rei? " Kata Trace..

"Tinggal kan saja dia... " kata sang pemain gitar, dan mereka pun menurutinya. Mereka pergi meninggalkan aku yang masih tergeletak di tanah.

Setelah mereka pergi pandangan ku tertuju pada perempuan dengan tangan terikat ke atas. Aku melihat dia dengan ketakutan. Sangat ketakutan. Dia terlihat sudah mati, badanya kurus dan rambut nya panjang.

Setelah perempuan itu aku melihat ke sekelilingku, ternyata bukan hanya aku disini tapi banyak perempuan berada disini dengan kondisi yang buruk. Dan mereka semua sudah mati.

"Ahhhhh!! " aku berteriak dengan keras. Menangis tanpa henti, dan memikirkan apa yang terjadi pada Alice.

Tiba tiba saja aku mendengar teriakan yang sangat keras, dari balik pintu, dimana ketiga werewolf itu keluar.

Rasa takutku mulai berkembang, secepatnya aku mencoba untuk melepaskan ikatan ditanganku, terus menerus aku gerakan tangan ku sampai rasanya mati rasa.

Pintu terbuka, darah mengalir di lantai, dan kulihat lelaki berbaju hitam dengan dipenuhi darah di seluruh tubuhnya itu tersenyum dengan lembut kepadaku.

Aku tak merasakan takut lagi, aku merasa lega aku selamat, aku tersenyum, dan berkata "Ayah... "

"Kau disini Lindsey... " ayah mendekati ku. Ia melepaskan ikatan yang menyakitkan ini.

"Bisa berdiri? " ucapnya lagi dengan tenang.

Aku mengangguk.

Ayah yang berada didepan ku melihat ke sekeliling dengan tatapan penuh amarah dan kebencian tapi secara bersamaan dia terlihat sangat sedih.

Dia menatap gadis berambut putih yang berada di ujung kamar ini. Gadis itu mati karena terbunuh, terlihat tusukan di dadanya. Tapi jika diperhatikan baik baik gadis itu telah mengukir senyuman di bibirnya.

"Ayah...? " aku menyadarkan ayah dari tatapan nya ke gadis tersebut.

"Ayo.. " dia menolongku tuk berdiri dan membantuku berjalan keluar dari ruangan gelap ini.

Darah berada di mana mana. Mata ku tertuju kepada kepala lelaki yang menamparku tersebut.

Kepalanya terpisah dari badannya, darah masih saja keluar dari kepala nya.

Entah dimana badannya, dan dimana dua lelaki yang lain. Tapi bisa kupastikan bahwa mereka bertiga sudah mati.

Badan mereka hancur berkeping keping.

Darah dimana mana, organ tubuh yang sudah dimana mana. Mungkin akan membuat mu muntah saat melihat nya.

Tapi ini adalah kejadian yang biasa, siapapun yang berani menyakiti ku, akan menerima balasannya.

Tangan yang menggenggamku ini selalu saja menolongku. Aku merangkul tangan Vincent sambil kami berdua menuju rumah kami.

Dimana kakak kakakku tengah menunggu ku di depan pintu dengan sangat khawatir.

"Lindsey! Kau tak apa?!! " Marcus, Will, dan Haxel, memelukku dengan kuat secara bersamaan.

"Aku tak apa" ucapku.

Kucoba tuk menahan tangisanku tapi toh biarlah aku menangis karna mereka adalah keluarga ku. Aku sangat lega. Aku selamat.

Walau kejadian seperti ini pernah terjadi padaku, aku masih saja belum terbiasa.

Tapi yang pasti, Ayahku, Vincent, selalu saja menolongku.

" Alice! Aku masih belu-"

Jari Marcus menenangkan mulutku untuk mengucapkan sepatah kata lagi, dia berkata "dia selamat... Dia di temukan pingsan didepan gerbang. Setelah kami tanya dia tak ingat apa apa.. " Marcus tersenyum.

Aku hanya bisa terdiam, perasaan aneh mulai kurasakan, kenapa Alice tak kenapa kenapa? Sedangkan aku?.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Yo~!, Apa Chapter ini serasa kurang panjang? Owo. Padahal dah kuusahain buat jadi lebih panjang tapi kek nya alhasil sama aja. Gomen (maaf)  Yak (>w<)

I Say : Yes To Give My BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang