Chapter XII

1K 96 4
                                    

Aku terbangun saat mengingat kembali hal yang kemarin terjadi kepadaku, badanku masih lemas dan tak kuat. Sepertinya Vincent meminum banyak darahku.

Aku menutup kedua mataku sambil menahan nangis, sudah lama aku tak menangis. Dadaku terasa sakit dan pikiranku kacau, Vincent saat itu sangat berbeda. Matanya sangat asing bagiku, tak pernah kulihat dia seperti itu kepadaku.

"Kau tak apa? " Tanya Bibi Ann yang sudah berada di sebelahku cukup lama.

Aku sama sekali tak terkejut akan kehadiran dirinya sama sekali. Aku sudah terbiasa.

"Sakit... Kenapa sangat sakit... " Kataku sembari mengepalkan kedua tanganku dan menutup mataku sekuat kuatnya untuk menyingkirkan rasa sakit didadaku ini.

Bibi Ann hanya diam tak membalas sepatah katapun kepadaku. Aku tau dimana aku berada, di kamarku, lebih tepatnya di kasurku.

"Master membawa dirimu ke kamarmu" Ucapnya Yang Bernada untuk menghiburku. "...Mukanya menunjukan rasa bersalah.. " Ucapnya lagi.

Tanganku ku singkirkan dari mataku yang dari tadi ku tutupi. "Benarkah... "Ucapku. Aku tersenyum tapi masih saja ada rasa sedih.

Tiba tiba saja Pintu kamarku terbuka dan membanting ke arah dinding dengan kuat, "Lindsey! " dan itu lah Ke tiga saudaraku yang memasuki kamarku tanpa mengetuk.

Mereka terlihat khawatir kepadaku, dengan secepat kilat mereka memelukku dengan pelukan yang hangat.

"Kami mengkhawatirkan dirimu! " Ucap Haxel. Umurnya memang sudah 200 tahun lebih tapi sifatnya masih seperti anak seumuran diriku.

"Pak tua itu pasti menyakitimu.. !" Ucap Marcus.

"Kau pasti akan baikan.. " Ucap Will sambil mengelus kepalaku.

Aku tersenyum, aku senang mereka mengkhawatirkan diriku. Tapi, "Kalian sudah lama tak meminum darah ku.. " ucapku dengan nada yang biasa.

"Tak usah khawatirkan kami... Ada Tablet X yang menjaga kami... " Ucap Marcus dengan bijak. Senyum nya menghangat kan diriku.

"Ah! " aku memegang tepat dimana Vincent menggigitku, tiba tiba saja terasa sangat sakit. Nyeri, dan panas juga. Nafasku terengah-engah seperti sehabis berlari puluhan kilometer tanpa istirahat.

Marcus, Will, Haxel, dan Bibi tak terkejut akan hal itu, mereka hanya memalingkan pandangan mereka dari diriku ke arah sesosok laki laki berambut hitam pekat, dengan baju berwarna hitam pula. Mata merahnya melihat diriku dengan ekspresi yang tak biasa, Vincent.

Vincent berjalan kearah ku secara bersamaan yang lainnya pergi keluar dari kamar tanpa sepatah katapun.

Vincent berdiri tepat didepan ku. Aku hanya bisa duduk terdiam di atas kasur tanpa mengucapkan sesuatu.

"Maaf.. " Vincent mengatakan satu kata yang hanya sesekali dia ucapkan. Dia menundukan kepalanya begitu tunduk yang membuatku tak mengerti apa yang harus ku perbuat.

"Eh?! Vin----..... Ayah...? " Ucapku dengan nada bingung.

"Vincent tak apa... Kau boleh memanggilku begitu... Lagi pula aku belum mengadopsi mu sebagai anakku." ucapnya. "Dan aku hanya ingin meminta maaf... Sudah melukaimu. Tak seharusnya ku perbuat begitu. Aku hanya terlalu emosional. Aku sangat terkejut saat melihat pintu rahasiaku terbuka, kukira ada pencuri atau orang jahat datang. Tetapi saat kulihat itu kau yang tengah membaca buku putih itu, semua rasa amarahku berkumpul menjadi satu" Dia menunjukan rasa bersalah.

"Tak apa... Aku juga minta maaf... " Ucapku.

"........... Lindsey "

"Ya? "

Vincent mendekati ku dan duduk di pinggir tempat tidur ku. Tangan besarnya mengelus kepalaku dengan lembut, matanya menatap lurus kearahku. Muka ku terasa panas dan panas, mungkin merah seperti tomat.

"Vincent....., kau menyebutkan nama seseorang... Quilla" Serentak saat aku menyebutkan nama itu, Vincent membeku dan tatapannya terlihat ketakutan. "Vincent?.... "

"Ah.... Bukan, aku tak apa apa.... Quilla.. Dia-- Tidak, bukan siapa siapa.. Hanya nama dari sebuah dongeng lama"

"Dongeng lama? Tentang apa..? " Tanyaku dengan lembut.

"Sepasang kekasih yang tak akan pernah bersatu " Vincent memasang wajah sedih.

Aku tak ingin melihat dirinya bersedih, mataku terus menatapnya penuh kehangatan. Aku ingin membuatnya tersenyum kembali, membawakan kebahagian kepada dirinya untuk selama lamanya... Selamanya-----.

"Akh! " sekali lagi leherku terasa mati rasa.

Vincent menyingkirkan tangannya dari ku dan dia hanya melihatku. "Aku akan pergi untuk beberapa waktu... " Vincent menatapku dengan seksama. "Entah berapa lama aku akan pergi... " Lanjutnya.

"Ke-kenapa!? Aku tak marah atau sedih. Aku juga baik baik saja! Mengapa kau pergi? " Tanyaku.

"Untuk menjagamu... " Ucapnya. Dia beranjak keluar dari kamarku tanpa membalikkan badan dan melihat ku.

Vincent akan pergi dari ku, tapi pasti dia akan kembali dan memelukku. Dia akan kembali jika aku percaya dia akan kembali. Entah kapan, pasti dia akan kembali.

Pintu tertutup rapat, dan hanya ada aku disini sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Ehem.., baiklah maaf hanya sedikit. Aku tak tahu harus melanjutkan nya bagaimana. Tapi kan ku coba untuk membuat lebih panjang di Chapter selanjutnya.

Dan juga. Setelah cerita ini berakhir akan ada sesi "Extra Chapter" Menceritakan tenang Diary dan Mimpi dari Lindsey.

Mimpi dan Diary tersebut saling berhubungan.

Thank you~ :*

I Say : Yes To Give My BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang