BAB 20

293K 15K 280
                                    

Tok tok tok

Suara ketukkan pintu membuat Ramzan mengalihkan pandangan dari laptop di hadapannya itu.
"Masuk," perintah Ramzan.

Pintu pun terbuka dan tampaklah Bagas---sekertaris sekaligus sahabat Ramzan---berjalan dengan membawa beberapa dokumen di tangan.

"Parah lo, Ram," ujarnya sambil melempar dokumen-dokumen itu keatas meja Ramzan. Ramzan mengerut menatap dokumen yang berserakan diatas mejanya.

"Banyak investor yang membatalkan kerja sama pada perusahaan kita." jelas Bagas yang mengerti kebingungan Ramzan.

"Kok bisa?" Ramzan bertanya santai dengan jari-jemarinya mengetik.

"Lo tuh kenapa sih? Semua laporan-laporan itu kacau. Dan lo, kenapa lo nggak meriksa dulu? Semua laporan itu bikin klien kita nggak yakin!"

"Gue nggak perduli. Yang gue perduliin saat ini; gimana caranya gue bisa nemuin Lisi?"

"Maksud lo?"

"Lisi nggak ada kabar sejak seminggu yang lalu,"

"Please Ram, jangan bawa-bawa masalah pribadi ke kantor," Bagas menghempaskan bokongnya dikursi depan meja kerja Ramzan.

Ramzan menghela nafas. Kemana Lisi saat ini? Apa yang terjadi pada Lisi? Dan mengapa Lisi tidak memberikan kabar?
Semua pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu berputar diotaknya. Rasa khawatir itu datang saat ini. Saat Lisi menghilang begitu saja. Perasaan campur aduk pun kini juga datang.

Ramzan menggeram frustasi. Mengapa dia tidak bisa tegas pada perasaannya sendiri? Sebenarnya siapa yang dipilih oleh hatinya, Nadira atau Lisi?

***

Setelah mencari semua informasi. Kini Harry mendapatkan satu fakta; kehilangan Lisi tidak ada sangkut-pautnya dengan Jason. Langkah selanjutnya ia harus mencari tahu dimana Lisi berada dan apa penyebab Lisi menghilang seperti ini.

Suara dering telepon berbunyi menandakan ada panggilan masuk.
Harry meraih ponselnya yang berada diatas meja, lalu mengangkat sambungan telefon.

"Hallo?" sapanya pada orang diseberang sana.

"......." tidak ada jawaban apapun membuat dahi Harry mengernyit heran.

"Hallo?" sapa Harry sekali lagi. Namun, hasilnya tetap sama; tidak ada jawaban apapun. Baru saja Harry hendak memutuskan sambungan telepon itu sebuah suara membuatnya mengurungkan niatnya.

"Ha...hallo,"

Suara itu. Harry sangat Hafal dengan suara itu. Suara yang sejak seminggu lalu tidak ia dengar. Suara yang sangat ia rindukan. Tidak-tidak, bukan hanya suaranya saja. Melainkan semua ada pada sang pemilik suara itu miliki sangat ia rindukan.

"Lisi?"

***

Jika dipikir-pikir Lisi sangatlah beruntung. Ada dua orang pria yang sangat mengkhawatirkannya bahkan bisa dibilang juga sangat mencintai wanita itu. Berbanding terbalik dengan Nadira. Pria yang sangat ia cintai bahkan tidak mencintainya, hanya mencintai bayi yang tengah ia kandung.

Nadira menatap sebuah foto. Dimana ada tiga orang terdapat difoto itu; Lisi, Ramzan dan juga dirinya. Melihat foto itu sangatlah menyesakkan. Dalam foto itu telihat jelas bahwa ia hanya sebagai penghancur hubungan Lisi dan Ramzan. Sebuah foto yang terdapat Lisi disebelah kiri dengan Ramzan yang merangkul mesra pinggang Lisi. Dan Nadira yang berada disebelah kanan pasangan dua sejoli itu dengan rangkulan Ramzan pada pundak Nadira. Dilihat dari foto itu, Nadira menatap wajah Ramzan bukan pada kamera yang mengambil gambar mereka.

Foto yang teramat sangat menyesakkan. Dalam foto itu dapat menjelaskan. Bahwa sampai kapan pun Ramzan tidak akan pernah meliriknya. Seberapa pun dia berusaha. Setetes mata Nadira jatuh tanpa ia minta dan jatuh tepat mengenai foto Ramzan.

Ini sangatlah menyakitkan. Sangat. Nadira berusaha menguatkan hatinya. Walau ternyata hati Nadira rapuh tidak mampu menopang rasa sakit yang sering kali datang.

Beginikah rasanya mencintai? Mengapa selalu ada rasa sakit dalam mencintai? Mengapa mencintai tidak seindah orang katakan?

Ya, setiap orang pernah bercerita pada dirinya bahwa mencintai itu indah. Mencintai memang indah. Tapi, lebih indah jika mencintai seseorang yang kita cintai juga mencintai kita. Itu jauh lebih indah. Maka itulah yang patut disebut dengan indahnya mencintai.

Bunyi bel berbunyi. Nadira segera menghapus sisa-sisa airmata. Meletakkan album foto itu diatas nakas kemudian berjalan ke arah pintu.

"Ya ampun kak Ramzan," ucap Nadira terkejut saat tubuh Ramzan ambruk dengan sigap Nadira menangkapnya. Hingga posisi mereka saat ini seperti orang berpelukan.Dengan posisi sedekat ini Nadira bisa mencium aroma alkohol dari tubuh Ramzan.

Ramzan mabuk!

Ingatan-ingatan beberapa bulan yang lalu berputar kembali seperti kaset. Dimana kejadian itu yang mengakibatkan ia harus menikah dengan Ramzan. Tepat seperti saat ini; Ramzan datang dengan keadaan mabuk.

Dengan susah payah Nadira memapah Ramzan menuju kamar. Ramzan mengeluarkan racauan-racauan tidak jelas.

"Kemana kau sebenarnya Lisi?"

Deg!

jadi, kak Ramzan mabuk karena memikirkan kak Lisi? Batin Nadira.

Sesampainya dikamar Nadira tersentak saat Ramzan tiba-tiba menangkup wajah Nadira membuat detak jantung Nadira berpacu lebih cepat. Nadira menatap mata Ramzan. Warna mata Ramzan merah efek mabuk.

"Lisi? Akhirnya kau kembali," Ramzan mulai meracau tidak jelas. Airmata Nadira lagi-lagi jatuh membasahi pipi mulusnya.

Nadira sangat merasa memilukan. Ramzan menatapnya sebagai Lisi bukan dirinya.

Ramzan memeluk tubuhnya sangat erat. Tidak menghentikan racauan tidak jelasnya.
"Aku sangat merindukan mu,"

"Kak Ramzan," panggil Nadira lirih mencoba menyadarkan Ramzan. Tak luput dengan airmatanya yang terus mengalir. Ramzan melepas pelukan, kembali menatap mata Nadira.

"A...a...aku Nadira," ucap Nadira sambil menunduk.

"Nadira?" Ramzan mengernyit, seketika raut wajahnya berubah.
"Kau!" Ramzan membentak sambil menunjuk wajah Nadira membuat Nadira terkejut.

"Kau yang membuat Lisi pergi!" Nadira hanya mampu menatap Ramzan.

"Kalau saja kau tidak hadir diantara kami ini semua pasti tidak akan terjadi! Apa kau sengaja?!"

Nadira diam tidak mengeluarkan satu patah kata pun.

"Jawab?!" Ramzan mencengkram keras lengan Nadira. Membuat Nadira meringis.

"Dimana kau menyembunyikan Lisi?!" Ramzan kembali membentak. Nadira menggeleng. Bibirnya seakan kelu.

"Jawab?!" Ramzan mengeratkan cengkeramanya.

"Kau menyakiti ku," lirih Nadira.

Ramzan melepaskan cengkeramanya dengan kasar membuat Nadira mundur beberapa langkah.

"Aku membenci mu. Sangat membenci mu!" Setelah mengucapkannya tubuh Ramzan jatuh berbaring diatas Ranjang. Masih dengan racauan-racauan tidak jelasnya.

Nadira masih berdiam diri ditempatnya. Dengan airmata yang terus saja mengalir semakin deras. Isakkan memilukan keluar dari mulut Nadira. Kesedihanya semakin mendalam. Hatinya seakan hancur berkeping-keping. Nadira terduduk lemas dengan masih menangis tersedu-sedu.

***

Because I'm... Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang