Chapter 9: "Don't Judge a Book by Its Cover"

1K 127 46
                                    

‘Jimin, kau masih hidup kan?’

Sahabat satu ini semangatnya tak padam-padam dan terus mencari. Hingga malam menjemput, hasil masih nihil. Kegundahan semakin berkobar, bisa-bisa akal sehatnya hilang karena ini. Sang bunda sudah menghubungi ribuan kali, tandanya ia harus segera pulang. Dengan tangan kosong dan berat hati, lelaki ini menuruti perintah sang ratu untuk kembali ke istananya. Do’a terus ia panjatkan selama perjalanan berharap nyawa Jimin masih melekat pada tubuhnya. Masih saja imajinasi buruk itu merasuki pikirannya yang ingin beristirahat sejenak.

Beberapa jam sebelum malam, Hana ditarik masuk ke dalam semak-semak oleh seseorang. Dirinya yang dikunci pun memberontak, namun sia-sia. Setelah lenyap ke dalam semak-semak, lelaki yang membawanya pun melepaskan tangannya dari Hana. Mulut Hana hendak berteriak minta tolong, namun si lelaki membungkam mulutnya lagi untuk kedua kali.

“Tenang, ini aku Zelo” ujar si lelaki.
“Kenapa kau harus melakukan ini?! Kau menakutiku tahu!” murka Hana membuang muka.

“Tadi aku tak sengaja menemukan seseorang yang memanggil-manggil namamu dengan gergaji di tangannya, penampilannya pun aneh, menakutkan! Makanya aku menarikmu untuk bersembunyi. Ditambah lagi orang itu ada di dekat sini...” jelas Zelo.

Penjelasan Zelo berhasil memadamkan amarah Hana.

“Dia berbadan besar dan mengenakan masker kumal?” tanya Hana yang ingin menggali informasi lebih dalam.

“Iya, pria itu berjalan dibantu tongkat kayu karena satu kakinya tinggal setengah. Darah bercucuran dari kakinya yang setengah itu. Menjijikan!” Zelo membuat muka abstrak untuk mengekspresikan rasa jijiknya.

Di balkon kamar, seorang lelaki tampan diam memandangi langit gelap bertabur bintang, bola terang yang tampak lebih besar dari bintang lainnya menemani malam si lelaki yang sepi dan sunyi. Tubuhnya memang diam, namun pikirannya tidak. Tidak selamanya ia diam dan memandang langit, ponsel yang ada di genggaman ia sentuh-sentuh lalu ia angkat dan ditempelkan pada telinga.

“Kau belum tidur?” tanya Jin pada si penerima telepon.

Sang penelepon menjawab belum dan memberi alasan.

“Bagaimana kalau besok kita bertemu di atap sekolah? Ada hal yang ingin aku bicarakan empat mata denganmu...”

....................................

Anak-anak remaja berumur sekitar 16-18 tahun sedang mengadakan kompetisi lari untuk sampai ke garis finish sebelum waktunya habis. Garis finish yang dimaksud adalah gerbang sekolah. Bel masuk pun akan segera berbunyi satu menit lagi. Salah satu pesertanya adalah Jooheon yang berlari dari jarak cukup jauh. Seharusnya ia berlari dari halte bis, tapi karena bis yang ia naiki mogok jadi garis start miliknya lebih jauh dari peserta lain. Energi dari sarapan yang harusnya digunakan untuk hingga jam makan siang pun harus dihabiskan di kompetisi lari ini. Jooheon tak ingin berakhir di neraka alias ruang Bimbingan Konseling untuk diberi hukuman.

Tinggal dua atau tiga meter lagi ia menggapai garis finish. Napasnya tersengal-sengal namun perjuangannya tak terhenti sampai di sana, itu terus berlanjut hingga akhirnya garis finish berhasil dicapai. Kebahagiaan yang tiada tara pun ia rasakan sangat dalam hatinya. Senyum merekah di bibir Jooheon tatkala ia berhasil lolos dari seleksi. Dengan bahagia ia menginjakan kaki ke dalam kelas. Permukaan kursi yang dingin miliknya kini hangat kembali berkat kehadiran pantatnya. Lima detik berlalu, seorang lelaki yang sedikit mungil menunjukkan dirinya dari balik pintu. Tak biasa, hari ini ia menggunakan jaket ke sekolah. Langkahnya begitu santai, wajahnya pun mencuatkan mimik cool, sepasang tangannya ia sembunyikan di balik saku jaket. Lelaki mungil yang biasa dipanggil Jimin bertingkah seolah tak terjadi apa pun tempo hari.

Rusty Knife (Sequel Of School's Bell)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang