April, 18

508 51 1
                                    

Pada jam, kita mengerti bahwa bergerak tak pernah mundur ataupun menetap. Bahwa tak selalu menanti 'kan kembali. - April.

April merobek-robek kertas undangan itu kasar, sisanya memang tak memberikan bekas dimanapun namun nama yang tertara di dalamnya seperti merobek bekas luka di hatinya yang sudah susah payah ia tutupi penuh lebam.

Alvala Pradiaksa

Ya, nama lelaki itu yang tertera di dalam undangan pernikahan itu. Bersandingan dengan.

Mezyza Martharyna

Wanita yang sewaktu kuliah dulu dikenal sebagai wanita tercantik.

Sialnya bagi April adalah nama lelaki itu adalah lelaki yang saat itu begitu lantang menyuarakan perpisahannya dan wanita itu adalah wanita yang katanya lebih membutuhkan Alva ketimbang April.

April memunguti kembali serpihan undangan itu yang berserakan di lantai kafe ini dengan air mata yang menjatuhi setiap pergerakannya.

"Harusnya kamu tak perlu seperti ini." April mendengak, menatap seseorang yang lebih tinggi darinya karena sekarang posisi April berjongkok.

April membuang kembali serpihan undangan itu lalu mengelap air matanya kasar.

Berdiri

Lalu

Memeluk orang di hadapannya erat.

"Septian," keluh April dengan suara parau miliknya yang terdengar begitu menyakitkan.

Septian berdiam, tak membalas ataupun berusaha untuk melepaskan pelukan April. Dia hanya ingin menikmati dekapan April ini, mengingatnya setiap kali tangan April semakin gencar menangkup erat pinggangnya.

"Mau bercerita?" ya, mungkin hanya itu yang bisa Septian tawarkan. Setidaknya dengan bercerita mungkin beban yang entah Septian pun tak mengetahuinya akan membuatnya sedikit berkurang.

April melepas pelukannya lalu menggelengkan kepala.

"Sudah, jangan menangis kamu jelek kalau lagi nangis." kata Septian sambil menghapus sisa-sisa air mata April.

April berusaha tersenyum, meski pun tipis.

"Duduk ya," ucap Septian sambil menunutun April kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya.

"Sebentar, saya buatkan kopi dulu." Septian beranjak, tersenyum sebelum tangan April menahannya.

"Just sit. Just stay and don't leave." pinta April pada Septian penuh iba. Septian kembali terduduk, memandangi April bingung namun sengaja ia tak mengatakan apapun.

"Dia akan menikah?" kata Septian yang membuat April membulatkan matanya.

"Siapa?"

"Yang menyakitimu itu."

April menarik napasnya dalam, lalu tersenyum masam menatap Septian.

"Saya menantinya, selama itu dihantam rasa sakit. Saya menantinya, selama itu dijatuhi air mata. Saya menantinya tapi layaknya pergerakan jam, meski terhenti diangka yang sama belum tentu membawakan kepulangan. Dan saya masih terus menantinya."

April To SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang