BAB 14

291K 16.7K 456
                                    

"Nggak baik perempuan sendirian disini sambil nangis," ucapan seseorang membuat Nadira mengangkat wajahnya.

"Nih," pria itu menyodorkan sebuah sapu tangan pada Nadira. Nadira menatap sapu tangan itu beralih hingga menatap wajah pria itu.

Pria bermata coklat terang, ada sedikit wajah campuran didalam wajah pria itu. Dia pria yang bertahun-tahun pernah Nadira lihat. Pria Itu--Harry--pacar kakaknya sewaktu SMA.

Untuk apa dia kesini? Kenapa dia bisa ada disini? Pikir Nadira.

"Kak Harry?"

Harry tersenyum melihat Nadira.
Duduk diatas pasir putih tepat disamping Nadira.

"Iya, aku Harry,"

Nadira semakin bingung. Setahunya Harry ini sudah lama tidak lagi berhubungan dengan Lisi, bahkan sewaktu orang tau mereka meninggal Harry tidak datang. Nadira sangat tahu betul bagaimana perasaan Lisi pada saat itu. Lisi terus saja bersikap bahwa dirinya tegar, nyatanya Nadira tahu bahwa Lisi tidak setegar itu.

Nadira tetap memandang lurus kedepan, pandangan yang menyakitkan tapi kedua bola mata nya tak pernah mau lepas dari pandangan itu.

Sedangkan, Harry sendiri. Dia sengaja mengikuti Lisi, saat dia mendapakan informasi tentang ke pulang Lisi ke Indonesia. Harry mengikuti semua yang berkaitan dengan Lisi. Bahkan pria itu juga menyewa salah satu apartement yang sama dengan apartemen Ramzan.

"Kalau menyakitkan, kenapa masih saja dilihat?" tanya Harry yang sedari tadi memperhatikan.

Nadira tetap diam, enggan untuk berbicara. Rasanya untuk bernafas saja susah. Nadira menghembuskan nafas.

"Cinta memang menyakitkan. Jika kita mencintai seseorang kita juga harus siap melihat apapun itu yang menyakitkan," ucapnya lirih.

Harry menatap Nadira. Dia tahu bagaimana hubungan mereka bertiga; antara Nadira, Ramzan, dan juga Lisi. Dari perkataan yang tadi diucapkan Nadira, Harry sudah bisa menilai bahwa Nadira mencintai Ramzan.

"Dan kau akan tetap mencintainya walaupun menyakitkan melihat semuanya?"

"Iya!"

"Kenapa?"

Nadira menghembuskan nafas kembali sebelum berucap.
"Mungkin ini akan terdengar klise." jeda. "Aku ingin seperti hujan, walaupun sering kali terjatuh dia tidak akan pernah berhenti menumpahkan semua air dari awan ke bumi. Sama. aku juga ingin seperti itu. Berapa kali pun aku terjatuh, aku akan tetap mencintainya. Mencurahkan semua cinta yang ku punya untuknya,"

Harry hanya mampu menggelengkan kepalanya.
"Nadira... Kau tau kenapa hujan terus berjatuhan ke bumi?"

"Kenapa?"

"Karena hujan tidak akan pernah tau bagaimana rasa sakitnya terjatuh,"

Hening.
Tak ada lagi percakapan diantara mereka.
Atmosfer diantara mereka seakan berhenti.
Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing.
Pemikiran yang berbeda, namun tetap dengan pembahasan yang sama;

Sakitnya mencintai!

***

Sejak hari itu Nadira tidak lagi bertemu dengan Harry. Nadira terus saja memikirkan perkataan Harry.

"Hujan tidak akan pernah tau bagaimana rasa sakitnya terjatuh,"

Kata-kata itu terus saja terngiang di benaknya. Harry benar, hujan tidak akan pernah tau bagaimana sakitnya terjatuh. Maka dari itu hujan akan tetap menjatuhkan serpihan-serpihan air ke bumi. Dan dia tidak akan pernah bisa seperti hujan, karena dia tahu bagaimana rasa sakitnya terjatuh.

Nadira tidak ingin memikirkan apapun. Dia tidak ingin kebanyakan pikiran yang akan membuatnya stres. Itu tidak baik untuk kandungannya.

Nadira menghembuskan nafas untuk yang kesekian kalinya. Saat ini Nadira sedang berada ditoko buku didalam mall. Novel-nya telah habis dibaca, dan sekarang ia ingin membeli yang baru. Nadira sudah meminta izin pada Lisi.

Disaat sedang memilih-milih, seseorang memanggilnya.
"Nadira..."

Nadira menoleh, terkejut mendapati Kevin tepat disebelahnya. Detik kemudian raut wajah terkejutnya berubah dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

Masih ingat Kevin? Teman Nadira semasa sekolah menengah. Pria yang pernah bertemu dengannya di acara ulang tahun Dijah, tepat sebelum peristiwa penculikkan itu terjadi.

Kevin membalas tersenyum.
"Lagi mencari novel?" tanya Kevin.

"Iya... Seperti yang kamu lihat,"

"Boleh aku temenin?" tanya Kevin sedikit takut jika Nadira menolaknya. Nadira menoleh menatap Kevin sambil menaikkan sebelah alisnya sebelum tersenyum dan mengangguk. Pertanda bahwa dia meng'iya'kannya.

Nadira berpikir itu tidak masalah. Toh, mereka memang sudah berteman sejak lama, mereka juga sudah sangat dekat.

"Kamu kesini sama siapa?" tanya Kevin memecahkan keheningan.

"Hanya sendiri, dan kau sendiri?"

"Tadinya aku sendiri,"

Nadira mengernyit tidak mengerti. Tadinya?

"Sekanga tidak. Karena sekarang aku sedang bersama mu," lanjutnya. Membuat seulas senyum tercetak diwajah Nadira.

Lelaki ini tidak pernah berubah. Selalu membuatnya nyaman, membuat senyumnya tidak pernah pudar dengan lelucon-lelucon sederhana.

"Tidak pernah berubah," gumam Nadira sambil menggelengkan kepalanya.

Kevin yang mendengar gumaman Nadira mengacak lembut rambut Nadira.

***

Setelah berjam-jam ditoko buku, akhirnya Nadira mendapatkan apa yang ia cari. Tidak luput ditemani oleh Kevin.

Mereka berdua asik berjalan-jalan, nonton bioskop, memutari mall hanya berdua. Sesekali mereka tertawa karena lelucon sederhana Kevin.

Sudah lama Nadira tidak tertawa lepas. Biasanya ia hanya tersenyum itu pun jarang. Yang sering perempuan itu lakukan hanyalah menangis dan menangis.

"Kenapa kamu nggak melanjutkan kuliah, Nad?" tanya Kevin saat mereka sedang makan disalah satu restoran di dalam mall itu.

Nadira mengangkat wajahnya Menatap Kevin. Tidakah Kevin menyadari bahwa dirinya sedang mengandung?

Mungkin Kevin tidak menyadarinya. Usia kandungan Nadira masih tergolong muda, dan perutnya pun belum terlihat membesar. Hanya saja memang sedikit menonjol, namun sepertinya semua itu tertutup oleh kemeja yang dikenakan Nadira.

"Ada alasan yang sangat rumit. Mungkin tahun depan aku akan kuliah," Nadira kembali memakan makanannya.

"Apa alasannya?"

"Tidak semua alasan harus diucapkan, Kev." Kevin menyadari perubahan raut wajah Nadira yang berubah, tercetak jelas kesedihan didalamnya.

"Baiklah."

"... Jika kau ingin menceritakan sesuatu aku siap menjadi pendengar yang baik," lanjut Kevin dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya.
Kevin tidak pernah berubah, bahkan walaupun sudah lama mereka tidak bertemu pria itu masih sangat baik terhadapnya. Dan Nadira sangat beruntung mempunyai teman seperti Kevin.

Nadira mengangguk. Mereka kembali menyantap makanan dengan keheningan. Tak ada lagi pembicaraan diantara mereka.

Tidak jauh dari tempat mereka, seseorang memperhatikan mereka dengan tatapan yang sulit dibaca.

❤❤❤

[AN]

Aku baca semua komenan kalian dan itu semua bikin aku ketawa, hampir semua dari kalian mau Nadira pergi?😄 haha...
Makasih yaa yang udh setia sama BIP. Walaupun aku lama ya updatenya😂 aku usahain fast update.

P.s: jangan lupa vomment!

See you💋


Because I'm... Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang