Mei, 18

355 32 4
                                    

Saya pikir saya telah pulang. Namun tanpa sosokmu, menyadarkan saya jika kamu, hatimu adalah rumah, tempat pulang bagi saya yang telah lama hilang. - April.

April menyilangkan kakinya sementara pikirannya menapaki kenangan terlalu jauh sampai ia melupakan makan siangnya kali ini yang sudah berada di hadapannya. Tempo hari, pertemuannya dengan Alva begitu memberikan tamparan keras baginya. April tak paham mengapa semudah itu untuk Alva melukai dirinya yang sangat mencintai Alva itu, entah untuk apa tujuannya tapi April hanya ingin mengucapkan selamat pada Alva karena telah berhasil. Berhasil menjadi rumah yang paling indah beberapa saat lalu kemudian menoreh luka yang paling dalam.

Satu hari ini akan terasa sangat menyiksa seperti yang kemarin-kemarin. Melupakan Alva menjadi pekerjaan rumah yang tak pernah bisa April selesaikan, tapi untuk apa April melupakan? Bukankah kenangan memang ada? April hanya cukup untuk tak mengingat-ingat tentang Alva lagi namun mengapa terasa begitu sulit. Ya, dari Alva, April belajar bahwa rasa sakit lebih handal sebagai pengingat ketimbang luapan kebahagiaan.

"April~ nak~"

April berdiam, tak menoleh meski itu adalah panggilan yang kesekian kali ia dapati dari seorang wanita paruh baya yang sangat ia hormati, Ibu.

"Tentang Alva lagi?" tanya Ibu April yang langsung direspon dengan sebuah pelukan dari April. April menangis di dalamnya, menumpahkan segala kesakitan di hatinya.

Entah mengapa setiap kali April mengeratkan pelukannya pada ibunya, wajah Septian semakin gencar memasuki kepalanya bergantian dengan senyumnya.

Laki-laki itu akhir-akhir ini gencar sekali masuk ke dalam pikiran April, April pun tak tahu sebabnya namun dalam hatinya seperti ada kerinduan yang bernamakan Septian di dalamnya. Padahal, tujuan April pulang ke Bandung untuk melepaskan segala yang membebani pikirannya. Awalnya ia berhasil, namun nyatanya sekarang pikirannya kembali terbebani meski bukan lagi tentang Alva.

"Bu." April melepaskan pelukannya, menatap ibunya yang juga sedang menatapnya.

"April pamit ke Jakarta ya bu?" pinta April pada sang ibu.

"Secepat ini?" Ibu April bertanya dengan heran. April hanya mengangguk.

"April ada urusan." katanya dengan senyum.

April To SeptemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang