Sebenar-benarnya mencintai adalah saat kita merelakan. - Septian.
Septian mengaitkan tangannya. Pikirannya berkelana jauh sampai ia lupa ini sudah hampir subuh. Mengatakan cinta pada April adalah satu hal yang ia takutkan dan sekarang ia telah mengatakan itu pada April tapi bukannya merasa lega, justru malah muncul ketakutan-ketakutan yang lain yang merasuk ke dalam diri Septian.
Dia takut ditinggal lagi,
Takut sendiri lagi,
Takut untuk disakiti lagi.
Terlebih lagi, dia takut untuk menyakiti.
Terserah apa katamu, tapi masa lalu bersama seseorang wanita yang buruk sangat begitu membekas di diri Septian. Jika saja April mau memberikan waktu pada Septian untuk setidaknya ia bisa melupakan cerita panjang yang pernah Septian lalui bukannya malah pergi beranjak meninggalkan Septian.
Sekarang, bahkan Septian tak tahu ke mana perginya April. Tapi, tadi, satu hal yang ia tahu adalah April punya perasaan yang sama terhadap dirinya. Entah buta atau hanya perasaan semata April mengatakan iti, tapi percayalah rasa senang itu benar-benar ada di hati Septian.
Anggaplah Septian lelaki berengsek, pengecut atau sebagainya karena tanpa sadar telah menyakiti hati April dan entah mengapa malah membuat Septian semakin yakin dengan keputusannya ini. Ia menganggap jika ia tak pantas bersama dengan April bahkan sebelum bersama dengan April, Septian sudah terlebih dulu menyakiti perasaan April. Tapi jauh di lubuk hati yang paling dalam, Septian ingin April bahagia dan Septian yakin jika kebahagiaan untuk April tidak ada pada dirinya.
"Mas,"
Septian melirik, melihat orang yang memanggilnya. Saat tahu yang memanggilnya adalah bapak-bapak si penjual kopi sepedah Septian langsung membuka dompetnya, mengeluarkan uang lima puluh ribu.
"Saya ngga nagih mas, nanti aja bayarnya saya masih lama di sini." kata bapak-bapak itu dengan senyumnya.
Septian tersenyum kikuk. "Saya juga ngga merasa ditagih kok pak, ini murni karena saya ingin bayar kopi ini."
"Baiklah mas." bapak itu menerima uang Septian dan mengembalikannya sesuai dengan kopi yang Septian minum.
"Boleh saya duduk?"
Septian menganggukkan kepalanya.
"Saya ngga tahu kenapa tempat ramai ini masih aja jadi alasan untuk beberapa orang bersedih." ujar bapak itu yang membuat Septian menatap bingung ke arahnya.
Septian tidak menjawab perkataan bapak itu.
"Mas, kita bisa menipu orang lain tapi kita tidak bisa menipu diri sendiri. Sakit bilang tidak sakit, mungkin orang akan percaya tapi diri kita? Tambah sakit tentunya."
Septian seperti tertohok dengan ucapan bapak yang bahkan namanya saja pun ia tak tahu.
"Pak, saya tahu saya bukan seseorang yang sempurna kemungkinan saya untuk menyakiti wanita saya sangat banyak tapi ketika saya bisa memilih dan menghindari untuk tidak menyakitinya saya malah menyakitinya." tiba-tiba saja keresahan yang sedang berada di hati Septian kini keluar sempurna dari mulutnya.
Bapak itu menepuk bahu Septian pelan, "karena memang mas bukan manusia sempurna. Itulah yang harus mas garis bawahi, setiap orang punya salah tapi setiap orang punya kesempatan, kesempatan untuk memperbaiki atau kesempatan untuk mengikhlaskannya."
Septian benar-benar merasa terpukul dengan jawaban bapak itu tapi dalam hati ia pun bersyukur karena telah disadari oleh bapak ini bahwasannya Septian hanya tinggal menunggu kesempatan yang mana yang akan datang padanya.
Sederhananya seperti ini, Septian tidak bisa menyembuhkan luka dengan dalih kebersamaan yang dirajutnya bersama April. Karena nantinya akan menyakiti April dan juga dirinya.
Septian menarik napasnya, mungkin mengikhlaskan akan menjadi pilihannya untuk Septian bisa memperbaiki lukanya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
April To September
ChickLitKata orang, menghapal lebih sulit daripada melupakan? Namun, Mengapa kamu membuatnya menjadi terbalik?