Jam 3 sore
Widi sedang berjalan keluar dari lingkungan kampus nya dengan santai. Semua kelas yang melelahkan sudah selesai dan peristiwa saat makan siang pun sudah terlupakan olehnya. Ia hanya ingin mampir ke warteg di depan kampus untuk membeli makanan yang akan dibawa pulang ke tempat kost.
Saat sedang menunggu makanan nya disiapkan, Widi mengamati langit yang lagi-lagi mulai mendung. Widi membuka tasnya dan mengeluarkan payung lipat yang dibawanya. Dari kejauhan, suara gemuruh sudah mulai terdengar.
"Makasih, Pak." Ucap Widi kepada bapak pemilik warteg sambil mengambil kantong plastik berisi makanan yang di sodorkan si bapak. Begitu Ia berbalik dan ingin melangkahkan kaki nya dari warteg tersebut, tiba-tiba hujan datang. Bukan gerimis, tapi hujan yang membawa tetesan air besar, sebesar kelereng. Ia pun mengurungkan niat nya untuk segera pulang.
Widi terduduk di warteg memandang hujan. Ia kembali teringat dengan pandangan yang diberikan oleh tetangga nya tadi pagi dan ketiga perempuan di kantin pada saat jam makan siang. Ia juga sudah menceritakan kejadian-kejadian tersebut kepada Ivan, termasuk soal takhayul perempuan di ujung jalan dan kesialan yang akan menimpa siapa saja yang melihatnya. Karena Ivan adalah teman terdekatnya, Ia juga menceritakan hal lain yang tidak diceritakan nya kepada siapapun sebelumnya, soal sepasang mata yang dilihatnya sebelum ia mendengar cerita perempuan di ujung jalan:
"Yakin kamu nggak pernah dengar cerita itu sebelum teman kost kamu cerita?" Tanya Ivan setelah mendengar ceritanya tentang mata yang memandang nya dari ujung jalan.
Widi mengangguk,
"Siapa tahu kamu sudah pernah dengar cerita perempuan di ujung jalan dari orang lain. Dari tetangga mungkin, pas kamu lewat di depan mereka jadi nggak sengaja dengar ceritanya?"
Widi menggeleng.
"Memang nya kenapa, Van?"
"Mungkin apa yang diceritakan tetangga dan teman kost kamu tentang perempuan di ujung jalan memang takhayul, tapi apa yang kamu lihat mungkin hasil dari reaksi alam bawah sadar kamu aja." Ivan menyandarkan dirinya di kursi panjang yang mereka duduki yang diletakkan di depan kelas mereka.
"Maksud kamu aku sudah pernah dengar cerita itu sebelumnya 'secara nggak sadar' jadi pas aku lewat situ alam bawah sadar ku bereaksi dan membuat aku 'merasa' kaya ada yang ngeliatin aku?"
"Yup." Ivan mengangguk kemudian menghela napas nya. "Terlepas dari itu takhayul ato nggak, teman kamu itu bener lo, Wid. Kamu jangan lewat situ lagi, jalanan nya sepi. Sekarang tindak kejahatan banyak, dari pada kenapa-napa mending cari jalan lain aja yang lebih rame."
"Siap bos!." Widi memberi hormat kepada Ivan dan keduanya pun tertawa.
Setelah 15 menit menunggu akhirnya tetesan hujan sebesar kelereng berganti dengan gerimis. Widi pun membuka payung yang di bawanya dan berjalan pulang. Ketika berjalan mata Widi menatap kearah gang kecil yang berjarak tidak jauh dari kampusnya namun kakinya melangkah ke arah yang berlawanan, kearah jalan yang lebih ramai seperti yang disarankan oleh teman-teman nya.
***
8 Nopember
Hari itu hari Selasa, sudah seminggu sejak bulan Nopember dimulai tidak ada sehari pun terlewat tanpa hujan. Kemana pun Ia pergi, Widi selalu membawa payung lipat nya. Sudah seminggu pula Widi tidak pernah pergi melewati gang kecil yang sepi dan ujung jalan yang angker. Selama seminggu ini Widi selalu pulang pergi dibonceng oleh teman kost nya ataupun Ivan. Karena sering datang menjemput, Ivan pun akrab dengan teman kost Widi.
Hari itu pun demikian. Sudah hampir jam 5 sore tapi hujan yang turun dari siang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Karena sudah menunggu sejak jam 3, Widi dan Ivan yang sudah mulai bosan pun memutuskan untuk pulang. Namun sebelum ke tempat kost Widi, Ivan dan Widi mampir ke toko binatang peliharaan untuk membeli makanan si Cemong, kucing peliharaan Ivan.
Ivan yang merupakan penggila kucing lupa waktu. Ia terlalu asik berbincang dengan pegawai toko tentang berbagai kucing yang ada di sana sehingga mereka baru menuju kost Widi jam 6 sore.
Ketika mereka sampai di depan pagar gerimis masih berjatuhan dan tempat kost Widi tampak sepi. Tidak ada motor yang terparkir di halaman nya namun pintu depan terbuka lebar. Melihat hal ini Widi langsung waspada. Firasat Widi mengatakan ada yang tidak beres. Dari luar, Widi bisa melihat lampu ruang tamu tidak menyala.
"Kok sepi ?" Celetuk Ivan, mengagetkan Widi.
"Tapi pintunya terbuka." Kata Widi pelan, seolah tidak mau ada yang mendengar kalau mereka sudah datang.
Ivan dan Widi berpandangan sesaat. Tanpa di beri aba-aba Ivan turun dari motornya dan berjalan perlahan memasuki halaman. Ia menoleh kebelakang, mengacungkan jari telunjuk nya di depan bibir sebagai isyarat untuk tetap diam. Widi mengangguk dan mengikuti dari belakang.
Mereka berdua mematung di depan pintu menyaksikan ruang tamu yang gelap di hadapan mereka. Tidak ada bunyi apapun selain bunyi tetesan gerimis yang jatuh di atas genteng. Widi mulai melangkahkan kaki nya ke dalam rumah, tangan nya meraba dinding yang ada di sebelah kanannya, mencari sakelar lampu. Ketemu!
Tik, tik
Tik, tik
Widi menekan sakelar nya dua kali, namun lampu di ruang tamu tetap tidak menyala. Ia memandang ke arah Ivan yang masih berdiri di pintu sambil menggeleng. Ivan pun masuk ke dalam rumah. Setelah beberapa langkah Ia berhenti, memberikan waktu pada matanya untuk beradaptasi dengan gelap sementara Widi masih berdiri di pintu.
Ada dua lorong di dalam rumah, yang pertama ada di hadapan Ivan, yang kedua ada di sebelah kiri nya. Ivan tidak bisa melihat apapun di lorong tersebut karena keduanya diselimuti kegelapan.
Ivan memandang Widi sambil menunjuk ke lorong yang ada di sebelah kirinya. Melihat Widi mengangguk, Ivan melangkahkan kakinya ke lorong itu. Semakin dalam Ivan melangkah, semakin dirinya tak terlihat oleh Widi. Widi yang takut sendirian diruang tamu mendekat ke lorong sambil mengintip kedalam berharap bisa melihat Ivan namun Ia tidak bisa melihat apapun. Ia membuka mulut nya untuk memanggil Ivan namun tiba-tiba bahu dan kedua lengan nya dicengkeram dari belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
DROPLETS: Perempuan di Ujung Jalan
Horror(Tamat) HR: #147 in HORROR Widi hampir mencapai ujung gang ketika Ia dikagetkan oleh petir yang menyambar. Widi menengadahkan kepalanya. Ia bisa melihat kilat menghiasi awan gelap di langit. Sesaat kemudian ia merasakan sesuatu jatuh di pipinya. Ai...